Mohon tunggu...
Azwar Abidin
Azwar Abidin Mohon Tunggu... Dosen - A humble, yet open-minded wordsmith.

Faculty Member at FTIK, State Islamic Institute of Kendari. Likes Reading, Drinks Coffee.

Selanjutnya

Tutup

Pendidikan Pilihan

Memahami [Batasan] Ketidaktahuan

24 Februari 2021   16:56 Diperbarui: 24 Februari 2021   17:16 646
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Memetakan ketidaktahuan terhadap berbagai hal juga akan berdampak positif terhadap karir profesional kita nantinya. Sebab penguasaan terhadap suatu disiplin ilmu akan menciptakan status kepakaran. Status itu akan menjamin suatu otoritas meski hal ini perlu kita waspadai sebab otoritas punya tendensi melahirkan arogansi.

Arogansi itu bisa menyasar siapa saja bahkan seorang pakar sekalipun. Arogansi membuka keran bagi luapan emosional untuk mengambil kendali terhadap olah pikir rasional. Kita lalu mengabaikan banyak sisi dan perspektif yang seharusnya mendapat perhatian. Apalagi jika kepakaran itu ditopang oleh kekuasaan. Kesempatan untuk terjerumus pada kesalahan fatal semakin besar sebab pada posisi itu seseorang terpancing menggunakan dua bentuk otoritas (ilmu dan kuasa) untuk memaksakan kehendaknya.

Seperti yang dikatakan oleh Lord Acton (1833-1902) bahwa kekuasaan cenderung merusak dan kekuasaan mutlak akan benar-benar menciptakan kerusakan. Tendensi arogansi untuk fokus terhadap pribadi orang lain sekaligus mengabaikan argumentasinya membuat seseorang tidak lagi menimbang putusan berdasarkan metodologi yang diadopsinya dari bidang ilmu yang ia tekuni. Ia malah justru memutuskan sesuatu dengan berlindung dibalik otoritas yang dimungkinkan oleh status yang dimungkinkan oleh ilmu itu.

Bila merujuk pada kategori yang disebutkan DeNicola di awal, hal itu jelas berasal dari kesalahan memahami apa yang tidak diketahuinya. Sudah tidak tahu, disalahpahami pula. Padahal, untuk sesuatu yang kita ketahui dan pahami saja jelas menempatkan kita pada level di atas, setara, atau bahkan di bawah dari pengetahuan dan pemahaman orang lain. 

Kaum cendekiawan hingga masyarakat awam perlu memerhatikan konsep ini dengan seksama. Sebab seorang figur yang telah mendapatkan pengakuan kepakaran pun baik secara akademis maupun non-akademis masih bisa terjerumus menyalahpahami ketidaktahuannya apalagi mereka yang jelas-jelas tidak menyandang gelar kepakaran apapun.

Media massa dan media sosial banyak melahirkan oknum dengan karakter demikian. Anehnya, orang-orang yang tersesat dan tertimbun oleh ketidaktahuannya ini justru sering diviralkan oleh masyarakat bahkan diundang ke TV nasional. Sangking besarnya kontribusi yang mereka berikan terhadap rating siaran sampai mengalihkan fokus kita pada hal-hal yang lebih esensial seperti pengawasan terhadap penegakan hukum atau jalannya pemerintahan sesuai amanat konstitusi.

DeNicola menegaskan bahwa akses informasi yang semakin mudah dengan perangkat mobile tidak masuk dalam kategori pembelajaran. Baginya, belajar harus konsisten dengan suatu metodologi tertentu sehingga menuntut fokus hingga minat. Proses belajar itu mengaitkan seluruh informasi yang telah disaring ke dalam jaringan konseptual dan membentuk kerangka kognitif di pikiran. 

Pikiran itu juga dihiasi oleh nilai moral, tradisi intelektual, dan imajinasi artistik. Hasil dari olahan informasi itulah yang menentukan cara kita menyampaikan gagasan, bertindak, bergaul dengan sesama, dan memaknai dunia sekitar. Secara luas, hal itu juga memancing keingintahuan kita terhadap konsep-konsep lain di dunia luar sana.

Dengan demikian, jelas bahwa pengetahuan dan pemahaman kita dipengaruhi oleh kondisi psikologis serta kebiasaan kita sendiri. Entah itu belajarnya sampai paham atau sekadar tahu saja. Mereka yang tidak memahami ketidaktahuan mereka justru akan dibingungkan dengan sejauh mana batasan kemampuan dan kepakaran mereka sendiri.

DeNicola mencontohkan dengan aktivitas membaca. Menurutnya, menyelesaikan satu buku tiap hari selama seumur hidup, taruhlah sampai 3000 judul buku, tidak akan menjamin pengetahuan dari apa yang telah kita baca. Menurutnya, kita tak akan pernah tahu sampai mana batasan pengetahuan yang kita peroleh dari bacaan itu.

Sebab pemerolehan pengetahuan dari kegiatan membaca itu bisa saja tercampur dengan pengetahuan yang kita peroleh sebelum kegiatan membaca itu dilakukan. Layaknya cerita yang kita dengar dari orang lain yang juga mereka dengarkan dari orang sebelumnya. Kita tak akan pernah tahu secara persis gambaran peristiwa dan batasan informasi dari masing-masing orang yang sudah menyampaikan cerita itu.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Pendidikan Selengkapnya
Lihat Pendidikan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun