"Eka, kamu tidak ikut?"
"Ikam saja lah." Â (Kamu saja lah)
Iyan juga sama, ia tidak mau ikut ke Gubernuran. Â Akhirnya Hadi tidak jadi berenang di sana.Â
Ada juga cerita lain kala bulan Ramadan tiba.  Sungai Karang Mumus  ramai ketika menjelang buka puasa.  Banyak juga warga yang menghabiskan waktu menonton anak-anak yang berenang di sungai.  Pada bulan Ramadan biasanya kami sekeluarga pergi ke pasar Ramadan yang hanya ada di bulan ramadan bisanya mulai bukan sekitar jam tiga sore.
Pasar digelar dekat dengan tepian sungai Mahakam, dekat pula dengan Masjid Agung. Â Ada bermacam jajanan di sini. Â Ada beragam wade (kue) seperti bingka labu, untuk-untuk, pais pisang, pundut nasi, pilus dan masih banyak makana enak lainnya. Â Untuk minuman berbuka ada es buah, es cendol, es kelapa, jus buah dan bermacam jajanan yang menyegarkan. Â Setelah bulan Ramadan selesai, pasar dadakan ini pun usai.
Biasanya hari kedua atau ketiga setelah Lebaran kami biasanya berwisata ke Balikpapan.  Untuk menuju ke sana, mobil kami harus mengantri untuk diseberangkan melintasi sungai Mahakam dari Samarinda ke Samarinda Seberang.  Penyeberangannya sendiri hanya membutuhkan waktu sekitar dua puluh menit.  Namun untuk menunggu giliran mobil masuk ke dalam feri itu yang memakan waktu lebih lama.  Biasanya sambil menunggu, kami makan gado-gado di rumah makan langganan.  Kami juga membeli  makanan khas Samarinda seperti roti gabin dan amplang.  Bukan buat oleh-oleh tapi buat kami makan sendiri di perjalanan.Â
Biasanya kami menunggu sekitar satu jam. Â Â Kalau sedang sepi, mobil bisa langsung naik ke atas feri. Â Memang pernah ada kejadian, kami menunggu lebih dari dua jam karena kapal feri itu berhenti di tengah sungai Mahakam karena berusaha menolong seorang anak yang tercebur ke sungai. Â Ia sedang bermain bersama temanya di dekat pinggir kapal dan entah bagaimana bisa terjatuh. Â Sayang, anak itu tidak bisa ditolong. Â Ia hilang ditelan dalamnya sungai Mahakam.
Mama sampai takut dan melarang kami turun dari mobil. Â Memang pagar pengaman feri tersebut hanya berupa besi dengan tiga batang besi melintang secara horizontal. Â Â Masing-masing di atas, tengah, dan bawah. Â Sehingga menyisakan celah yang besar dan membahayakan bagi anak-anak dan orang dewasa. Â Jadi mesti ada pengawasan ekstra orangtua terhadap anak-anak mereka. Â Kalau di atas kapal feri Mama suka memperingati kami agar jangan bermain di pinggir kapal atau berlarian. Â Makanya ketikakapal feri menyeberang kami diajak Mama naik ke ruang tunggu penumpang yang ada di lantai atas kapal feri. Â
"Sudah, duduk di sini. Â Jangan kemana-mana," kata Mama.
Kalau lebaran saya, Eka, atau Iyan biasanya jalan-jalan ke Balikpapan. Â Lain halnya dengan Hadi. Â Ia dan seluruh keluarga jalan-jalan ke Jakarta. Â Bagi kami pergi dengan naik pesawat udara adalah sebuah kemewahan. Â Â Bu Nurhan sepulang dari Jakarta biasanya mampir ke rumah mengantarkan oleh-oleh.
Namun ketika menginjak saya kelas VI SD, Bu Nurhan tidak pernah lagi datang mengantarkan oleh-oleh. Â Beliau wafat karena sakit. Â Padahal saat itu Hadi baru punya adik laki-laki yang berusia satu tahun. Â Mama sampai menangis mengetahui kabar ini. Â Tapi Hadi tetaplah Hadi. Â Ia hanya sebentar berduka, setelah itu ia tetap menjadi sahabatku yang riang dan tidak pernah diam. Â Kami masih berenang di sungai Mahakam dan bermain bola di depan rumahku ketika hujan turun dengan lebatnya. Â Hidup tetap terus berjalan ya, Hadi.