5) Resosialisasi.Â
Peraturan Pemerintah ini juga mengatur ketentuan mengenai koordinasi pelaksanaan kerja sama dalam rangka pemulihan korban di tingkat pusat dan daerah. Selain itu, terdapat ketentuan yang mengatur kerja sama antara tenaga kesehatan, pekerja sosial, relawan Pendamping, dan pembimbing rohani dalam melaksanakan pemulihan korban. Kerja sama tersebut meliputi:Â
1) Melakukan rujukan dalam pelaksanaan upaya pemulihan korban.Â
2) Penyiapan fasilitas rumah aman atau tempat alternatif bagi korban.Â
2. Peraturan Mahkamah Agung Republik Indonesia Nomor 3 Tahun 2017 tentang Pedoman Mengadili Perkara Perempuan Berhadapan dengan HukumÂ
Peraturan Mahkamah Agung Republik Indonesia Nomor 3 Tahun 2017 tentang Pedoman Mengadili Perkara Perempuan Berhadapan dengan Hukum ditetapkan oleh Ketua Mahkamah Agung pada 11 Juli 2017. Peraturan Mahkamah Agung merupakan inisiasi dari Kelompok Kerja Perempuan dan Anak Mahkamah Agung. Perma Nomor 3 Tahun 2017 merupakan terobosan hukum yang mengatur materi muatan yang belum terakomodasi dalam peraturan perundangundangan yang ada, terutama KUHAP. Perempuan berhadapan dengan hukum menurut Perma Nomor 3 Tahun 2017 ini adalah perempuan sebagai korban tindak pidana, saksi, atau perempuan yang berkonflik dengan hukum (pelaku tindak pidana), atau perempuan sebagai pihak.Â
Perma Nomor 3 Tahun 2017 memberikan kepastian hukum bagi Hakim dalam memutus perkara yang melibatkan perempuan berhadapan dengan hukum, terutama agar Hakim dapat mengambil pertimbangan-pertimbangan yang akan mendekatkan perempuan pada keadilan. Konsep Sistem Peradilan Pidana Terpadu Penanganan Kasus Kekerasan Terhadap Perempuan (SPPT-PKKTP) dibangun sebagai upaya untuk mendukung negara agar mampu melakukan kewajiban konstitusionalnya untuk memenuhi hak asasi manusia perempuan berhadapan dengan hukum, terutama perempuan yang menjadi korban kekerasan berbasis gender.Â
Pemenuhan hak perempuan korban tersebut setidaknya dapat diwujudkan dalam tiga aspek, yaitu (1) Memastikan landasan kebijakan yang secara substantif tidak bertentangan dengan hak-hak korban atas kebenaran, keadilan, pemulihan, pemenuhan rasa keadilan, dan jaminan ketidakberulangan. (2) Peran aparatur penegak hukum yang berkomitmen melakukan penegakan hukum dengan tetap memegang prinsip-prinsip pemenuhan hak korban, antara lain penghormatan dan penegakan HAM, nondiskriminasi, dan memastikan seluruh tahapan proses hukum dilakukan tanpa membedakan agama, suku, ras, dan jenis kelamin. (3) Sanksi hukum yang benar-benar ditegakkan, tanpa ada stratifikasi karena jabatan sosial dan ekonomi korban. Secara khusus, kebutuhan dan kepentingan korban dengan mengacu pada nilai-nilai yang adil gender menjadi dasar dari pembangunan konsep SPPT-PKKTP.Â
Dengan demikian, SPPT-PKKTP bertitik tekan pada perspektif korban dan mensyaratkan korban menjadi atau diletakkan pada pusat berjalannya sistem peradilan pidana. Selama ini, korban diposisikan sebagai objek, sedangkan penderitaan dan kekerasan yang dialami serta tuntutan keadilan yang didasarkan atas penderitaan korban seringkali diabaikan oleh para penegak hukum yang menangani kasus kekerasan yang dialami korban.Â
Dengan SPPT-PKKTP korban akan diposisikan sebagai subjek, bukan sebagai objek yang hanya diambil keterangannya saja. Sebagai subjek, korban berhak didengar keterangannya, berhak mendapatkan informasi atas upaya-upaya hukum yang berjalan, dipertimbangkan rasa keadilan yang ingin diperolehnya, dan dipulihkan situasi dirinya atas perampasan hak-haknya dan kekerasan yang dialaminya. Hak-hak inilah yang menurut Van Boven dapat dikategorikan ke dalam tiga bagian yaitu: pertama, hak untuk mendapat informasi; kedua, hak atas keadilan. Ketiga, hak untuk mendapat ganti kerugian atau hak untuk mendapatkan pemenuhan rasa keadilan atas kerugian yang dideritanya.
Daftar Pustaka