A. Respons Atas Terjadinya Kekerasan Terhadap Perempuan
Walaupun isu kekerasan terhadap perempuan telah terkuak sebagai masalah sosial yang serius, namun masih kurang mendapat respons yang memadai, baik dari pemerintah, aparatur penegak hukum, maupun masyarakat pada umumnya. Salah satu penyebabnya adalah karena secara mendasar kekerasan terhadap perempuan dipahami hanya sebagai persoalan yang sifatnya domestik dan personal. Artinya apabila seorang perempuan menjadi korban sasaran tindak kekerasan, maka langsung dikaitkan dengan kepribadian si korban dan dicari-cari hubungannya dengan perilaku korban yang dianggap mencetuskan tindak kekerasan tersebut. Ini serupa saja dengan mengatakan bahwa, kalau perempuan mengalami tindak kekerasan, sedikit atau banyak dianggap terjadi atas andilnya. Oleh karenanya, jika korban menginginkan penanganan masalah yang menimpanya, maka dianggap cukup diselesaikan secara pribadi oleh korban.
Paling jauh, anjuran yang kerap diterima perempuan korban tindak kekerasan adalah “diselesaikan secara kekeluargaan”, yang sesungguhnya berarti menghindari penanganan secara publik, atau penyelesaian perkara melalui jalur hukum.Hal tersebut pada akhirnya menyebabkan perempuan korban tidak menaruh kepercayaan kepada sistem hukum, khususnya Sistem Peradilan Pidana ketika perempuan mengalami kekerasan.
Sebagaimana dilaporkan oleh Radhika Coomaraswamy, Pelapor Khusus PBB tentang Kekerasan terhadap Perempuan, Akar dan Dampaknya, setelah terjadinya Tragedi Mei 1998, tidak ada kasus perkosaan yang ditangani melalui Sistem Peradilan Pidana. Petugas dalam Sistem Peradilan Pidana justru berdalih karena tidak ada korban yang datang melapor, perkosaan dalam Tragedi Mei 1998 dianggap tidak terjadi. Padahal, Pelapor Khusus bertemu dengan korban dan perkosaan itu benar terjadi. Tiadanya laporan tentang perkosaan dalam Tragedi Mei 1998 yang dilaporkan ke Kepolisian berasal dari ketidakpercayaan terhadap Sistem Peradilan Pidana.
Sistem Peradilan Pidana yang bias gender menjadi tidak peka terhadap kebutuhan khusus perempuan korban kekerasan, terutama korban yang diserang integritas tubuh dan seksualitasnya. Hal ini misalnya dapat dilihat dari tata cara pemeriksaan yang tidak memberikan perlakuan khusus kepada korban agar dapat pulih dari kekerasan yang dialaminya. Padahal, dengan adanya laporan mengenai terjadinya kekerasan terhadap perempuan adalah awal untuk bekerjanya seluruh komponen subsistem dalam Sistem Peradilan Pidana.
Tanpa adanya laporan tentang kekerasan terhadap perempuan yang terjadi, subsistem dalam Sistem Peradilan Pidana akan kehilangan kesempatan untuk berkontribusi dalam pemenuhan kewajiban negara untuk memberikan jaminan hak atas rasa aman, sebagaimana dijamin dalam Pasal 28G ayat (1) Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945. Oleh karena itu, membangun konsep Sistem Peradilan Pidana yang mendengarkan suara perempuan korban dan memperhatikan relasi yang timpang sebagai akar masalah dari kekerasan terhadap perempuan, menjadi kebutuhan yang tidak terelakkan
B. SISTEM PERADILAN PIDANA BERDASARKAN KUHAP
Munculnya istilah Sistem Peradilan Pidana Terpadu (SPPT) merupakan respons dari stagnasi SPP dalam penanggulangan kejahatan, terutama terkait dengan aspek koordinasi dan integrasi antar subsistem dalam SPP. Ini setidaknya menjadi catatan kritis Muladi yang mengingatkan bahwa dalam istilah “sistem” seharusnya sudah terkandung keterpaduan. Dengan demikian penggunaan istilah tersebut harus mengarahkan penekanan pada diperhatikannya integrasi dan koordinasi, karena bagaimanapun masing-masing komponen dalam SPP memiliki kewenangan yang tidak saling mempengaruhi, sehingga membangun keterpaduan dalam keterpisahan masing-masing lembaga menjadi tantangan. Lebih lanjut menurut Barda Nawawi Arief, Sistem Peradilan Pidana Terpadu dijalankan oleh 4 (empat) subsistem yang merupakan satu kesatuan sistem penegakan hukum pidana yang integral, yaitu:
a) kekuasaan penyidikan oleh badan atau lembaga Penyidik
b) kekuasaan penuntutan oleh badan atau lembaga Penuntut Umum
c) kekuasaan mengadili dan menjatuhkan putusan atau pidana oleh badan pengadilan
d) kekuasaan pelaksanaan putusan atau pidana” oleh badan/aparat pelaksana atau eksekusi.
