***
“Papa, betulan mau memberikan mama hadiah teristimewa?” Manja sang istri dipelukkannya.
“Kamu minta gunung emas sekalipun pasti papa penuhi.” Betapa hidup terbalik dan memihak. Bagi yang kaya harta maka tak ada yang tak mungkin tercapai, sebaliknya bagi yang miskin untuk sekedar makan enak pun sebatas hayalan indah yang mengawang-ngawang.
“Papa, kapan kita liburan ke Bali?” Si bungsu menagih yang kedua kalinya.
“Ke Eropa, pa.” Kakak si bungsu ikut menyahut.
“Ah. Enggak deh, mama bosen ke sana, pa.”
Kedua telinga papa untung terbiasa mendengarkan banyak permintaan yang sampai sekarang untuk mengabulkan permintaan-permintaan itu belum juga papa wujudkan.
“Papa, lagi fokus proyek nih,” Papa memang jagonya menunda menepati janji-janjinya.
“Yah, papa payah, ma,”si bungsu memelas.
Papa yang tak lain adalah Tuan besar pagi para pekerja di anak pulau dan Tuan baru bagi Rusmana, suami dari Rusmini. Sebagaimana papa yang hanya mengenakan pakaian Tuan besar saat berada di lokasi proyek, papa mempunyai sedikitnya empat pakaian andalannya. Pakaian pertama, jelas itu adalah pakaian keagungan ia sebagai Tuan besar. Pakaian kedua, ia kenakan sebagai suami yang mempunyai istri cantik, nyonya Pertiwi, dan anak-anak lucunya. Dan pakaian ketiga adalah yang jarang ia kenakan, sebabnya pembesar mana yang gemar menyucikan diri di tengah gemerlapnya kemewahan. Papa paling tidak mengenakan itu ketika perayaan ibadah tahunan. Dan ini masih bisa di maklumi karena papa sibuk mengurusi keduniawian.
Bila papa tidak mengurusi kondisi rohani dirinya, bukan berarti papa membiarkan keluarga sepi dari siraman rohani atau pemenuhan kebutuhan spiritual. Di adakannya pengajian mingguan di rumah. Di undangnya para ustadz yang berbeda. Di hidangkannya makanan-makanan halal penjamu tamu-tamu yang mulia. Dan papa tahu betul bagaimana memperlakukan keluarga secara benar menurut agama yang mereka yakini. Papa bertuhan meskipun kehadiran Tuhan ia hiraukan.