Untuk sampai pada sebuah simpulan atau menghadapi beberapa pilihan sebelum berbuat, kita memang memiliki kebebasan mandiri. Namun dalam konteks Akrasia, kebebasan itu hanya bersifat kognitif dan tidak melulu bisa diterapkan. Putusan yang sudah diperoleh dengan pertimbangan matang nalar bisa dibatalkan oleh nafsu, emosi, hingga ego untuk diakui.
Kedua, berkaitan dengan kepercayaan. Jika pada dasarnya manusia begitu mudahnya menampik nalar bahkan yang mapan sekalipun untuk sesuatu yang memberikan imbalan kesenangan/ kenikmatan instan dan ia sadari akibatnya, masihkah kita mampu membangun kepercayaan terhadapnya?
Pikirkan kekuatan di luar subjek yang sifatnya memaksa dan menekan; memberi beban yang menuntut dipenuhi. Pikirkan pula angan dan candu yang mampu memaksa hasrat tunduk pada simpulan tidak rasional dari dalam diri subjek. Jika dalam beberapa kondisi nalar tidak lagi mampu memegang kendali, masihkah konsep kepercayaan relevan untuk dibahas?
Politisi yang menebar janji saat kampanye, media yang menyampaikan kabar di tiap saat, hingga mereka yang bersumpah untuk memerlakukan pasangannya lebih baik. Jika mereka rentan mengkhianati nalar logis untuk kenikmatan sementara dalam kondisi sadar penuh atas segala konsekuensinya, apakah mereka layak mendapat tempat di hati kita?
Silakan direnungkan dengan seksama!
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H