Mohon tunggu...
Azwar Abidin
Azwar Abidin Mohon Tunggu... Dosen - A humble, yet open-minded wordsmith.

Faculty Member at FTIK, State Islamic Institute of Kendari. Likes Reading, Drinks Coffee.

Selanjutnya

Tutup

Pendidikan Artikel Utama

Seberapa Penting Lingkaran Persahabatan Peserta Didik?

29 Januari 2020   20:57 Diperbarui: 2 Februari 2020   08:28 856
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Jalinan persahabatan merupakan salah satu faktor penopang keberhasilan proses belajar. Sayangnya, hal ini tidak mendapat perhatian di lingkungan institusi pendidikan. 

Sekama ini, ruang belajar memanipulasi interaksi sosial sedemikian rupa untuk memaksimalkan proses kognitif namun mengesampingkan proses pengembangan mental, diri, dan kepribadian.

Jalinan persahabatan yang baik merupakan indikasi pengembangan konsep diri yang sehat. Aristoteles, Francis Bacon, hingga C.S. Lewis sering menekankan perlunya seseorang memerhatikan lingkaran persahabatannya karena hal tersebut mencerminkan kualitas kepribadiannya. 

Meski Soren Kierkegaard dan Thomas Hobbes pesimis terhadap hal tersebut, mayoritas filsuf mensyaratkan komitmen untuk saling memaksimalkan potensi diri lewat dukungan sahabat.

Lingkaran persahabatan merupakan salah satu rumah tempat seseorang menemukan kedamaian dan merasa diterima. Selain dukungan, sahabat memberikan sandaran yang memungkinkan seseorang mampu menghadapi dinamika dan problematika kehidupannya. Seperti keluarga, sahabat adalah tempat berbagi di mana seseorang bahkan menunjukkan jati diri yang tidak ia tunjukkan di tempat lainnya.

Beberapa kasus yang mencuat di media belakangan ini berkaitan dengan peserta didik yang sampai memutuskan mengakhiri hidup di rumah atau bahkan di lingkungan sekolahnya.

Hal tersebut merupakan peringatan keras bagi institusi pendidikan untuk peduli dengan kesehatan mental peserta didik dimulai dari menyehatkan lingkaran persahabatan dan pergaulannya. Sebab kasus serupa akan kembali terulang jika peserta didik gagal menemukan "rumah" di lingkungan keluarga, sahabat, dan masyarakatnya.

Mestinya, lingkungan belajar merupakan tempat bersahabat di mana peserta didik mampu bersosialisasi dan mengekspresikan diri selayaknya lingkungan lainnya tempat ia meluangkan waktu.

Ada mindset penting yang mesti diubah dari penanggungjawab dan pengelola institusi pendidikan berkaitan dengan bagaimana mereka memandang peserta didik; bahwa mereka bukan sekadar data statistik.

Kompetensi: Kolaborasi dalam Kompetisi

Euforia Revolusi Industri 4.0 yang merasuki institusi pendidikan malah terpaku dalam tujuan menjadikan peserta didik sebagai instrumen dalam industri/ pasar kerja. Lihat saja bagaimana sekolah dan kampus mengejar akreditasi dan peringkat dengan berorientasi pendapatan yang pengembangannya didasarkan pada analisis untung-rugi.

ilustrasi alignthoughts.com ---edited by Adobe Spark Template
ilustrasi alignthoughts.com ---edited by Adobe Spark Template
Perilaku kritis terhadap kinerja tenaga pendidik dan kependidikan pun, baik teguran maupun secara tertulis, terkesan menyasar kredibilitas dan pribadi sasaran kritik alih-alih bersifat kontruktif untuk kepentingan bersama.

Bias-bias seperti ini kita pertontonkan secara langsung ke peserta didik setiap waktu. Seakan konsep menguasai pertarungan mental serta memenangkan reputasi di tempat kerja merupakan hal yang wajar.

Singkatnya, institusi pendidikan fokus menargetkan kehidupan profesional namun menampik pentingnya menerima diri sendiri, kehidupan berkeluarga, dan bermasyarakat.

Selama ini peserta didik dipandang hanya sebagai data lewat manifestasi rasio antara tingkat kelulusan dan serapan dunia kerja yang fungsinya tidak lain untuk menarik minat calon peserta didik berikutnya.

Manajemen pendidikan sepertinya terlalu bertumpu pada data untuk menjustifikasi keberadaannya. Di masa ketika institusi pendidikan mulai dipertanyakan perannya seperti sekarang ini, ide-ide untuk merombak tatanan di institusi pendidikan semakin gencar digaungkan. 

Beberapa kebijakan Mendikbud Nadiem saja banyak yang dibuat terhenyak. Padahal diskusi ide dan konsep di dunia pendidikan merupakan hal yang biasa.

Dalam bingkai persaingan di dunia akademis, di mana institusi pendidikan saling berebut calon peserta didik baru, staf dan tenaga pendidik didoktrin sedemikian rupa untuk membentuk suasana lingkungan belajar yang berorientasi fenomena pasar.

Di ruang kelas, kita menanamkan doktrin pada peserta didik kita bahwa begitu mereka meninggalkan sekolah/ kampus maka selain mereka adalah musuh yang mesti disingkirkan untuk sebuah posisi tertentu.

Mengapa kita tidak mencoba mengembangkan potensi kemanusiaan mereka lewat bangunan persahabatan antar sejawat? Toh, selain mengembangkan potensi individu, mereka juga mampu mengembangkan kemampuan bekerja sama dengan saling menemukan ketertarikan atau minat yang bisa didukung ke tahap profesional.

Sehingga alih-alih tunduk pada sistem pasar kerja yang justru merawat sisi kompetitif yang menghalalkan segala cara untuk menjadi pemenang, mereka justru mampu saling menemukan satu sama lain, membangun kepercayaan dan kerjasama.

Itu sekaligus mendefinisikan kerja serta profesi mereka sendiri. Sebab setiap revolusi industri akan meredefinisi peran & karakter individu sekaligus merekayasa pola hidup dan interaksi masyarakatnya.

Untuk menopang sebuah peradaban, pendidik punya tugas memoles tabiat dan perilaku peserta didik sedemikian rupa agar tak hanya secara sadar berkontribusi lewat kreasi dan ketekunan namun juga tidak lupa menjaga relasi antar sesama.

Pendidik perlu memperingatkan peserta didik akan perilaku apatis apalagi kompetisi yang tidak memungkinkan kolaborasi dibangun dengan melibatkan banyak pihak.

Komunitas Intelektual yang Peduli Sesama

Lingkungan belajar berlandaskan filosofi jalinan persahabatan yang memupuk saling peduli, percaya, dan dukung antar peserta didik sebenarnya cukup populer. Bahkan, tak satupun rancangan program semester yang tidak menuliskan kompetensi ini dalam daftar.

Tapi mindset profit yang menyasar porsi di pasar kerja membuat kita selalu was-was akan ketidaksiapan peserta didik terhadap tuntutan kerja sehingga kelas dan tatap muka hanya fokus pada wilayah teknis instruktif.

Melaksanakan program pendidikan dengan memberikan penguatan pada relasi persahabatan antar peserta didik merupakan langkah awal menyiapkan budaya intelektual yang memerhatikan pengembangan diri, integritas, komitmen menjaga dan merangkul sesama.

Bukan hanya pengembangan aspek kognitif dan spiritual, wilayah emosional pun perlu diarahkan. Seluruh aspek pengetahuan hendaknya terlebih dahulu mencukupi kebutuhan kemanusiaan peserta didik.

ilustrasi shutterstock ---edited byAdobe Spark Template)
ilustrasi shutterstock ---edited byAdobe Spark Template)
Saat ini, kesadaran meningkatkan kualitas institusi dan lembaga pendidikan semakin tinggi. Sayangnya, ruang dan lingkungan belajar semakin kurang menarik bagi peserta didik. Sekolah dan kampus terkesan membiarkan atau tidak mengacuhkan tindakan bullying hingga rasisme berdampak pada tingkat depresi tinggi pada peserta didik. Tak heran, narkoba, seks bebas, hingga intoleransi semakin menyingkirkan budaya kritis dan peduli sesama khas masyarakat akademis.

Malah, dampaknya juga membebani para pendidik dan staf akademik. Mereka jadi kurang puas terhadap kinerja dan performa sehingga tidak lagi antusias dan bersemangat dalam melaksanakan tugas. Peran dan beban kerja yang dinamis, ditambah tanggungjawab yang juga semakin meluas, menjadikan tenaga pendidik dan staf akademik tak ubahnya buruh yang terbelenggu citra prestise.

