Beberapa hari ini saya lalui dengan diskusi ringan nan penuh canda dengan rekan-rekan mahasiswa. Topiknya berat namun bahasannya tak bikin penat; ilmu. Tentang ini, saya pun teringat dengan Nurhadi, Capres Fiktif yang sempat viral beberapa waktu lalu, dalam salah satu quote legendarisnya "Jangan menuntut Ilmu karena Ilmu tidak bersalah". Sepertinya, kita memang sering keliru memaknai ilmu.
Diskusi itu saya tuangkan ke dalam tulisan ini agar dapat memicu diskusi lainnya. Ulasan yang sepertinya kurang menarik minat di antara kesibukan kita memerhatikan beberapa hal yang mungkin lebih mendesak. Untuk itu, jangan memaksakan diri untuk mengikuti arah ke mana kata-kata ini akan menuju. Tapi bagi yang sulit terlelap, tulisan ini bisa jadi pengantar tidur. So, you've been warned.
Begitu banyak obsesi yang melingkung ekspektasi kita terhadap ilmu. Sering kita cari namun selama ini justru melekat pada proses pencarian itu sendiri. Ya, ilmu merupakan proses dan bukanlah tujuan. Percaya atau tidak, ilmu yang baik justru menuntun kita tidak kemana-mana selain ke suatu bentuk ilmu yang mungkin saja baru kita temui atau memang baru ditemukan. Bagai teks yang pintalannya semakin kita urai semakin tak jelas ujungnya.
Ilmu merupakan suatu usaha dari sekian banyak usaha yang membantu kita mengakumulasi pengetahuan. Dengan menguji simpulan pikiran terhadap realitas, ilmu membebaskan pandangan kita dari bias; kecondongan, prasangka, dan kekaburan putusan. Ilmu yang banyak diurai metodenya itu hingga disandingkan dengan Tuhan. Entah itu lewat kemampuan pemujanya merekayasa realitas atau keberhasilannya mengurung perhatian kita pada alam fisik.
Berilmu: Seni Menelusuri Jalan Menuju Pemahaman
Dalam konteks akademik, tujuan ilmu adalah menyediakan jalan menuju cara berpikir terukur mengenai berbagai topik kajian yang diprioritaskan. Untuk menemukan jalan itu, kita mulai bukan dengan mendefinisikan ilmu tetapi dengan membiarkan beberapa deskripsi ilmu timbul dan muncul dari kontras dengan bentuk-bentuk pengetahuan lain.
Adapun caranya adalah mengidentifikasi beberapa penyesatan-penyesatan yang harus diabaikan. Ilmu kadangkala disalah-acukan dengan teknologi, yang merupakan instrumen yang memungkinkan aplikasi. Kalimat-kalimat yang kita temui di buku teks sekolah masih memuat banyak tentang miskonsepsi terhadap ilmu.
Rekayasa mutasi secara genetis, misalnya, disebut sebagai suatu ilmu. Padahal, jika dipikirkan dengan seksama, hal itu sebenarnya merupakan terapan strategi terukur (rasional). Usaha sungguh-sungguh yang dilakukan untuk memahami rekayasa itu ditujukan untuk memastikan ukuran bagi tindakan dan instrumen yang digunakan sehingga mutasi secara genetis itu dapat diwujudkan. Ilmu adalah usaha itu.
Terapan strategi terukur itu juga berarti dalam hal rekayasa realitas, ilmu tidak dapat semena-mena. Ada hal yang membatasi seperti etika, norma, hingga hukum. Sehingga dapat dipahami bahwa ilmu sebatas pakem dan bukan merupakan otoritas. Kuasa yang lahir dari otoritas menjadi ada pada ke"ilmu"an. Soalan itu berkenaan dengan akumulasi hasil-hasil positif dari berbagai rekayasa yang pernah dilakukan.
Ilmu bukan pula semacam kesatuan pengetahuan spesifik. Ilmu lebih berkaitan dengan cara pertanyaan diformulasikan dan dijawab. Tentunya, hal itu menyangkut seperangkat aturan-aturan sebagai panduan penelusuran yang diciptakan oleh mereka yang menghendaki jawaban andal. Begitu pun dengan pengidentifikasian orang-orang tertentu sebagai ilmuwan. Pemakaian kata itu memang tidak keliru, sebab orang yang disebut demikian memang melakukan bentuk penelitian ilmiah (terukur).
