Sejenak saat saya berselancar di media sosial, saya menemukan sebuah video yang cukup menarik. Video itu menceritakan bahwa pada ikan tongkol terdapat "kelenjar" yang disebut kelenjar histamin. Itu lah yang menyebabkan banyak orang yang mengalami alergi setelah mengonsumsi ikan tongkol. Setelah itu, video tersebut memperagakan bagaimana cara membuang "kelenjar histamin" itu, yaitu dengan memutar dan menarik bagian ekor ikan tongkol tersebut.
Memang sih, ikan tongkol adalah salah satu jenis ikan laut yang populer di Indonesia, sering menjadi pilihan karena rasa yang gurih dan harga yang terjangkau. Namun, mengapa terdapat mitos bahwa ikan tongkol memiliki "kelenjar histamin" yang dapat menyebabkan alergi ? Meskipun klaim ini sering dipercaya oleh masyarakat, penjelasan ilmiah menunjukkan hal yang berbeda.
Sentak, saya memiliki dua respon terkait video yang saya saksikan kemarin. Pertama, saya merasa takjub melihat keterampilan orang tersebut dengan mudahnya menarik bagian ekor tersebut dan masih terdapat daging yang dianggap sebagai "kelenjar histamin" dari ikan tongkol tersebut. Kedua, rasa penasaran saya tergelitik, apa iya itu adalah "kelenjar histamin" dan saya rasa kebanyakan hasil produk air baik itu dari air tawar dan air laut, pasti mengandung histamin.
Melalui artikel ini, saya ingin memaparkan apa itu histamin? Mengapa histamin menjadi pemicu utama terjadinya alergi? Mengapa ikan tongkol? Mari izinkan saya menjelaskan fakta yang sebenarnya ya.
Histamin: Apa dan Bagaimana Terbentuknya?
Histamin adalah senyawa kimia yang berperan penting dalam tubuh manusia, terutama dalam respons imun terhadap alergen. Dalam konteks makanan, histamin sering ditemukan pada ikan yang tidak disimpan dengan baik. Histamin ini bukan berasal dari "kelenjar" tertentu pada ikan, melainkan terbentuk dari proses kimia. Jadi, dari sini kita sudah bisa mengambil inti dari pembahasan saya, bahwa sebenarnya histamin sering ditemukan pada produk ikan, bukan dari sebuah kelenjar yang khusus menghasilkan histamin.
Produk ikan yang dimaksud tidak hanya terbatas pada ikan di laut, tetapi ikan di air tawar pun juga bisa menimbulkan reaksi alergi pada manusia. Hal ini disebabkan, karena pada ikan, terutama pada ikan tongkol, itu memiliki kandungan tinggi asam amino histidin. Ketika ikan tidak segera didinginkan setelah ditangkap, bakteri seperti Morganella morganii dan Klebsiella pneumoniae memecah histidin menjadi histamin.
Proses ini berlangsung dengan cepat jika ikan disimpan pada suhu yang tidak sesuai, sehingga kadar histamin dalam daging meningkat. Jika seseorang mengonsumsi ikan dengan kadar histamin tinggi, dapat terjadi reaksi yang menyerupai alergi. Maka dari itu, bagi seseorang yang alergi atau sensitif terhadap keberadaan histamin, tidak disarankan untuk mengonsumsi produk perikanan seperti ikan, kerang, krustasea seperti udang, lobster, kepiting. Apalagi kalau ternyata disimpan dengan tidak benar, kebayang kan berapa banyak konsentrasi zat histamin ini dan apabila dikonsumsi oleh orang yang memiliki alergi terhadap makanan produk perikanan tersebut, bisa berakibat fatal dan mengancam nyawa.
Mengapa produk perikanan, salah satunya ikan Tongkol Sering Dikaitkan dengan Alergi?
Reaksi terhadap histamin dalam ikan tongkol sering dianggap sebagai alergi, tetapi secara medis dikenal sebagai keracunan scombroid. Kondisi ini terjadi akibat konsumsi ikan yang mengandung kadar histamin tinggi. Gejala keracunan scombroid mencakup:
- Gatal-gatal atau ruam kulit.
- Wajah memerah atau terasa panas.
- Sakit kepala, mual, dan muntah.
- Gangguan pencernaan seperti diare.
Keracunan scombroid berbeda dengan alergi ikan sejati. Pada alergi ikan, sistem kekebalan tubuh bereaksi terhadap protein ikan, seperti parvalbumin, yang memicu pelepasan histamin dari sel mast. Sebaliknya, keracunan scombroid adalah hasil dari histamin eksogen yang dikonsumsi bersama ikan yang tidak segar.
Selain itu, mitos "kelenjar histamin" pada ikan tongkol kemungkinan berasal dari pengamatan gumpalan jaringan otot di dekat ekor ikan. Jaringan ini sering salah diasumsikan sebagai sumber histamin, padahal histamin terbentuk melalui aktivitas bakteri pada daging ikan secara keseluruhan, bukan dari bagian tertentu tubuh ikan. Jadi, sekali lagi, bagi pembaca yang pernah melihat video yang saya jelaskan di paragraf awal, itu bukan kelenjar, melainkan otot atau daging ikan tongkol tersebut.
Kalau misalnya setelah daging itu ditarik dan ternyata tidak terjadi reaksi alergi, kemungkinan itu adalah efek dari sugesti (plasebo) atau memang kondisi ikan itu segar (fresh), sehingga kandungan histaminnya tidak tinggi. Soalnya, banyak juga kok, diantara kita yang mengonsumsi ikan tongkol secara utuh, tidak mengalami alergi tersebut. Kalau memang itu adalah "kelenjar histamin", seharusnya bagian tersebut sudah wajib dibuang mengikuti metode dari zaman leluhur atau bahkan diterapkan di industri pangan pengolahan ikan tongkol.
Nah, berikut ini saya ingin menjabarkan faktor-faktor yang meningkatkan risiko histamin pada ikan:
Penyimpanan yang Tidak Tepat
Histamin mulai terbentuk segera setelah ikan mati, terutama jika tidak disimpan pada suhu di bawah 4C. Proses ini tidak dapat dihentikan oleh pemasakan karena histamin stabil terhadap panas. Jadi, ketika kita membeli ikan segar di pasar, segera bawa pulang dan langsung diolah atau jika ingin diolah di lain waktu, segera masukkan ke dalam kulkas.
Bagi para pedagang, disarankan untuk membawa coolbox atau menyediakan es batu untuk menjaga kondisi ikan tetap segar dan dingin untuk mencegah pembentukan histamin pada produk ikan.
Jenis Ikan dengan Kandungan Histidin Tinggi
Ikan tongkol, tuna, dan makarel secara alami memiliki kadar histidin lebih tinggi dibandingkan jenis ikan lain. Ini membuat mereka lebih rentan terhadap pembentukan histamin jika tidak disimpan dengan benar. Jadi, kita juga perlu mencari informasi, kira-kira ikan atau produk perikanan apa saja yang memiliki kandungan asam amino histidin yang tinggi. Kenapa? Seperti penjelasan saya di atas, bahwa asam amino histidin dapat berubah menjadi histamin akibat keberadaan bakteri tersebut.
Kontaminasi Bakteri
Bakteri yang terlibat dalam pemecahan histidin menjadi histamin dapat berasal dari lingkungan penangkapan, peralatan yang tidak higienis, atau proses distribusi yang tidak steril.
Nah, sekarang, saya bantu untuk bagaimana kita bisa menghindari risiko membeli produk ikan yang kemungkinan sudah memiliki kandungan histamin di dalamnya.
Pastikan Ikan Tersebut Segar
Pilih ikan yang memiliki bau segar seperti air laut, mata yang jernih, dan insang berwarna merah cerah. Hindari ikan yang berbau asam atau busuk. Ikan itu ada bau khasnya, yaitu tidak busuk, tidak terlalu amis, bahkan hampir tidak berbau. Badannya masih padat "firm" dan segar. Tentunya memang ada resiko dikerumun lalat, tapi itu juga ada indikasi bahwa ikan tersebut tidak dicampur bahan berbahaya seperti formalin. Sesegarnya ikan, pasti akan dikerumuni lalat, kecuali apabila kita beli di pasar swalayan yang memang dijaga kebersihannya.
Simpan Ikan dengan Benar
Setelah dibeli, simpan ikan di kulkas pada suhu di bawah 4C atau segera bekukan. Penyimpanan yang tidak memadai adalah penyebab utama pembentukan histamin.
Masak dengan Benar
Meskipun histamin tidak hancur oleh panas, memasak ikan secara menyeluruh dapat membunuh bakteri yang mungkin masih aktif. Tidak perlu ingin mencoba-coba membuat sashimi apalagi produknya dibeli dari pasar tradisional yang jauh dari laut atau sumber perairan air tawar. Karena, seseorang yang awalnya tidak mengalami alergi bisa menjadi alergi apabila terpapar histamin dalam konsentrasi yang tinggi.
Hindari Ikan yang Berbau Menyengat
Bau menyengat pada ikan merupakan tanda bahwa pembentukan histamin sudah terjadi. Hindari konsumsi ikan dalam kondisi ini. Intinya, kalau sudah berbau, segera dibuang atau tidak perlu dibeli.
Konsumsi Antihistamin Jika Diperlukan
Jika gejala muncul setelah mengonsumsi ikan, penggunaan obat antihistamin dapat membantu meredakan reaksi. Namun, konsultasikan dengan dokter jika gejalanya parah.
Kesimpulan
Mitos tentang "kelenjar histamin" pada ikan tongkol tidak memiliki dasar ilmiah. Histamin bukan berasal dari kelenjar tertentu pada ikan, melainkan terbentuk melalui proses kimia akibat aktivitas bakteri yang memecah histidin dalam daging ikan. Konsumsi ikan dengan kadar histamin tinggi dapat menyebabkan reaksi mirip alergi, yang dikenal sebagai keracunan scombroid.
Dengan memilih ikan segar, menyimpannya dengan benar, dan memastikan kebersihan selama pengolahan, risiko histamin dapat diminimalkan. Pemahaman yang lebih baik tentang histamin pada ikan dapat membantu masyarakat menikmati ikan tongkol dan ikan lainnya dengan aman.
Sebagai catatan, bagi pembaca yang memang alergi terhadap produk perikanan, disarankan untuk menghindari konsumsi produk perikanan demi menjaga kesehatan dan keselamatan diri sendiri.
Daftar Pustaka
Lehane, L., & Olley, J. (2000). Histamine fish poisoning revisited. International Journal of Food Microbiology, 58(1-2), 1-37.
Food and Agriculture Organization (FAO). (2018). Histamine in fish and fishery products. Retrieved from http://www.fao.org
Hungerford, J. M. (2010). Scombroid poisoning: A review. Toxicon, 56(2), 231-243.
Taylor, S. L. (1986). Histamine poisoning associated with fish, cheese, and other foods. World Health Organization Bulletin, 64(2), 245-252.
Centers for Disease Control and Prevention (CDC). (2021). Foodborne histamine poisoning. Retrieved from https://www.cdc.gov
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H