Sekolah dan kampus semestinya tidak boleh tunduk pada ekonomi pasar sama seperti jarak yang dijaganya dari wilayah politik praktis. Sebab itu akan menyusutkan wibawa pendidikan di mata masyarakat.

Jika selama ini institusi pendidikan hanya berperan sebagai laboratorium profesional, sudah mestinya peran itu mencakup laboratorium sosial di mana kesadaran, mental, dan jalinan persahabatan masyarakat akademis direkayasa.

Dimensi-dimensi Jalinan Persahabatan

Jalinan persahabatan dimaknai secara filosofis oleh banyak kebudayaan. Filsuf, seperti Socrates, malah menjadikan persahabatan sebagai titik mula analisis perilaku sosial.

Konsep arete dari Platon pun banyak diilhami oleh kisah inspiratif persahabatan. Kedua filsuf tersebut menyebutkan bahwa dimensi sipil dari persahabatan di peradaban Yunani dan Romawi kuno berfungsi layaknya lem yang mengeratkan ikatan sosial.

Diskusi tentang persahabatan dari sudut pandang beberapa filsuf dapat menuntun kita memahami bagaimana jalinan itu punya dampak signifikan di dunia pendidikan. Dalam Nicomachean Ethics, Aristoteles menukil "Forwithout friends no one would choose to live, though he had allother goods" bahwa tanpa sahabat, hidup bergelimang harta benda akan terasa hampa.

Aristoteles membedakan tiga tipe sahabat: yang berguna, yang menyenangkan, dan yang tulus. Menurutnya, tipe sahabat yang tulus adalah yang terbaik.

Tipe sahabat ini membangun persahabatn berdasarkan tabiat yang baik dan saling menjaga/ mendukung untuk mencapai potensi maksimalnya masing-masing. Persahabatan ini punya cita-cita luhur yang melibatkan masing-masing individunya.

Di lingkungan belajar, pendidik bisa membangun kelompok-kelompok kecil di mana masing-masing bertanggungjawab atas kondisi anggota kelompoknya.

Setiap anggota kelompok tersebut mesti mengetahui kondisi anggota yang lain dan setidaknya menjalin komunikasi sekali dalam sehari. Jalinan ini berlanjut ke lingkungan mana saja di luar sekolah/ kampus. Nantinya, anggota kelompok boleh ditukar/ digabung dengan anggota kelompok lain namun mekanisme aturan yang berlaku tetap sama.

Kelompok persahabatan penting dalam pertumbuhan konsep diri pribadi peserta didik. Aristoteles menyebutkan bahwa hal ini mempercepat pembentukan karakter sekaligus sebagai penanda suatu momen kebahagiaan dari ingatan hidup mereka di saat-saat diliputi gundah.

Kelompok ini juga melatih toleransi di mana perbedaan minat dan ketertarikan di antara anggota merupakan kasus bagi mereka belajar untuk menerima dan memaklumi.

Francis Bacon, filsuf yang melegenda lewat Novum Organum-nya malah mengatakan dengan sarkas bahwa orang yang hidup tanpa sahabat itu entah punya sifat buas atau mungkin mencoba menjadi Tuhan.

Dalam akhir esainya bertajuk On Friendship, ia berkelakar tentang orang yang sudah dalam fase hidup di mana ia tak lagi mampu menjalankan aktivitas seperti biasanya. "Jika ia tak punya sahabat di saat seperti itu", kata Bacon, "ia sebaiknya tidak lanjut ke fase hidup berikutnya.

Dalam konteks belajar, sahabat bisa menjadi tandem diskusi berkelanjutan. Artinya, diskusi topik bahasan bisa berlanjut di mana saja. Menurut Bacon, tipe jalinan persahabat yang diisi dengan diskusi instens akan membiasakan seseorang mempertimbangkan banyak sisi sebelum sampai pada simpulan.

Kebiasaan ini penting dalam mengasah kemampuan berpikir kritis. Selain itu, Bacon juga percaya bahwa mereka yang setiap waktunya berada di lingkungan persahabatan itu mentalnya lebih sehat.

