Masih terkenang masa bermain bersama di sungai Mahakam, dimana kamu tidak pernah mau ikut turun berenang di sungai. Â Ketika kamu menjaga sepeda kami di depan kantor Gubernur. Â Seperti baru kemarin kita lewati semua itu.
Di jalan S. Parman, saat ini hanya tinggal rumah orangtua Eka yang masih ada. Â Rumahku sendiri sudah lama dijual. Tidak tertinggal lagi bangunan lama. Â Rumah kayu kami berubah menjadi rumah bata mewah dengan pagar tinggi. Â Tanaman bahkan rumput yang dulu tumbuh di halaman rumah kami juga tidak ada lagi. Rumah Hadi juga telah berubah. Â Rumah Iyan juga tidak banyak berubah namun sudah dijual kepada orang lain. Â Â Semua sudah tidak sama lagi.
Saya ingin suatu hari mengajak isteri dan anak-anak berkunjung ke sana dan melihat sungai Mahakam dengan naik ketinting. Â Melihat sungai Mahakam dari depan kantor Gubernur, melihat anak-anak berenang di sana. Â Sungai yang memberi kesan mendalam dalam hidup. Â Bahwa hidup terus mengalir bagai air sungai. Â Â
Saya, Hadi, Eka, dan Iya adalah anak-anak sungai Mahakam. Â Bahwa kami sampai kapanpun akan selalu dekat dengan sungai Mahakam. Â Entah kapan saya bisa kembali pulang ke Samarinda. Â Saya jadi teringat kembali kata-kata Julak Mamat.
"Kalau sudah minum sungai Mahakam, akan selalu terkenang dan selalu ingin datang kembali."
Semoga saja ada waktu untuk kembali pulang.
Kamilah anak-anak Mahakam. Â Kenangan itu akan terus abadi.