Mohon tunggu...
Azwar Abidin
Azwar Abidin Mohon Tunggu... Dosen - A humble, yet open-minded wordsmith.

Faculty Member at FTIK, State Islamic Institute of Kendari. Likes Reading, Drinks Coffee.

Selanjutnya

Tutup

Sosbud Pilihan

Warisan Definisi dan Redefinisi Nilai-Nilai Kepahlawanan Masa Kini

10 November 2019   22:54 Diperbarui: 12 November 2019   00:12 442
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Setiap aksi akan melahirkan reaksi yang setara dan setimpal: hukum universal inilah yang menjamin abadinya nilai universal yaitu kepahlawanan.

Dalam kutipan Pembukaan UUD 1945 tadi disebutkan bahwa untuk memenangkan kemerdekaan, penjajahan mesti dihapuskan. Pertarungan nilai punya landasan morel lebih kuat ketimbang pertarungan pengaruh. Dalam tafsir ini, jika nilai penjajahan tidak dapat dihapuskan dari kepala sang penjajah maka kepala penjajah itu mesti dicabut dari tubuhnya.

Berkaitan dengan desakan dan kekerasan dalam memperjuangkan perlawanan terhadap ketidakadilan, sampai sekarang masih menarik untuk diperdebatkan. Immanuel Kant, salah seorang kosmopolit yang juga jatuh dalam dilema yang sama, menganggap keadilan tidak bisa diwakilkan kepada institusi manapun atau dengan meratakan standar keadilan secara umum.

Baginya, keadilan tidak dapat diwakili oleh hal-hal yang sifatnya konseptual. Sikap adil berarti sebuah tindakan dan tindakan harus dipaksakan. Memenjarakan keadilan dalam konsep adalah hal yang absurd sebab pikiran merupakan arena kebebasan yang kemerdekaannya tak mengenal batasan.

Begitupun dengan mewakilkan tindakan keadilan pada institusi baik institusi sosial, politik, ekonomi, hingga hukum. Bagi Kant, hal itu sia-sia belaka. Alasannya jelas, institusi dijalankan oleh manusia dan manusia mampu menjajah kewenangan institusi itu berdasarkan kepentingannya.

Prinsip-prinsip keadilan baru dapat didefinisikan ketika suatu tindakan atas nama keadilan dilakukan. Sebab prinsip-prinsip itu tidak dapat dipaksakan untuk dianut lewat pendekatan doktrin. Mengapa demikian? Karena menurut Kant, hal itu lebih berbahaya. Baginya, lebih baik menimbang nilai keadilan dalam suatu tindakan daripada bertindak atas dasar doktrin tentang keadilan.

Dalam peristiwa Perjanjian Hudaibiyah antara Rasulullah Muhammad SAW dengan Kaum Quraisy, butir-butir perjanjian itu banyak yang merugikan pihak Muslimin. Meski ditentang oleh para Sahabat, Rasulullah SAW tetap bersikukuh bahwa apa yang ditetapkan telah memenuhi prinsip keadilan.

Tindakan adil pada perjanjian tersebut yang telah diteken oleh Rasulullah SAW akhirnya mendapat pengakuan dari Allah SAW lewat Al-Fath ayat 18. Entah karena pembacaan Rasulullah SAW terhadap kondisi psikologis Kaum Quraisy yang tertekan oleh kekuatan Kaum Muslimin atau karena hal lain, perjanjian itu berakhir dengan peristiwa Fathu Makkah.

Lihat pula ujian yang ditimpakan kepada Nabi Daud AS dalam Shaad ayat 21-25. Doktrin keadilan yang dianutnya membuatnya memutuskan perkara antara dua pengembala yang sedang berseteru. Setelah memikirkan ulang keputusannya, ia justru sadar bahwa pengadilan yang sedang ia pimpin merupakan kiasan untuk mengadili kelakuannya sendiri.

Kedua peristiwa tadi memang tidak menampilkan nilai keadilan dalam arena pertempuran. Justru, tindakan adil yang disebutkan menghalangi tindak kekerasan. Namun yang patut diperhatikan adalah dampak besar yang dihasilkan itu lahir dari keputusan personal seorang agen keadilan.

Ini keistimewaan yang juga dimiliki oleh pahlawan bangsa ini. Mereka merupakan agen-agen keadilan yang mendefinisikan kemanusiaan lewat keputusan untuk bertindak tanpa landasan doktrin keadilan yang diperolehnya. Bagi mereka, tidak pula menjadi soal apakah tindakan itu nantinya dinilai adil atau tidak oleh sejarah.

Agen-agen keadilan ini bertindak di luar institusi sebab mereka ragu institusi yang menjual nama keadilan itu mampu mengentaskan tugasnya. Sikap kepahlawanan ini, jika merujuk pembacaan Amartya Sen terhadap Immanuel Kant yang menolak mentah-mentah konsepsi transendental institutionalism.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun