Mohon tunggu...
Azwar Abidin
Azwar Abidin Mohon Tunggu... Dosen - A humble, yet open-minded wordsmith.

Faculty Member at FTIK, State Islamic Institute of Kendari. Likes Reading, Drinks Coffee.

Selanjutnya

Tutup

Filsafat Pilihan

Akrasia: Pengkhianatan terhadap Diri dan Nalar Logis

27 Oktober 2019   17:28 Diperbarui: 27 Oktober 2019   17:33 114
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Banyak faktor yang bisa menyulut seperti tuntutan masyarakat akan konsep kesempurnaan figur publik yang begitu berat dipenuhi, mungkin juga beban psikologis subjek itu yang menjadikan perbuatan itu sebagai pelampiasan, atau alasan lainnya yang luput dari perhatian dan cenderung orang di luar subjek itu remehkan. Sehingga, kita sama sekali tidak punya hak untuk menghakimi mereka sebab kita tidak pernah paham betul apa yang orang lain sedang atau telah jalani.

Akrasia dapat menyulut depresi. Masyarakat dan Media punya peran besar menanamkan virus akratik ini. Art by Boat Ware
Akrasia dapat menyulut depresi. Masyarakat dan Media punya peran besar menanamkan virus akratik ini. Art by Boat Ware
Dengan Akrasia jenis kedua menurut Aristoteles, kita hanya mampu mengerti bahwa subjek yang terlanjur terjerembab ke hal yang tidak logis tersebut diakibatkan oleh kontrol diri lebih lemah ketimbang pemenuhan bayang kenikmatan yang dijanjikan. Mereka lemah sehingga butuh bantuan, butuh perhatian, dan butuh dukungan. Menghadapi situasi tersebut dengan menghakimi atau malah mencaci sama sekali tidak memberikan solusi.

Kekuatan dan Kelemahan Hasrat dalam Jebakan Akrasia

Aristoteles menyematkan Akrasia pada, salah satunya, kelemahan diri mengontrol hasrat. Namun hal itu juga menjadi target kritikan para pembacanya. Richard Holton misalnya, menganggap bahwa terkadang Akrasia sama sekali tidak terpaut dengan hasrat. Dalam Weaknessof Will and Practical Irrationality-nya, ia menyebut dua kasus berbeda dalam hal menggugurkan pilihan logis dalam prinsip seorang vegetarian.

Di satu sisi, seseorang menjadi vegetarian karena sulit mendapatkan pasokan daging atau kerepotan saat memanggang daging. Di sisi lain, seseorang berniat menjadi vegetarian karena alasan tertentu seperti program diet namun memang tidak pernah sungguh-sungguh mau melakukannya. Bagi Richard Holton, kedua kasus itu sama-sama menyalahi simpulan baik yang sudah diputuskannya namun hanya kasus pertama yang menunjukkan kelemahan kontrol hasrat. Meski Akrasia tidak terbatas pada dua jenis seperti yang diajukan Aristoteles namun tidak melulu kasusnya disebabkan oleh kelemahan hasrat.

Donald Davidson membuktikan hal tersebut di Essays on Actions andEvents-nya. Ia mengemukakan kasus "altered conclusion" di mana seseorang sudah tahu betul bahwa perbuatan itu konyol namun tetap saja dilakukan karena alasan hal itu menawarkan kesan baru menikmati sebuah pengalaman. Bagi Davidson, kasus Arkatik ini disebabkan karena seseorang menganggap suatu pilihan lebih mending ketimbang pilihan lainnya.

Taruhlah, kita membuang sampah di sisi jalan atau di sungai. Kita tentu paham betul kalau hal itu menjijikkan dan tentu saja buruk. Tapi suatu saat kita ingin berhenti lalu kembali menimbang bahwa selama ini kita membuang sampah dan tampaknya situasinya baik-baik saja sehingga kita kembali membuang sampah ke tempat itu. Kasus Akratik ini membuat kita tetap membuang sampah, meski itu buruk, bukan karena  simpulan nalar kita salah. Namun pada saat itu, tepat pada momen buang sampah, simpulan kita tiba-tiba berubah dan lebih memihak atau menjustifikasi tindakan buang sampah sembarangan yang kita lakukan.

Davidson mengalamatkan pilihan tersebut pada fakta psikologis bahwa manusia cenderung lebih fokus terhadap apa yang sementara dihadapinya. Simpulan logis akan dipikirkan ulang ketika seseorang dihadapkan pada dua pilihan yang menawarkan imbalan (reward) setimpal. Bagi yang tidak sabar akan fokus pada pilihan yang menawarkan imbalan langsung saat itu juga. Hal ini disebut "hyperbolic discounting"; istilah yang sering digunakan dalam konteks mikroekonomi namun bisa diterapkan pada contoh yang diajukan.

Mengesampingkan imbalan besar namun tertunda dengan menerima imbalan kecil namun instan, atau yang George Ainslie sebut dengan devalue di Breakdown of Will-nya ini, merupakan godaan yang sangat sulit manusia tolak bahkan dengan segala daya kritis yang dimilikinya. Kita tentu lebih tertarik menerima 100 ribu rupiah per hari ketimbang 3 juta rupiah per 30 hari. Bahkan kemungkinan kita menolak 50 juta rupiah per tahun demi 100 rupiah per hari sangatlah tinggi.

Post-Note

Mengapa Akrasia menarik untuk kita perbincangkan? Setidaknya ada dua alasan yang patut dipertimbangkan. Pertama, berkaitan dengan konsep hasrat bebas (free will) yang selalu kita dengungkan sebagai landasan utama ekspresi serta daya cipta manusia. Jika nalar logis begitu mudah ditampik dengan iming-iming imbalan instan atau oleh kekuatan di luar subjek yang tidak dapat disangkal tentu ini mengindikasikan bahwa hasrat bebas (free will) adalah semu.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Filsafat Selengkapnya
Lihat Filsafat Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun