Mohon tunggu...
Giorgio Babo Moggi
Giorgio Babo Moggi Mohon Tunggu... Lainnya - Pembelajar yang tak berhenti untuk menulis

Dream is My Life's Keyword.

Selanjutnya

Tutup

Cerpen Pilihan

Cerpen | Senja yang Terluka

26 April 2019   07:59 Diperbarui: 26 April 2019   15:57 257
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Ilustrasi (Darahmimpi.com)

"Saya tidak butuh tulisan yang romantis begini. Tulisan seperti hanyalah sebuah rekayasa perasaan. Tidak tulus. Tulisan yang dibuat-buat. Sulit untuk dipercaya. Spontanitas seperti tadi, itu yang sesungguhnya."

Teluk mungil. Membentuk sebuah cekungan besar. Pagar bebatuan raksasa berwarna hitam membentengi teluk. Pantai melandai. Lumuran butiran pasir halus berwarna putih. Sejuk dan lembut di mata.

Hamparan laut membiru. Bersih. Tak bernoda. Gulungan ombak melumuri butiran pasir halus. Riak-riak itu mendesah lalu kembali menggulung dan menghempas lagi.

Monika berlari-lari melewati celah pepeohonan. Menyusuri sepanjang pantai untuk merekam keindahan teluk itu. Ia tak peduli panas terik yang menikam ubun-ubunnya. Senyumnya tersungging pada setiap tapak kakinya melangkah. Guratan bahagia tampak pada wajahnya. Marvel terus mengamatinya lewat video call.

Kebahagiaan Monika membuncah. Sama dasyatnya kerinduan Marvel padanya. Menyatu dengan melodi alam. Senyumnya merekah lalu menutup mulutnya dengan tangannya tapi ia tak dapat menyembunyikan kegembiraannya. Rambutnya tegerai. Sesekali angin mengibaskan rambutnya yang menjuntai di punggungnya.

Video call hanya satu lasan Mavel untuk melihat wajah Monika siang itu. Rindunya pada Monika tak terbendung. Menyeruak dari dasar bathin. Karena itu Marvel meminta Monika untuk melakukan live report dari teluk mungil itu.

Lima menit mereka berkomunikasi, lalu Marvel menyatakan cukup. Meingsyaratkan sebuah kecupan dengan tangannya. Suara "muach" meluncur dari bibirnya yang terbalut kasmaran, lalu Marvel matikan panggilan.

Angan Marvel terbang jauh sekali. Menyebarangi Laut Sawu. Berhenti di teluk mungil itu. Monika hadir dalam angannya. Hasratnya segera merengkuhnya. Mendekapnya dengan segenap cintanya. Apa daya? Tangan tak sampai.

Kekuatan cinta meracuni Marvel. Nalarnya tak berdaya. Berkas-berkas ditelantarkan di meja kerjanya. Hanya ada Monika dalam angannya. Rindu itu tak terbendung, Marvel segera meraih handphone-nya. Meneleponnya. Suara teman-teman Monika terdengar di ujung telepon.

"Siapa?" Tanya mereka kepada Monika.

"My boy friend." Jawabnya dalam balutan bahagia.

"Akh, sembarang saja." Balas Marvel.

"Apa?"

"Sembarang saja."

"Malas."

"Kenapa malas?"

"Malas."

"Tut...tut...tut..." Panggilan terputus.

Marvel meneleponnya berkali-kali tapi ditolaknya. Saya mengirimkan pesan melalui Whatsapp tapi tidak dibacanya apalagi dibalasnya.

Marvel mencoba telpon dan telpon lagi. Nomornya tak dapat dihubungi lagi.

"Nomor yang anda hubungi dalam keadaan mati. Silahkan mencoba beberapa saat lagi."

Marvel panik. Tak tenang. Keluar dan masuk ruang kerjanya. Kerja pun enggan. Padahal pekerjaanya menumpuk.

Status betere HP mendekati 10 persen, Marvel lalu men-charge-nya. Marvel lanjut mengerjakan  tugasnya sekedar mengobati hatinya yang galau. Itu tak banyak membantu. Monika, Monika, dan lagi Monika yang ada di benaknya.

Dua jam kemudian, Marvel hidupkan handphone. Astaga...balasan Monika meremukan hati Marvel.

"Sudahlah. Saya malas. Kamu mempermalukan saya. Apabila dirimu tak mau diakui yah sudah. Berbicara di telepon saja sudah begini apalagi kalau sampai ketemu pasti kamu menghindar."

Marvel meneleponnya tapi diterimanya. Maksud Marvel berbicara langsung lebih tepat daripada mengetik lewat Whatsapp. Marvel pun membalas Whatsapp-nya.

"Sayang, saya minta maaf. Kamu mendengar penjelasanku dulu."

"Tidak! Saya bukan anak kecil. Jangan ngelabuin saya."

"Ijinkan saya telepon." Pinta Marvel.

"Hmmm, saya punya pendengaran masih normal. Saya tidak salah dengar kata-katamu tadi."

"Ijinkan saya telepon." Sekali lagi Marvel meminta kesempatan.

"Tak usah telepon, saya mau tidur."

"Bisa khan kita berdua bercanda."

"Bercanda ada saatnya. Tapi itu bukan canda."

"Haha...."

"Saya bisa rasa itu di hati. Jangan tertawa. Saya tidak suka."

"Yang lebih tahu kamu atau saya?"

"Mata batin saya lebih tajam daripada anda."

"Saya tahu itu. Karena itu saya memilih kamu."

"No."

"Apakah kamu mengaktifkan speaker saat menerima telepon dari saya?"

"Maksudmu? Jelaskan!"

"Kamu bilang saya mempermalukan kamu. Artinya, percakapan kita didengar teman-temanmu. Padahal kita berdua sering bercanda khan."

"Canda? Sudahlah. Saya sudah dewasa. Don't lie me."

"How I can lie you?"

"Tak perlu dijelaskan. Semuanya sudah jelas."

"Kamu menyimpulkan tentang saya terlalu dini."

"Sekali lagi, saya bukan anak kecil."

"Ijinkan saya meneleponmu." Marvel merengek.

"Tak usah telepon saya lagi. Saya tidak akan angkat. Sumpah. Saya tak mau berhubungan denganmu."

"Bila berkenaan, ijinkan saya menelponmu. Biarlah besok kita menenun lembaran hidup baru. Kiranya kamu dapat memaafkanku. Kalau tidak bisa, bencilah aku sepuasmu. Memaki sepuasmu bila saya telah melukaimu."

"Jangan alihkan pembicaraan."

"Saya tidak punya niat untuk menyakitimu. Bila hatimu berkata begitu, saya tidak bisa melenturkan baja. Saya tidak bisa menggeser sebuah batu raksasa. Hatiku bukan legenda sebuah batu yang dapat dipindahkan. Ketetapan hatiku, untukmu. Karena apa? Ya, aku yang tahu. Kalaupun aku menjelaskannya, tak akan mengubah pandanganmu tentangku."

"Saya tidak butuh tulisan yang romantis begini. Tulisan seperti hanyalah sebuah rekayasa perasaan. Tidak tulus. Tulisan yang dibuat-buat. Sulit untuk dipercaya. Spontanitas seperti tadi, itu yang sesungguhnya."

"Saya tahu kamu mencintaku dari hati. Kamu tulus membangun hubungan denganku."

"Anda menginginkan perasaan yang tulus lalu kenapa tidak menerima pengakuan dari saya?"

"Komunikasi itu penting, sayang. Mengapa kamu menolak teleponku? Sebenarnya aku mau menjelaskan peristiwa yang menyakitkanmu itu."

"Saya punya hati tidak akan luluh. Saya kecewa. Tadi bukan bercanda. Begini yah kalau memang tidak nyaman dengan saya, ya bicara apa adanya. To the point."

"Lantas, untuk apa saya menceritakan seluruh kisah masa laluku semalam?"

"Ya itu khan hanya ingin berbagi."

"Berbagi untuk apa? Karena keyakinanku kepadamulah, aku membuka diri apa adanya."

"Kekuatan doa yang paling besar adalah memaafkan orang lain. Bahasa kitab sucinya, mengampuni." Lanjut Marvel.

"Ya. Sudahlah. Semuanya saya yang salah. Saya terlalu berlebihan maka saya tidak kontrol diri. Tapi itu tulus saya mengakui. Kalau memang kamu tidak mengakui yah mungkin karena alasan lain. Dan, saya tahu alasan itu apa. Jadi, sebelum hubungan ini terlalu jauh yah saya memilih untuk mengundurkan diri. Maafkan saya."

Pesan terakhir dari Monika dibaca Marvel berulang kali. Beragam perasaan berkecamuk. Marvel ingin berteriak sepuasnya. Memecahkan malam yang semakin larut. Tapi itu tak mungkin. Malam terlalu sunyi.

Menunggu balasan Whatsapp dari Monika tak kunjung tiba, Marvel pun tertidur. Lelap sekali. Perdebatannya dengan Monika telah menguras energi yang besar. Lebih berat daripada ia membajak sawah di kampungnya. Kali ini ia benar-benar rasa bersalah, menyesal dan pula kesal. Kesal karena sikap Monika yang tak mau peduli dengan permintaannya.

Marvel sadar telah melakukan kesalahan besar. Melukai perasaan Monika dengan kata-katanya. Itu telah membuat Monika meneteskan air mata tanpa sadar di hadapan teman-temannya. Bahkan ia diledekin teman-temannya. Ia merasa telah dipermalukan oleh Marvel.

Itulah sebabnya Monika berperang habis-habisan dengan Marvel. Ia tak perduli lagi dengan penyesalan kekasihnya. Tekadnya bulat. Putus. Jalan terbaik bagi Monika sebelum segala sesuatu yang terburuk terjadi padanya.

Sementara Marvel sadar akan kata-katanya. Ia tak bermaksud sedikit pun untuk melukai wanita yang dicintai itu. Apa yang dilakukannnya hanyalah candaan. Sayangnya, Marvel tak tahu kalau Monika menghidupkan speaker sehinga teman-temannya mendengar kata-katanya.

Bujuk rayu Marvel tak mampu meluluhkan hati Monika. Monika tetap bersikap keras dan tegas untuk tidak menerima telepon atau membalas Whatsapp Marvel.

Kata-kata kadang dapat menjelma menjadi sebilah pedang yang dapat melukai orang lain. Bila orang terluka oleh kata-kata, luka itu akan sembuh dalam jangka waktu yang lama. Lebih mudah diobati luka fisik daripada luka bathin, luka perasaan atau luka psikis.

Monika mengalami itu. Ia memang terluka oleh kata-kata Marvel. Sementara Marvel beranggapan biasa saja. Tak perlu dirasiaukan dengan kata-katanya. Niatnya hanya untuk bercanda. Tapi Marvel berjanji dalam bathinnya tak akan melukai Monila lagi.

Pertengkaran Monika dan Marvel telah mengoyakkan senja itu. Keindahan teluk mungil itu tak mampu mendamaikan mereka. Menunggu sunset tiba, malah petaka yang datang. Petaka itu mendatangkan luka bagi Monika. Luka itu dibawa pulangnya ke rumah. Entah sampai kapan luka itu sembuh.

Keindahan senja di teluk mungil itu memudar seiring luka bathin Monika yang dirajam kata-kata Marvel. Senja pun terluka. Monika dan Marvel saling diam setelah berperang kata di Whatsapp. Dua-duanya saling menunggu. Eentah, siapa yang akan memulai. ***

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
  7. 7
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun