Tidak seorang pun yang ingin dituduh tidak tahu apa-apa. Begitu pun dengan tuduhan sok tahu, taka da yang ingin menyandangnya. Namun ketidaktahuan merupakan hal yang niscaya dan memahami ketidaktahuan merupakan salah satu jalan menuju rasionalitas. Lalu bagaimana kita memahami ketidaktahuan?
Daniel R. DeNicola mengurai kajian epistemologis tentang ketidaktahuan dalam bukunya Understanding Ignorance sebagai berikut:
- Kita tahu (sadar) bahwa kita tidak tahu;
- Kita tidak tahu (tidak sadar) bahwa kita tahu; dan
- Kita tidak tahu (tidak sadar) bahwa kita tidak tahu.
Kategori pertama lahir dari ketulusan pengakuan akan keterbatasan diri. Bentuk pengakuan ini merupakan kesadaran yang ditopang baik oleh alasan-alasan rasional atau yang sifatnya personal (pribadi). Kategori kedua melibatkan aspek psikologis baik dengan sengaja maupun tidak. Kategori kedua merujuk pada segala sesuatu yang sebetulnya kita ketahui tetapi dapat dipahami dengan baik penjelasan logis melalui metodologi atau olah pikir. Kategori ketiga merupakan kategori paling umum. Karakter dengan kategori ketiga banyak kita jumpai di ruang publik seperti media sosial. Karakter yang sesumbar dengan komentar tetapi argumentasinya hanya menyulut pertikaian dan perdebatan.
Mengetahui bukan berarti memahami. Tahu dan paham adalah dua kata kerja yang berbeda. Aktivitas yang melibatkan pengetahuan hanya berdasar pada segala macam input yang secara bebas dapat diartikulasikan ulang. Aktivitas yang melibatkan pemahaman, di sisi lain, menuntut adanya pendekatan epistemologis.Â
Artinya, untuk memahami sesuatu, kita butuh pendekatan pikir dan metodologi yang tepat. Dalam istilah umum, mengetahui merujuk pada pengetahuan dan memahami merujuk pada ilmu. Oleh karena itu, istilah ilmu pengetahuan adalah keliru karena bila merujuk pada kaidah DM (dijelaskan menjelaskan) dalam Bahasa Indonesia, pengetahuan tidak dapat menjelaskan ilmu. Ilmu lah sebagai pendekatan dan metode yang dapat menjelaskan pengetahuan.
Pemahaman mencakup berbagai macam informasi yang kita miliki kemudian mengaitkannya satu sama lain secara sistematis di pikiran kita. Memahami berarti mampu mendeskripsikan sekaligus menentukan kategori suatu hal sekaligus mengevaluasi serta menerapkan apa yang saya ketahui. Meski demikian, kita tetap memgakui dan terbuka terhadap pemahaman lainnya yang berbeda dari apa yang kita pahami.
Dalam penjabarannya terhadap kegiatan memahami, DeNicola menyebutkan bahwa inteligensi tidak berpengaruh secara signifikan. Bahkan dalam beberapa situasi atau kondisi, orang dengan inteligensi tinggi justru gagal memahami pola yang terpampang jelas di depan matanya atau malah terjebak pada putusan ceroboh yang berdampak sial terhadap hidupnya. Untuk memahami hal ini secara terpisah, silakan baca artikel berikut: Kecerdasan Bukan Jaminan
Terlebih, sikap acuh tak acuh dengan lari dari masalah yang seharusnya kita hadapi merupakan bentuk ketidaktahuan yang paling fatal. Ketidaktahuan pada konteks ini merujuk pada pengabaian terhadap tanggungjawab moral terhadap diri sendiri. Akibatnya, kesempatan untuk merasakan pengalaman menghadapi sesuatu menjadi terlewatkan. Sehingga ketidakpedulian kita terhadap suatu hal menandai ketidaktahuan kita merespon hal itu secara tepat.
Mengakui Ketidaktahuan Kita
Dengan mengakui kekurangan diri, terutama menyangkut hal yang tidak diketahui, kita membuka ruang kognitif untuk mengurai pengetahuan yang mungkin saja kita salahpahami. Kesempatan ini menuntun kita untuk belajar dengan cara yang benar. Bahwa kepastian data serta informasi tidaklah sebanding dengan usaha memperbaiki, meningkatkan, dan menyematkan moralitas pada penyakit ketidaktahuan kita.
Memetakan ketidaktahuan terhadap berbagai hal juga akan berdampak positif terhadap karir profesional kita nantinya. Sebab penguasaan terhadap suatu disiplin ilmu akan menciptakan status kepakaran. Status itu akan menjamin suatu otoritas meski hal ini perlu kita waspadai sebab otoritas punya tendensi melahirkan arogansi.
Arogansi itu bisa menyasar siapa saja bahkan seorang pakar sekalipun. Arogansi membuka keran bagi luapan emosional untuk mengambil kendali terhadap olah pikir rasional. Kita lalu mengabaikan banyak sisi dan perspektif yang seharusnya mendapat perhatian. Apalagi jika kepakaran itu ditopang oleh kekuasaan. Kesempatan untuk terjerumus pada kesalahan fatal semakin besar sebab pada posisi itu seseorang terpancing menggunakan dua bentuk otoritas (ilmu dan kuasa) untuk memaksakan kehendaknya.
Seperti yang dikatakan oleh Lord Acton (1833-1902) bahwa kekuasaan cenderung merusak dan kekuasaan mutlak akan benar-benar menciptakan kerusakan. Tendensi arogansi untuk fokus terhadap pribadi orang lain sekaligus mengabaikan argumentasinya membuat seseorang tidak lagi menimbang putusan berdasarkan metodologi yang diadopsinya dari bidang ilmu yang ia tekuni. Ia malah justru memutuskan sesuatu dengan berlindung dibalik otoritas yang dimungkinkan oleh status yang dimungkinkan oleh ilmu itu.
Bila merujuk pada kategori yang disebutkan DeNicola di awal, hal itu jelas berasal dari kesalahan memahami apa yang tidak diketahuinya. Sudah tidak tahu, disalahpahami pula. Padahal, untuk sesuatu yang kita ketahui dan pahami saja jelas menempatkan kita pada level di atas, setara, atau bahkan di bawah dari pengetahuan dan pemahaman orang lain.Â
Kaum cendekiawan hingga masyarakat awam perlu memerhatikan konsep ini dengan seksama. Sebab seorang figur yang telah mendapatkan pengakuan kepakaran pun baik secara akademis maupun non-akademis masih bisa terjerumus menyalahpahami ketidaktahuannya apalagi mereka yang jelas-jelas tidak menyandang gelar kepakaran apapun.
Media massa dan media sosial banyak melahirkan oknum dengan karakter demikian. Anehnya, orang-orang yang tersesat dan tertimbun oleh ketidaktahuannya ini justru sering diviralkan oleh masyarakat bahkan diundang ke TV nasional. Sangking besarnya kontribusi yang mereka berikan terhadap rating siaran sampai mengalihkan fokus kita pada hal-hal yang lebih esensial seperti pengawasan terhadap penegakan hukum atau jalannya pemerintahan sesuai amanat konstitusi.
DeNicola menegaskan bahwa akses informasi yang semakin mudah dengan perangkat mobile tidak masuk dalam kategori pembelajaran. Baginya, belajar harus konsisten dengan suatu metodologi tertentu sehingga menuntut fokus hingga minat. Proses belajar itu mengaitkan seluruh informasi yang telah disaring ke dalam jaringan konseptual dan membentuk kerangka kognitif di pikiran.Â
Pikiran itu juga dihiasi oleh nilai moral, tradisi intelektual, dan imajinasi artistik. Hasil dari olahan informasi itulah yang menentukan cara kita menyampaikan gagasan, bertindak, bergaul dengan sesama, dan memaknai dunia sekitar. Secara luas, hal itu juga memancing keingintahuan kita terhadap konsep-konsep lain di dunia luar sana.
Dengan demikian, jelas bahwa pengetahuan dan pemahaman kita dipengaruhi oleh kondisi psikologis serta kebiasaan kita sendiri. Entah itu belajarnya sampai paham atau sekadar tahu saja. Mereka yang tidak memahami ketidaktahuan mereka justru akan dibingungkan dengan sejauh mana batasan kemampuan dan kepakaran mereka sendiri.
DeNicola mencontohkan dengan aktivitas membaca. Menurutnya, menyelesaikan satu buku tiap hari selama seumur hidup, taruhlah sampai 3000 judul buku, tidak akan menjamin pengetahuan dari apa yang telah kita baca. Menurutnya, kita tak akan pernah tahu sampai mana batasan pengetahuan yang kita peroleh dari bacaan itu.
Sebab pemerolehan pengetahuan dari kegiatan membaca itu bisa saja tercampur dengan pengetahuan yang kita peroleh sebelum kegiatan membaca itu dilakukan. Layaknya cerita yang kita dengar dari orang lain yang juga mereka dengarkan dari orang sebelumnya. Kita tak akan pernah tahu secara persis gambaran peristiwa dan batasan informasi dari masing-masing orang yang sudah menyampaikan cerita itu.
Otoritas dan Tradisi Kepakaran
Berdasarkan penjelasan sebelumnya, DeNicola menyarankan kita untuk mengikuti pakar yang jelas otoritas keilmuan dan tradisi kepakarannya. Nilai epistemologis itu bisa dilihat dari aspek fokus kajian, ketertarikan, keterbukaan, kehati-hatian terhadap prosedur, tekun, berorientasi data dan fakta, serta menghargai sejawat maupun rekan pakar dari bidang kajian lainnya.
DeNicola sendiri, sejauh pembacaan saya, juga memimpikan sebuah masyakarat epistemik. Masyarakat yang mengonfirmasi data dan fakta dari pengalaman partikularnya ke otoritas kepakaran alih-alih membangun opini dari apa yang ditemukannya.
Sebab isu yang didiskusikan oleh para pakar akan menyesuaikan dengan tradisi dan iklim lingkungan akademis di sekitarnya. Gunanya, selain berkontribusi terhadap informasi faktual yang ada, juga meminimalisasi peluang kalangan yang tidak tahu apa yang mereka tidak ketahui untuk mengklaim panggung sandiwaranya di depan publik.
Sejauh ini, soalan tentang berapa banyak hal yang kita tahu dan berapa banyak pula yang kita pahami suka tidak suka memang menyeret kita ke pola pikir filosofis. Namun dari pencarian kita terhadap pengetahuan dan pemahaman hendaknya dibarengi oleh sikap sederhana dan rendah hati.
DeNicola lewat Understanding Ignorance-nya sungguh mengusik zona nyaman yang selama ini kita klaim dengan mempertanyakan sejauh mana sebenarnya pemahaman kita terhadap sesuatu yang kita tahu. Jangan-jangan selama ini kita tidak pernah tahu, hanya pura-pura tahu, atau malah justru sok tahu.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H