C.S. Lewis merumuskan konsep jalinan persahabatan dalam kerangka pemaknaan "cinta" dalam Bahasa Yunani. Cinta terbagi dalam tiga kategori; eros yang berarti cinta didasari oleh hasrat, agape yang berarti cinta yang didasari oleh ketulusan, dan storge yang berarti cinta universal seperti cinta orang tua ke anak-anaknya. Bagi Lewis, jalinan persahabatan yang baik mesti didasari oleh kategori kedua yaitu agape.

Sahabat hadir sebagai penopang di mana yang satu menyediakan sandaran bagi kelemahan yang lain. Tipe jalinan ini lebih terfokus pada tujuan bersama sehingga kebenaran yang lahir darinya lebih murni dari bias kepentingan. Eros atau cinta yang didasari oleh hasrat rentan disusupi iri hati dan kedengkian. Sifatnya juga berlebihan dan bergantung pada kebutuhan.

ilustrasi eventbite ---edited byAdobe Spark Template
ilustrasi eventbite ---edited byAdobe Spark Template
Berdasarkan konsepsi ini, Lewis memandang setiap peserta didik merupakan individu yang pada asalnya unik. Setiap keunikan yang ditenun dari berbagai individu dalam jalinan persahabatannya akan melahirkan kreativitas unik pula.

Selama ini, narasi yang berasal dari pengalaman hidup peserta didik tidak pernah mendapat perhatian di ruang belajar. Sehingga muncul kesan bahwa sekolah/ kampus menjaga jarak dari kehidupan pribadi peserta didik.

Tentu hal ini keliru. Pendidikan mencakup klausul rekayasa perilaku yang dimulai dari kesadaran diri peserta didik. Sederhananya, jika sekolah/ kampus tidak mampu menyediakan solusi bagi berbagai persoalan yang dihadapi peserta didik di masa sekarang, bagaimana keduanya percaya diri mampu menyediakan kehidupan lebih baik di masa yang akan datang?

Pendidik dapat membangun jalinan berlandaskan agape atau cinta yang tulus ini bersama peserta didik. Bukan dalam artian mencampuri urusan mereka atau bersikap sok peduli namun terkadang peserta didik berada dalam titik jemu dan membutuhkan seseorang untuk setidaknya bisa mencurahkan keluh kesah. 

Bagaimanapun, pendidik merupakan orang tua peserta didik di lingkungan belajar sehingga cintanya bisa saja dalam konsepsi storge yang lebih universal.

Dari penjelasan tadi, beberapa dimensi jalinan persahabatan dapat menjadi pokok pertimbangan bagi relasi sosial yang dibangun di lingkungan belajar.

Mulai dari pengembangan karakter, penanda momentum kebahagiaan, sandaran dan penopang problematika hidup, hingga penyedia dukungan yang tulus tempat peserta didik menemukan sekaligus merasakan cinta kasih.

Menumbuhkembangkan Jalinan Persahabatan di Lingkungan Belajar

Peserta didik menempuh pendidikan dalam rangka kehidupan yang lebih baik. Kepribadian yang matang, profesi yang mendukung perkembangan diri dan menopang kebutuhan hidup, serta cita-cita yang melengkapi peran dan tujuan hidup mereka.

Demikian pula pendidik menjalani profesi mereka karena hal itu menyenangkan, memenuhi kebutuhan finansial dan batin, serta memungkinkan mereka mewujudkan cita-cita mencerdaskan kehidupan bangsa.

"Institusi pendidikan juga perlu memastikan peserta didik menjadi manusia seutuhnya. Bangga dan berorientasi pengembangan diri sekaligus memanusiakan sesamanya."

Tentu relasi sosial yang dibangun mesti didasari dukungan mutual masing-masing pihak. Institusi pendidikan memang bertugas menyiapkan peserta didik memenuhi peran hidup mereka di masyarakat atau terhadap peradaban yang tentunya secara cakap dan profesional.

Namun di balik itu, institusi pendidikan juga perlu memastikan peserta didik menjadi manusia seutuhnya. Bangga dan berorientasi pengembangan diri sekaligus memanusiakan sesamanya.

Peserta didik memanfaatkan banyak waktu mereka mengenyam pendidikan di lingkungan dan ruang belajar. Sungguh disayangkan bila dalam rentang waktu tersebut, institusi pendidikan gagal membangun konsep diri dan jalinan relasi mutual antar masyarakat akademis.

Diilhami konsepsi jalinan persahabatan oleh Francis Bacon, setiap jalinan mesti menopang cara berpikir sehat sehingga mental setiap elemen dalam institusi pendidikan terhindar dari sesat pikir dan penyakit hati.

Pendidik dan peserta didik, menurut Bacon, mesti membangun kolaborasi untuk mengentaskan problematika hidup yang sedang dihadapi sebelum beranjak ke dinamika sosio-ekonomi masyarakat. Sehingga program belajar mesti mempertimbangkan kemampuan penyelesaian masalah dan tidak menjaga jarak dari soalan-soalan psikologis dan perilaku peserta didik dalam proses mereka memaknai hidup.

Jikalau saja pendidik tekun mengawasi peserta didik dan tiap peserta didik pun mengawasi sejawatnya dalam lingkaran persahabatannya maka kasus-kasus seperti bullying, rasisme, dan intoleran bisa saja dicegah. Kebiasaan kita menunggu suatu musibah menjadi viral sebelum mendapat perhatian perlu disingkirkan. Sebisa mungkin musibah-musibah itu, terutama jika masih dalam kuasa dan kewenangan kita, dicegah sebelum terjadi.

Jalinan persahabatan yang direkayasa dalam tujuan menumbuhkan kepedulian yang tulus di lingkungan pendidikan sudah lama dipercayai oleh para filsuf dapat menginspirasi keadilan sosial, keragaman, dan kehidupan harmonis antar warga negara.

Jalinan ini membiasakan peserta didik untuk menyamakan persepsi, membangun kolaborasi, dan bekerjasama untuk menyelesaikan suatu masalah tertentu serta menghindarkan diri dari hasutan dan pikiran macam-macam.

Tentu independensi peserta didik dalam menyelesaikan masalahnya merupakan kemampuan yang mesti diasah. Hal itu tidak perlu dipertentangkan dengan konsep kolaborasi sejawat. Sebab peserta didik yang berkembang dalam lingkungan persahabatannya selain mampu berkreasi secara mandiri namun juga mampu menemukan tujuan yang pas untuk hasil kreasinya dari hasil diskusi bersama.

Tentu konsep yang ditawarkan ini tidak semudah uraiannya. Justru dalam tataran praktis, konsep ini akan lebih sulit diterapkan dari kebiasaan yang sehari-hari dijalankan di institusi pendidikan. Sebagai pertimbangan saja, karakter masing-masing individu sangat beragam dan membuat mereka menemukan nuansa dari sebuah relasi akan sangat menantang.

Namun, salah satu tujuan pendidikan dalam memanusiakan manusia adalah menumbuhkan kesadaran menghargai sesama. Merekayasa jalinan persahabatan di lingkungan belajar merupakan salah satu program yang bisa mewujudkan cita-cita itu.

Lagipula, konflik yang akan ditemui peserta didik setelah fase belajar akan lebih kompleks. Memastikan mereka punya sahabat yang mendukung dan menjadi sandaran merupakan langkah antisipasi terbaik.

ilustrasi peakpx ---edited by Adobe Spark Template
ilustrasi peakpx ---edited by Adobe Spark Template
Peserta didik nantinya akan memainkan berbagai peran di masyarakat. Masyarakat yang sehat mendukung toleransi dan bersifat transformatif.

Oleh sebab itu, para filsuf menenmpatkan konsep persahabatan dalam posisi signifikan dalam bahasan mengenai masyarakat ideal. Seperti kata Aristoteles dalam Politics, "community depends on friendship; and when there is enmity instead of friendship, [people] will not even share the same path".

Masyarakat membutuhkan jalinan persahabatan yang sehat. Jika persaingan mengalahkan persahabatan, kehidupan bermasyarakat akan dihiasi dengan konflik.

Menumbuhkembangkan jalinan persahabatan di lingkungan belajar memungkinkan program belajar mengeksplorasi berbagai dimensi kemanusiaan begitu pula dimensi kehidupan dari seorang peserta didik. Kita tentu memimpikan kesuksesan tiap peserta didik kita. Namun kesuksesan itu mencakup semua pihak yang berperan sekaligus tidak mengabaikan masyarakatnya.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
  7. 7
Mohon tunggu...

Lihat Konten Pendidikan Selengkapnya
Lihat Pendidikan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun