Beberapa jenak sorot matamu yang tajam menghujamku. Lalu tawa kecil membuncah dari bibirmu yang ranum.
“Apa yang lucu?”
Kau tak menjawab. Seakan ingin menyimpannya sendiri dan akupun tak berusaha mendesakmu. Aku hanya bisa menebak-nebak dalam hati, mungkin rasa gugupku terlalu mudah untuk kau baca sehingga tak berani jujur bahwa aku memang sudah lapar.
Kugiring perjalanan kita selanjutnya ke Bale Raos yang terletak sekitar Karaton Yogyakarta. Kau memesan Bebek Suwar-Suwir dan aku lontong kikil. Untuk soal minuman sama-sama kita menunjuk beer Djawa di daftar menu. Kau makan dengan lahap, keceriaan tampak dari wajahmu meski mulutmu sedang menguyah. Sedangkan makanku sendiri jadi lamban karena terlalu paku pada tingkahmu. Tak tahulah, apa itu rasa suka atau barangkali cinta, keraguan masih timbul tenggelam..
Hawa malam menggidik rasa, kemarau resah menjaring suasana. Sungguh tak kusangka akan secepat ini. Menginap satu kamar dengan seorang teman perempuan, baru pertama kali kulakukan denganmu. Secepat itukah wanita sepertimu ditaklukkan?. Atau malah sebaliknya: aku lelaki yang gampang bertekuk lutut? Keringatku mengucur deras, seperti gunung es yang melumer. Padahal adegan itu belum sama sekali kita mulai karena aku masih ragu dan kau juga sepertinya hanya bisa melirikku sesekali. Aku tak tahu apakah kau menunggu inisiatifku untuk memulainya atau kau mencoba membuat permainan dengan caramu sendiri. Aku tak tahu.
“Sebaiknya aku tidur di Sofa” ucapku setengah ragu. Ya, takut keceriaanmu seharian tadi berubah muram seketika.
“Percuma kita patungan memesan kamar, kalau akhirnya harus ada yang mengalah.”
“Bukan begitu maksudku”
“Kita hanya tidur di satu ranjang, tidak melakukan hal lebih seperti yang kau bayangkan”
“Memang, tapi aku tak biasa”
Lagi-lagi kau tak mau menjawab. Aneh. Bingung semakin mengelubungiku. Kau langsung mematikan lampu, lalu menutup seluruh tubuhmu dengan selimut. Lalu apa arti desah nafasmu yang menggoda saat bicara? Apa pula arti kerdip matamu tadi?