Apabila dihubungkan dengan struktur penegakan hukum di Indonesia, dipahami bahwa yang dimaksud dengan kekuasaan penyidikan diselenggarakan oleh Kepolisian, kekuasaan penuntutan diselenggarakan oleh Kejaksaan, kekuasaan mengadili dan menjatuhkan putusan atau pidana diselenggarakan oleh Pengadilan, dan kekuasaan pelaksanaan putusan atau pidana oleh Kejaksaan dan Lembaga Pemasyarakatan. Dengan demikian dapat disimpulkan, apabila subsistem dalam SPP bekerja dengan keterpaduan dan keselarasan yang terkoordinasi dan terintegrasi, maka tujuan dari SPP akan dapat tercapai.
C. Pengaruh Komponen Sistem Hukum Dalam Penanganan Kasus Kekerasan
Bekerjanya Sistem Peradilan Pidana tidak dapat dilepaskan dari unsur substansi hukum yang merupakan norma hukum atau peraturan perundang-undangan yang ditegakkan oleh komponen lainnya, yaitu struktur hukum dan kultur hukum. Dalam hal penerapan konsep SPPT-PKKTP, substansi hukum yang terkait dengan kekerasan berbasis gender antara lain adalah UU tentang Penghapusan Kekerasan dalam Rumah Tangga dan UU tentang Pemberantasan Tindak Pidana Perdagangan Orang, yang selain mengatur hukum materiel terkait kekerasan berbasis gender juga mengatur hukum formal walaupun terbatas jumlahnya. Selain kedua UU tersebut terdapat pula UU tentang Perlindungan Saksi dan Korban yang mengatur hukum formal tata cara pemberian perlindungan bagi saksi dan korban tindak pidana. Oleh karena itu, ketiga UU tersebut dapat dikatakan sebagai lex specialis atau UU khusus dari KUHP dan KUHAP.
• Undang-Undang
1. Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2004 tentang Penghapusan Kekerasan dalam Rumah Tangga
UU tentang Penghapusan Kekerasan dalam Rumah Tangga (UU PKDRT) merupakan peraturan perundang-undangan yang ditujukan untuk mencegah terjadinya kekerasan dalam rumah tangga (KDRT), serta untuk memberikan jaminan perlindungan secara hukum dan sosial kepada semua korban KDRT. UU tentang Penghapusan Kekerasan dalam Rumah Tangga juga menetapkan bahwa semua bentuk kekerasan yang terjadi dalam rumah tangga merupakan pelanggaran terhadap martabat kemanusiaan. Sebelum lahirnya UU ini, semua bentuk kekerasan yang terjadi di dalam ranah domestik dianggap sebagai persoalan privat saja, namun dengan adanya UU PKDRT ini semua bentuk tindakan kekerasan di ranah privat yang merupakan bentuk KDRT dapat dilaporkan serta ditangani oleh para penegak hukum.
2. Undang-Undang Nomor 21 Tahun 2007 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Perdagangan Orang UU tentang Pemberantasan Tindak Pidana Perdagangan Orang
UU yang secara khusus mengatur tindak pidana perdagangan orang dan upaya pemberantasannya. UU ini juga merupakan perwujudan dari komitmen Indonesia untuk melaksanakan Protokol Perserikatan Bangsa-Bangsa untuk Mencegah, Menindak, dan Menghukum Perdagangan Orang, Terutama Perempuan dan Anak-Anak (Protokol Palermo 2000) yang disahkan melalui Undang-Undang Nomor 14 Tahun 2009 tentang Pengesahan Protocol To Prevent, Suppress and Punish Trafficking In Persons, Especially Women and Children, Supplementing The United Nations Convention against Transnational Organized Crime (Protokol untuk Mencegah, Menindak, dan Menghukum Perdagangan Orang, Terutama Perempuan dan Anak-Anak, Melengkapi Konvensi Perserikatan Bangsa-Bangsa menentang Tindak Pidana Transnasional yang Terorganisasi).
• Pemerintah Pusat
1. Peraturan Pemerintah Nomor 4 Tahun 2006 tentang Penyelenggaraan dan Kerja Sama Pemulihan Korban Kekerasan Dalam Rumah Tangga
Peraturan Pemerintah Nomor 4 Tahun 2006 tentang Penyelenggaraan dan Kerja Sama Pemulihan Korban Kekerasan Dalam Rumah Tangga dibentuk dalam rangka menjalankan mandat dari Pasal 43 UU PKDRT yang memerintahkan dibentuknya Peraturan Pemerintah untuk mengatur lebih lanjut penyelenggaraan upaya pemulihan dan kerja sama. Peraturan Pemerintah ini menegaskan bahwa instansi pemerintah dan pemerintah daerah serta lembaga sosial merupakan lembaga yang bertanggung jawab dalam penyelenggaraan pemulihan terhadap korban, yang dalam pelaksanaannya dilakukan sesuai dengan tugas dan fungsi masing-masing, termasuk menyediakan fasilitas yang diperlukan untuk pemulihan korban. Fasilitas yang diperlukan untuk pemulihan korban meliputi:
1) Ruang pelayanan khusus di jajaran Kepolisian.
2) Tenaga yang ahli dan profesional.
3) Pusat pelayanan dan rumah aman.
4) Sarana dan prasarana lain yang diperlukan untuk pemulihan korban.
Adapun penyelenggaraan kegiatan pemulihan korban meliputi:
1) Pelayanan kesehatan.
2) pendampingan korban.
3) Konseling.
4) Bimbingan rohani
5) Resosialisasi.
Peraturan Pemerintah ini juga mengatur ketentuan mengenai koordinasi pelaksanaan kerja sama dalam rangka pemulihan korban di tingkat pusat dan daerah. Selain itu, terdapat ketentuan yang mengatur kerja sama antara tenaga kesehatan, pekerja sosial, relawan Pendamping, dan pembimbing rohani dalam melaksanakan pemulihan korban. Kerja sama tersebut meliputi:
1) Melakukan rujukan dalam pelaksanaan upaya pemulihan korban.
2) Penyiapan fasilitas rumah aman atau tempat alternatif bagi korban.
2. Peraturan Mahkamah Agung Republik Indonesia Nomor 3 Tahun 2017 tentang Pedoman Mengadili Perkara Perempuan Berhadapan dengan Hukum
Peraturan Mahkamah Agung Republik Indonesia Nomor 3 Tahun 2017 tentang Pedoman Mengadili Perkara Perempuan Berhadapan dengan Hukum ditetapkan oleh Ketua Mahkamah Agung pada 11 Juli 2017. Peraturan Mahkamah Agung merupakan inisiasi dari Kelompok Kerja Perempuan dan Anak Mahkamah Agung. Perma Nomor 3 Tahun 2017 merupakan terobosan hukum yang mengatur materi muatan yang belum terakomodasi dalam peraturan perundangundangan yang ada, terutama KUHAP. Perempuan berhadapan dengan hukum menurut Perma Nomor 3 Tahun 2017 ini adalah perempuan sebagai korban tindak pidana, saksi, atau perempuan yang berkonflik dengan hukum (pelaku tindak pidana), atau perempuan sebagai pihak.
