Cara berpikir ilmiah hanyalah satu dari sejumlah strategi yang kita pakai untuk mengatasi suatu realitas vital; ketidak menentuan hidup. Kita tidak mengetahui apa konsekuensi tindakan kita. Jika terdapat cukup ketidak-menentuan dalam suatu hal maka dilakukan sedikit uji pendahuluan. Setidaknya, uji itu mengasah fokus pada sasaran pikir sehingga lebih terencana dan terukur.
Pendekatan ilmiah mempunyai banyak saingan dalam pencarian pemahaman. Bagi banyak figur dalam sejarah, para pesaing itu telah berhasil. Analisis terhadap realitas secara ilmiah kalah populer dibanding mitos, takhayul, dan khurafat yang malah lebih mampu memberikan rasa kepastian yang menentramkan sebelum terjadinya kejadian yang coba mereka ramalkan atau kendalikan.
Terkadang, keyakinan yang belum terbukti bisa merangsang suatu tindakan atau membesarkan hati mereka yang telah sangsi, sementara menunggu datangnya hari yang lebih baik. Tentu saja keyakinan pribadi adalah suatu bagian vital dalam hidup kita. Masalahnya adalah penolakan untuk menganalisis lebih dalam dengan pembacaan terukur membawa kelumpuhan akal sehat. Sehingga analisis para ahli mesti menjadi pijakan utama.
Â
Nalar Sistematis; Bersihkan Pandangan, Luruskan Niat
Suatu komunitas yang bertutur dengan bahasa, menjalani adat dan kebiasaan, serta berbagi pengalaman yang sama cenderung pula berbagi narasi yang sama. Kita mewarisi kearifan adat istiadat para leluhur kita melalui kisah dan cerita. Namun dari sekian banyak kisah dan cerita yang ada, yang mana yang bisa kita percaya?
Kearifan adat istiadat yang mengendap dalam sejarah suatu komunitas sosial dipertahankan karena kegunaannya. Yang paling nyata di antaranya adalah kemampuan kearifan itu mengatasi perbedaan sehingga komunitas itu mampu bekerjasama mewujudkan rumusan visinya. Kearifan itu, agar tetap bertahan, tentulah harus dapat dikomunikasikan, valid, serta meyakinkan.
Â
Untuk itu, kearifan mesti mempunyai bentuk yang terukur. Selain itu, jika dimaksudkan sebagai pemandu setiap perilaku, kearifan itu harus cukup valid berdasarkan bukti yang sesuai dan meyakinkan. Bukti itu mesti mengatasi tantangan yang komunitas itu sedang hadapi dan cukup meyakinkan untuk menjelaskan realitas sesuai dengan pertanyaaan yang diajukan. Dengan demikian, kearifan dapat dikomunikasikan ke generasi berikutnya dengan cara bernalar yang sesuai.
Pertimbangan matang dalam bernalar dapat menuntun kepada pengertian yang lebih jernih. Mengapa hal ini perlu? Karena dengannya kita mampu memandang sesuatu dengan sedapat mungkin menyingkirkan bias yang bisa memanipulasi putusan kita. Pertimbangan menggambarkan pengambilan putusan di mana semua fokus pikiran ditujukan untuk memanfaatkan pengetahuan yang ada dengan sebaik-baiknya.
Pertimbangan bernalar merupakan bagian awal dari pemikiran sistematik. Musibah dan bencana yang menimpa karena melanggar perintah Tuhan ada benarnya, tetapi tidak menggambarkan sikap menimbang dalam bernalar. Sebab penjelasan itu tidak cukup. Tuhan sendiri menghendaki kita belajar dan meneliti musabab dari musibah/ bencana sembari memperbaiki perilaku kita terutama memuliakan sesama dan melestarikan lingkungan.
Pertimbangan matang ketika bernalar merupakan basis dari analisis ilmiah. Tampaknya, kita pun mesti belajar menerapkan itu ketika mengutarakan opini; terutama yang di sampaikan di ruang publik. Opini tidak semestinya dioandang tabu dalam analisis ilmiah. Sebab semua usaha penelitian bermula dari kegelisahan pribadi.
Opini tetap layak menjadi salah satu moda penelitian. Meski perlu dikendalikan sehingga tidak menyeleweng menjadi sesuatu tanpa pengertian yang jernih. Salah satu cara yang membantu dalam mengurangi bias opini adalah seseorang harus berhati-hati menimbang argumen dalam opini-opininya. Dalam artian, apa yang akan diutarakan mesti sistematis agar jelas apa serta tujuan dari yang sedang dibicarakan.
Gnothi Seauton (kenalilah dirimu sendiri) yang biasanya direkatkan dengan cara pandang Sokratik merupakan nasihat yang pas untuk konteks ini. Pengutaraan opini mesti didahului dengan menimbang kualitas nalar diri. Bahkan lebih dari itu, mesti mengakui kekurangan dari daya nalar diri. Sehingga bisa meminimalisir kecerobohan kita. Dan yang lebih penting, setelah opini itu telah diutarakan, kita masih berlapang dada untuk berdiskusi dan menerima kritikan.
Opini jangan pula digunakan untuk mengaburkan maksud dari simpulan hasil penalaran atau justru dibangun atas dasar menyerang kredibilitas seseorang. Sebab itu sama sekali tidak memberikan kontribusi terhadap kearifan yang menjadi tujuan ekspresi kreatif kita. Penting kiranya untuk menimbang nilai-nilai reliabilitas dan validitas ketika bernalar dan membersihkan niat dari maksud tidak terpuji.
Â
Imajinasi, Adat Dan Intuisi dalam Pusaran Ilmu