Hanya saja, kata itu menyuratkan salah persepsi yang menganggap bahwa sebagian orang adalah ilmuwan, sementara yang lain bukan ilmuwan. Ilmu adalah suatu modus pencarian kebenaran yang dikenal oleh semua manusia. Sebagian orang mengkhususkan diri pada pendekatan-pendekatan dalam usaha memeroleh pengetahuan, tetapi kita semua adalah pelaku dalam cara berpikir ilmiah.
Cara berpikir ilmiah hanyalah satu dari sejumlah strategi yang kita pakai untuk mengatasi suatu realitas vital; ketidak menentuan hidup. Kita tidak mengetahui apa konsekuensi tindakan kita. Jika terdapat cukup ketidak-menentuan dalam suatu hal maka dilakukan sedikit uji pendahuluan. Setidaknya, uji itu mengasah fokus pada sasaran pikir sehingga lebih terencana dan terukur.
Pendekatan ilmiah mempunyai banyak saingan dalam pencarian pemahaman. Bagi banyak figur dalam sejarah, para pesaing itu telah berhasil. Analisis terhadap realitas secara ilmiah kalah populer dibanding mitos, takhayul, dan khurafat yang malah lebih mampu memberikan rasa kepastian yang menentramkan sebelum terjadinya kejadian yang coba mereka ramalkan atau kendalikan.
Terkadang, keyakinan yang belum terbukti bisa merangsang suatu tindakan atau membesarkan hati mereka yang telah sangsi, sementara menunggu datangnya hari yang lebih baik. Tentu saja keyakinan pribadi adalah suatu bagian vital dalam hidup kita. Masalahnya adalah penolakan untuk menganalisis lebih dalam dengan pembacaan terukur membawa kelumpuhan akal sehat. Sehingga analisis para ahli mesti menjadi pijakan utama.
Â
Nalar Sistematis; Bersihkan Pandangan, Luruskan Niat
Suatu komunitas yang bertutur dengan bahasa, menjalani adat dan kebiasaan, serta berbagi pengalaman yang sama cenderung pula berbagi narasi yang sama. Kita mewarisi kearifan adat istiadat para leluhur kita melalui kisah dan cerita. Namun dari sekian banyak kisah dan cerita yang ada, yang mana yang bisa kita percaya?
Kearifan adat istiadat yang mengendap dalam sejarah suatu komunitas sosial dipertahankan karena kegunaannya. Yang paling nyata di antaranya adalah kemampuan kearifan itu mengatasi perbedaan sehingga komunitas itu mampu bekerjasama mewujudkan rumusan visinya. Kearifan itu, agar tetap bertahan, tentulah harus dapat dikomunikasikan, valid, serta meyakinkan.
Â
Untuk itu, kearifan mesti mempunyai bentuk yang terukur. Selain itu, jika dimaksudkan sebagai pemandu setiap perilaku, kearifan itu harus cukup valid berdasarkan bukti yang sesuai dan meyakinkan. Bukti itu mesti mengatasi tantangan yang komunitas itu sedang hadapi dan cukup meyakinkan untuk menjelaskan realitas sesuai dengan pertanyaaan yang diajukan. Dengan demikian, kearifan dapat dikomunikasikan ke generasi berikutnya dengan cara bernalar yang sesuai.
Pertimbangan matang dalam bernalar dapat menuntun kepada pengertian yang lebih jernih. Mengapa hal ini perlu? Karena dengannya kita mampu memandang sesuatu dengan sedapat mungkin menyingkirkan bias yang bisa memanipulasi putusan kita. Pertimbangan menggambarkan pengambilan putusan di mana semua fokus pikiran ditujukan untuk memanfaatkan pengetahuan yang ada dengan sebaik-baiknya.
Pertimbangan bernalar merupakan bagian awal dari pemikiran sistematik. Musibah dan bencana yang menimpa karena melanggar perintah Tuhan ada benarnya, tetapi tidak menggambarkan sikap menimbang dalam bernalar. Sebab penjelasan itu tidak cukup. Tuhan sendiri menghendaki kita belajar dan meneliti musabab dari musibah/ bencana sembari memperbaiki perilaku kita terutama memuliakan sesama dan melestarikan lingkungan.