Perma Nomor 3 Tahun 2017 memberikan kepastian hukum bagi Hakim dalam memutus perkara yang melibatkan perempuan berhadapan dengan hukum, terutama agar Hakim dapat mengambil pertimbangan-pertimbangan yang akan mendekatkan perempuan pada keadilan. Konsep Sistem Peradilan Pidana Terpadu Penanganan Kasus Kekerasan Terhadap Perempuan (SPPT-PKKTP) dibangun sebagai upaya untuk mendukung negara agar mampu melakukan kewajiban konstitusionalnya untuk memenuhi hak asasi manusia perempuan berhadapan dengan hukum, terutama perempuan yang menjadi korban kekerasan berbasis gender.
Pemenuhan hak perempuan korban tersebut setidaknya dapat diwujudkan dalam tiga aspek, yaitu (1) Memastikan landasan kebijakan yang secara substantif tidak bertentangan dengan hak-hak korban atas kebenaran, keadilan, pemulihan, pemenuhan rasa keadilan, dan jaminan ketidakberulangan. (2) Peran aparatur penegak hukum yang berkomitmen melakukan penegakan hukum dengan tetap memegang prinsip-prinsip pemenuhan hak korban, antara lain penghormatan dan penegakan HAM, nondiskriminasi, dan memastikan seluruh tahapan proses hukum dilakukan tanpa membedakan agama, suku, ras, dan jenis kelamin. (3) Sanksi hukum yang benar-benar ditegakkan, tanpa ada stratifikasi karena jabatan sosial dan ekonomi korban. Secara khusus, kebutuhan dan kepentingan korban dengan mengacu pada nilai-nilai yang adil gender menjadi dasar dari pembangunan konsep SPPT-PKKTP.
Dengan demikian, SPPT-PKKTP bertitik tekan pada perspektif korban dan mensyaratkan korban menjadi atau diletakkan pada pusat berjalannya sistem peradilan pidana. Selama ini, korban diposisikan sebagai objek, sedangkan penderitaan dan kekerasan yang dialami serta tuntutan keadilan yang didasarkan atas penderitaan korban seringkali diabaikan oleh para penegak hukum yang menangani kasus kekerasan yang dialami korban.
Dengan SPPT-PKKTP korban akan diposisikan sebagai subjek, bukan sebagai objek yang hanya diambil keterangannya saja. Sebagai subjek, korban berhak didengar keterangannya, berhak mendapatkan informasi atas upaya-upaya hukum yang berjalan, dipertimbangkan rasa keadilan yang ingin diperolehnya, dan dipulihkan situasi dirinya atas perampasan hak-haknya dan kekerasan yang dialaminya. Hak-hak inilah yang menurut Van Boven dapat dikategorikan ke dalam tiga bagian yaitu: pertama, hak untuk mendapat informasi; kedua, hak atas keadilan. Ketiga, hak untuk mendapat ganti kerugian atau hak untuk mendapatkan pemenuhan rasa keadilan atas kerugian yang dideritanya.
Daftar Pustaka
Arimbi Heroepoetri, (Editor), Sistem Peradilan Pidana Terpadu yang Berkeadilan Jender dalam Penanganan Kasus Kekerasan Terhadap Perempuan, Serial Publikasi Kemitraan Perempuan dan Penegak Hukum, Jakarta: Komnas Perempuan, LBPP Derap Warapsari, LBH APIK Jakarta, Convention Watch, PKWJ UI, 2005.
Aliansi Nasional Reformasi KUHP, DIM RKUHP, Jakarta: Aliansi Nasional Reformasi KUHP, 2015.
Bernhard Ruben Fritz Sumigar, Kodifikasi dalam RKUHP dan Implikasi terhadap Tatanan Hukum Pidana Indonesia, Jakarta: Institute for Criminal Justice Reform, 2015.
Betty Yolanda, Evi Permatasari, Kunthi Tridewiyanti dkk. Pengetahuan Hukum Sebagai Pemberdayaan Hukum bagi Perempuan Korban – Hasil Pemantauan Akses Perempuan pada Keadilan, Jakarta: Komnas Perempuan, 2011.
Dewi Yuri Cahyani, Perempuan Pembela HAM Berjuang dalam Tekanan, Jakarta: Komnas Perempuan, 2007.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H