Penderitaan adalah lambang kekuatan jiwa, tak akan aku tukarkan penderitaan ini dengan sukacita manusia. Jiwaku menemukan ketenangan manakala hatiku bersukacita menerima himpitan kesusahan dan kesesakan kehidupan. Hatiku terpenuhi kegembiraan, manakala aku bersukaria dalam derita-Nya. Hanya satu tujuan hidupku, membuat DIA selalu tersenyum di sepanjang kehidupan…
…..Andi Suryadi….
Pagi yang cerah mengiringi hari ini, sinar mentari dengan hangat dan penuh kelembutan meresap dalam setubuh seorang kakek tua, ia begitu menikmati belaian hangat sang mentari. Dalam keterbatasan fisiknya, tak terlihat wajah kelemahan terpancar dari wajahnya. Padahal ia kini hanya dapat terduduk lemah di atas kursi rodanya, kakinya sudah tak dapat lagi menopang tubuhnya. Tangannya tak lagi sekuat dulu, bahkan hanya bagian yang kiri saja yang masih dapat ia gerakkan. Pandangannya telah menjadi kabur di akibatkan penyakit katarak yang kini hinggap. Penyakit sroke yang ia derita telah menyebabkan sebagian tubuhnya tidak dapat digerakkan secara normal. Di tambah dengan penyakit diabetes yang telah lama hinggap di dalam tubuhnya, yang tak kunjung ada kesembuhan.
Sepeninggal istrinya yang begitu menyayangi dan setia menemaninya, kini ia tinggal di sebuah panti jompo. Walaupun ia memiliki tiga orang anak yang terdiri dari dua orang laki-laki dan satu orang perempuan, namun tak seorangpun yang mau merawatnya. Semuanya mundur secara teratur manakala di tunjuk untuk merawatnya, mereka beralasan hanya merepotkan mengurus seorang tua renta yang sakit-sakitan. Oleh sebab itu mereka kemudian mengirim laki-laki tua itu di sebuah panti jompo yang bernama “Panti Kasih Tiada Batas” yang di asuh oleh sepasang keluarga muda yang telah mengabdikan diri sejak sepuluh tahun yang lalu. Panti ini dahulunya adalah rumah tempat tinggal mereka yang asri dan luas. Panti ini terletak di jalan kecil yang bernama Jalan Gotong Royong dengan akses jalan besarnya yaitu jalan Sudirman.
“Selamat pagi pak Andi” sebuah sapaan lembut menyapa kakek tua yang ternyata bernama pak Andi,
“Se..se.lamat pagi, nak Aryo dan nak pipit” Jawabnya dengan nada yang terbata-bata,
“Bagaimana kabarnya pak? Tadi sudah sarapan?” Tanya pipit penuh kelmbutan, Pak Andi hanya menganggukkan kepalanya,
“Sudah di minum obatnya, pak?” lanjutnya “Jika sudah, sekarang bapak istirahat yah, sebab matahari sudah mulai terik”
“Baik nak Pipit, terimakasih” Pak Andi pun menjawab, dan Pipit kemudian membantunya mendorongkan kursi rodanya menuju ruang paviliun.
Disana ada pula beberapa orang kakek dan nenek tua yang sedang asyik menonton acara televisi, di antaranya pak Muharam, pak Liem, pak Zakaria dan ibu Kulsum serta ibu Yanti. Tampak keceriaan hadir disana, manakala mereka menonton sebuah film komedi yang di bintangi oleh almarhum Benyamin. Pak Andi pun larut dalam keceriaan dan hal itu telah mengobati kerinduan di hatinya yang berharap dapat bersama dengan anak dan cucunya, dalam sisa masa hidupnya.
Sore itu setelah melaksanakan sembahyang, pak Andi duduk di pinggir jendela. Tampak tatapan matanya kosong, ia menerawang alam sekeliling seakan ia mencari sesuatu yang teramat berarti dalam hidupnya. Sesekali terlihat linangan airmata membasahi pipinya dan tarikan nafasnya yang panjang pun terdengar begitu berat…Aku rindu engkau Fiona istriku, aku tahu engkau kini bahagia di surga-Nya. Sungguh Fiona, engkau adalah yang terbaik yang telah Allah anugerahkan dalam hidupku. Kesetiaan dan kasihmu begitu terasa olehku, aku teramat bersyukur telah Allah titipkan engkau dalam kehidupanku. Lihatlah aku sekarang kasihku?, di senja usiaku, kini aku dalam kesunyian, dimanakah mereka buah cinta kita? Hanya engkau yang setia dan mengasihiku apa adanya bukan ada apanya. Sayang, bawalah aku serta di taman surga yang telah Allah berikan kepadamu…ti..tidak, aku tidak boleh menangisi apa yang telah dan sedang terjadi padaku, engkau kini telah bahagia dan tak selayaknya aku menghancurkan kebahagianmu. Aku tahu engkau pun menantikan kedatanganku…pasti sayang, aku akan datang kepadamu dan kita akan bersama kembali…Fiona sayang, bersabarlah suatu saat nanti aku pasti akan datang menemui engkau dan bahkan engkau yang akan menjemput dan mengahantarku di tanah perhentian…namun, Allah masih memberikan padaku untuk sebuah tugas terakhir sebelum masa waktuku berakhir…dan aku masih belum mengerti dan memahami akan tugas itu..namun aku akan tetap melakukannya tanpa harus aku memahami…dalam tarikan nafas yang ku hirup, aku masih dapat merasakan cinta dan kasihmu…terimakasih sayang atas semua kasih yang telah engkau curahkan kepadaku, anak-anak dan seluruh keluarga kita…selamat sore Fiona sayang….dan linangan airmatanya semakin deras membasahi pipinya…ia pun terhanyut dalam elegi rindunya… “Malam pak Andi, bagaimana sudah makan malam?” tanya Aryo,