Pertimbangan matang ketika bernalar merupakan basis dari analisis ilmiah. Tampaknya, kita pun mesti belajar menerapkan itu ketika mengutarakan opini; terutama yang di sampaikan di ruang publik. Opini tidak semestinya dioandang tabu dalam analisis ilmiah. Sebab semua usaha penelitian bermula dari kegelisahan pribadi.
Opini tetap layak menjadi salah satu moda penelitian. Meski perlu dikendalikan sehingga tidak menyeleweng menjadi sesuatu tanpa pengertian yang jernih. Salah satu cara yang membantu dalam mengurangi bias opini adalah seseorang harus berhati-hati menimbang argumen dalam opini-opininya. Dalam artian, apa yang akan diutarakan mesti sistematis agar jelas apa serta tujuan dari yang sedang dibicarakan.
Gnothi Seauton (kenalilah dirimu sendiri) yang biasanya direkatkan dengan cara pandang Sokratik merupakan nasihat yang pas untuk konteks ini. Pengutaraan opini mesti didahului dengan menimbang kualitas nalar diri. Bahkan lebih dari itu, mesti mengakui kekurangan dari daya nalar diri. Sehingga bisa meminimalisir kecerobohan kita. Dan yang lebih penting, setelah opini itu telah diutarakan, kita masih berlapang dada untuk berdiskusi dan menerima kritikan.
Opini jangan pula digunakan untuk mengaburkan maksud dari simpulan hasil penalaran atau justru dibangun atas dasar menyerang kredibilitas seseorang. Sebab itu sama sekali tidak memberikan kontribusi terhadap kearifan yang menjadi tujuan ekspresi kreatif kita. Penting kiranya untuk menimbang nilai-nilai reliabilitas dan validitas ketika bernalar dan membersihkan niat dari maksud tidak terpuji.
Â
Imajinasi, Adat Dan Intuisi dalam Pusaran Ilmu
Pikiran, dengan segala himpunan pengetahuannya tidak pernah sedemikian unik atau misterius seperti ketika memgembangkan imajinasi. Lompatan-lompatan besar yang menjadi titik pijak peradaban manusia selalu melibatkan peran imajinasi. Imajinasi bisa dianggap bekal berharga bagi manusia untuk berani menantang kuasa waktu. Apa yang kita nikmati hari ini bermula dari keberanian pendahulu kita mengekspresikan imajinasi mereka.
Beberapa bentuk penemuan di bidang sains menjadi bukti dari peran imajinasi terhadap ilmu. Dari heliosentris yang menjadi imajinasi Copernicus terhadap pusat semesta hingga cosmos yang menjadi perjalanan imajinatif Carl Sagan ke sudut tergelap semesta; ilmu selalu menjadi wadah bagi imajinasi untuk mengutarakan ketakjuban kita kepada alam.
Temuan-temuan itu diperkenalkan oleh mereka yang berani menawarkan imajinasi untuk menantang keyakinan-keyakinan lama dengan mencari jejak di dunia fisik. Imajimasi menuntun kita untuk mendobrak kemapanan yang hanya memberikan kita rutinitas dan jalan buntu. Sebab dinamika kehidupan tidak menyisakan ruang untuk moda autopilot dalam penyelesaian masalah dan kita selalu saja sulit menerima kenyataannya.
David Hume, dari kegelisahannya pada polemik sosial dan politik di masanya, terpanggil untuk mengulik akar dari permasalahan itu. Manusia, begitu mereka terbiasa dengan kepatuhan, cenderung takut berpikir untuk menyimpang dari jalan yang telah ditapaki oleh mereka dan nenek moyang mereka. Meski hal itu sudah sangat membebani kehidupan mereka dan generasi yang mereka lahirkan.
Para pendahulu kita menggunakan imajinasi untuk menciptakan adat istiadat yang menyangkut ritual dan praktek sosial yang sesuai dengan tantangan zamannya. Kita tidak semestinya mencederai usaha itu dengan membakukan tafsiran terhadap adat istiadat tersebut meski nilai dan norma yang melandasinya tetap bisa kita pertahankan.
Interaksi dan dinamika sosial ekonomi manusia selalu bersifat dinamis. Adat istiadat yang diwariskan dari kearifan pendahulu kita mengajarkan kita nilai dan norma yang mereka anut namun dengan harapan kita melestarikan itu dengan kreasi imajinasi kita sendiri. Kita mesti menjaga warisan itu sebagai bagian identitas kita namun tidak terjebak di dalam problematika mereka sebab kita tidak lagi hidup di zaman mereka.
Adat istiadat yang merupakan wujud dari kearifan pendahulu kita bukanlah hal yang wajar kita hindari. Sebab hal itu juga berasal dari pengalaman mereka memaknai hidup dan lingkungan sekitar. Tentunya, itu tidak lahir dari proses yang sederhana; mesti lahir dari proses penalaran yang metodenya disempurnakan dari generasi ke generasi. Adat istiadat itu bisa dibilang ilmu yang ditempuh sedalam pemahaman para pendahulu akan hidup mereka.
Adat istiadat justru menyediakan kesempatan bagi kita untuk mengkaji secara terukur seperti apa pola interaksi dan unsur-unsur sosial ekonomi yang pernah mengatur suatu masyarakat. Simpulan yang bisa kita peroleh dari penelusuran itu bisa berguna bagi pengembangan kehidupan sosial dan belajar dari semangat sekaligus kesalahan mereka. Tak kalah penting, memikirkan pola pengembangan serta ekspresi pribadi yang berperikemanusiaan yang bisa kita kembangkan secara kreatif.
Berbagai metode dari tiap usaha untuk memeroleh pemahaman melibatkan suatu usaha tarik menarik antara pemikiran dan penyelidikan. Terdapat berbagai cara untuk mengkaitkan kedua komponen ini. Salah satunya dengan memersepsikan suatu kebenaran batin dan menafsirkan penanda yang ditemukan dalam realitas; kita menyebutnya dengan intuisi.
Intuisi membantu menyelaraskan penyelidikan ilmiah kita dengan pandangan batin yang memicu empati terhadap sesama penghuni alam. Intuisi tidak dapat kita kesampingkan begitu saja. Ilmu memberikan jalan bagi kita untuk menemukan jawaban, begitu pun dengan peralatan yang keduanya membantu kita menjalani hidup lebih tenang. Namun intuisi mengonfirmasi keyakinan kita akan ilmu dan menajamkan kepercayaan kita atasnya.
Intuisi melibatkan pengalaman, persisnya, pembacaan terhadap pengalaman yang pernah dialami oleh seseorang. Jangan disalahpahami sebagai tebakan belaka. Tebakan berasal dari ketidak-cekatan; kesemberonoan dalam pengambilan putusan seperti kata Laurie King di The Beekeeper's Apprentice. Intuisi yang dituntun dalam penalaran terukur dapat membuat ketertarikan terhadap ilmu semakin besar.
Meski berdasar dari sesuatu yang konkret, intuisi rentan diselubungi prasangka. Mereka yang bijak tidak terjebak menuruti prasangka itu dan lebih tertarik menalarinya secara terukur (rasional). Sebab hal itu lebih konkret dalam artian lebih dapat dipertanggungjawabkan. Hal itu lebih mampu membimbing riset; data yang dianggap penting untuk penyelidikan ilmiah. Bukan dalam artian bahwa yang konkret melebihi yang abstrak. Namun hal itu lebih menuntun pada ukuran-ukuran yang dipakai dalam menguji konstruksi-konstruksi mental kita terhadap realitas.
Perbincangan tentang ilmu tertuju pada penguasaan kita terhadap realitas; baik yang tercerap maupun yang tidak. Sudah menjadi kutukan manusia untuk terus penasaran dengan sesuatu yang tidak dipahaminya.Â
Ilmu merupakan kunci untuk menyingkap realitas namun perlu dibarengi keterbukaan dan kehati-hatian. Terbuka dengan berbagai moda yang menuntun kita menemui ilmu serta berhati-hati dalam menyelami dan mengatas-namakan ilmu atas setiap perilaku kita.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H