LATAR BELAKANG
Kantin (dari bahasa Belanda: kantine) adalah sebuah tempat dalam sebuah gedung umum yang dapat digunakan pengunjungnya untuk makan, baik makanan yang dibawa sendiri maupun yang dibeli di sana. Kantin tentu sering kita temui di berbagai tempat, seperti sekolah, kantor, universitas, dan masih banyak lagi. Kantin tergolong tempat yang cukup ramai. Bukan hanya menjadi tempat makan dan jual beli, banyak juga yang berkunjung ke kantin hanya untuk menghabiskan waktu.
Desain Komunikasi Visual Institut Seni Indonesia Yogyakarta juga memiliki kantin sendiri, yang mana fungsinya tak jauh berbeda dengan kantin pada umumnya. Kantin DKV ISI berada tepat di depan gedung DKV.Â
Tempatnya berupa ruang terbuka yang cukup luas dan beratapkan seng transparan. Kantin ini menjadi tempat baik dosen, staff maupun mahasiswa untuk singgah. Baik makan, mengerjakan tugas, atau sekedar menikmati waktu luang. Bahkan ada pula yang menjadikannya tempat bisnis. Tak hanya terdapat banyak makanan dan minuman, namun juga terdapat berbagai tempelan poster dan stiker yang terpajang di area kantin DKV ISI.Â
Media cetak tersebut merupakan benda-benda yang termasuk dalam media komunikasi. Karena itu penulis berpendapat bahwa kantin memiliki fungsi lain, yaitu sebagai sarana media komunikasi yang baru.Â
Hal ini diperkuat dengan kuesioner yang telah disebarkan kepada pengguna kantin. Dari 50 orang  responden yang didapatkan, sebagian besar menjawab bahwa  mereka biasa mengunjungi kantin lebih dari tiga hari dalam seminggu.Â
Mereka juga merasa tertarik dengan acara yang tercantum di dalam poster  yang ditempel di kantin (dalam hal ini, poster dijadikan sebagai salah satu contoh media cetak). Biasanya berisi informasi event - event yang diselenggarakan oleh pihak kampus atau bertempat di kampus. Hal ini sesuai dengan fungsi poster sebagai media komunikasi massa.
Bila dilihat melalui kacamata sosiologi desain, banyaknya poster dan media cetak yang ditempel di kantin menjadi indikasi sebuah pembaharuan. Pembaharuan ini dilihat dengan bertambahnya nilai fungsi dari kantin yang awalnya berupa tempat makan dan berkumpul ternyata dapat menjadi ruang baru bagi orang-orang yang ingin berkomunikasi.Â
Namun, pembaharuan ini juga memiliki dampak negatif. Banyaknya poster dan media cetak yang ditempel di area kantin DKV ISI secara sembarangan dan bebas dapat menjadi sampah visual karena mencemari kantin sebagai ruang terbuka hijau. Maka dari itu penelitian yang dilakukan oleh penulis bertujuan untuk mencari tahu apakah kantin benar dapat menjadi media komunikasi baru.
Menurut teori perkembangan sosiologi desain Agus Sachari (2002) terdapat tiga komponen inti yang membentuk hubungan timbal balik terhadap perkembangan sosiologi desain. Ketiga unsur ini meliputi manusia, sistem nilai, dan benda/desain. Hubungan timbal balik ini mendorong perkembangan desain dalam masyarakat. Hal ini lah yang dikenal sebagai sistem triadik sosiologi desain.
Unsur pertama dalam sistem triadik Agus Sachari adalah manusia. Manusia dari dalam dirinya memiliki ketentuan dan batasan-batasan yang mengatur kehidupan sosialnya serta menjelaskan moralitasnya mengenai baik dan buruk.Â
Hal ini berujung dengan tercipta dan dibentuknya sistem nilai yang dianut manusia. Jika nilai-nilai tersebut disetujui oleh masyarakat maka terbentuklah sistem nilai masyarakat tersebut.Â
Manusia juga dalam kehidupan sehari-harinya menciptakan benda untuk memenuhi kebutuhannya. Benda-benda ini oleh karena itu dibentuk sesuai kepentingan dan kebutuhan manusia dan nilainya.
Unsur kedua adalah sistem nilai. Sistem nilai secara umumnya terbentuk oleh keputusan kolektif manusia. Sistem nilai tetapi juga dapat dibentuk oleh manusia yang berpengaruh dan figur-figur otoritas.Â
Sistem nilai ini kemudian diubah dalam bentuk norma maupun hukum, sesuai dengan asal pembentukannya. Sistem nilai kemudian juga dibentuk kembali melalui benda-benda yang diciptakan oleh manusia. Benda-benda tersebut kemudian merefleksikan nilai-nilai yang tertanam dari masyarakat tersebut.
Unsur ketiga adalah benda/desain itu sendiri. Benda/desain diciptakan oleh manusia untuk memudahkan pencapaian kebutuhannya. Benda/desain oleh karena itu mau tidak mau tertanamkan nilai-nilai yang dianut oleh manusia.Â
Benda/desain karenanya membawa nilai dan dampak asosiatif yang berbeda terhadap manusia yang diasosiasikan dengan benda/desain tersebut. Benda/desain dengan konotasi nilai yang negatif dapat menurunkan opini masyarakat terhadap objek yang diasosiasikan dengan nilai negatif tersebut begitu juga sebaliknya.Â
Benda/desain juga dapat memengaruhi sistem nilai. Hal ini terjadi akibat pergeseran nilai yang terkadang harus terjadi untuk mengakomodasi benda/desain baru yang masuk ke dalam masyarakat.
Teori berikutnya adalah perkembangan dari sistem triadik Agus Sachari, yaitu sistem triadik sosiologi desain Sumbo Tinarbuko. Sesuai dengan namanya, sistem ini dikembangkan oleh Sumbo Tinarbuko dan dipaparkan dalam kelas sosio-desain DKV ISI Yogyakarta pada tanggal 6 November 2019. Sistem ini mencakup 4 unsur utama, yaitu sosiologi desain, budaya kreatif, modernisasi (pembangunan), serta wacana desain.
Unsur pertama dalam sistem triadik Sumbo adalah sosio-desain. Sosio-desain merupakan kristalisasi dari triadik pertama. Dengan kata lain, unsur ini mencakup interaksi dan komunikasi antara desain dan manusia. Hubungan antara keduanya dapat menghasilkan hal positif dan negatif, penerimaan maupun penolakan. Sosio-desain juga mendorong desainer agar tidak hanya melihat permasalahan dari satu perspektif saja, tapi juga ikut berkembang.
Unsur kedua adalah budaya kreatif. Budaya kreatif berasal dari interaksi dan saling paham antara manusia dan desain. Hasil pemahaman antara desain dan manusia (atau lingkungan sosialnya) di bawah payung sosiologi desain berupa pendekatan yang tepat. Budaya kreatif dapat diibaratkan sebagai sebuah kendaraan atau roda penggerak aspek ketiga, modernisasi. Bila kendaraan yang dipilih tidak sesuai atau bahkan tidak ada, maka modernisasi tidak dapat terjadi.
Unsur ketiga adalah modernisasi atau pembangunan. Terciptanya budaya kreatif yang menyebabkan penambahan atas apa yang sudah ada akan menyebabkan bergeraknya roda modernisasi. Modernisasi ini berupa perubahan menuju kemajuan dengan tujuan tertentu sesuai dengan kedua unsur sebelumnya. Meskipun begitu, modernisasi tidak selalu membawa 'kebaharuan' yang bersifat positif. Modernisasi juga dapat menyebabkan masalah baru dan menambah dosa-dosa desainer. Beberapa di antaranya masalah lingkungan yang disebabkan sampah DKV seperti kemasan, sampah visual, serta media.
Unsur keempat dari sistem ini adalah wacana desain. Wacana desain berdiri menjadi sebuah jawaban atau pemecahan masalah. Dalam prosesnya, penyusunan wacana desain perlu melewati empat langkah terlebih dahulu. Proses ini dicetuskan oleh Ki Hadjar Dewantara dan umumnya disebut 4N: Nontoni, Niteni, Niroke, dan Nambahi. Empat langkah ini (terutama Nontoni dan Niteni) perlu dilaksanakan dengan seksama agar tidak menciptakan desain yang salah sasaran atau malah menciptakan kesalahpahaman (miskomunikasi). Sebelumnya, sempat disinggung bahwa interaksi desain dan manusia dapat menghasilkan hal negatif. Hal negatif ini dapat diselesaikan dengan menciptakan wacana desain yang kontekstual, yakni desain dimana antara desainer dan masyarakatnya memiliki kesepakatan dan kesepahaman. Untuk mencapai konteks ini diperlukan adanya kekerasan simbolik, salah satu bentuknya yaitu persuasi.
Untuk mengadakan publikasi yang efektif, diperlukan strategi jitu. Menurut Fandy Tjiptono, pemilihan lokasi untuk sebuah usaha adalah hal yang sangat krusial dan penting untuk kepentingan investasi yang memiliki tujuan strategis. Memilih lokasi untuk sebuah bisnis atau pemasaran dapat berakibat fatal bila meleset, bisa jadi tidak menghasilkan apa-apa atau bahkan menyebabkan kerugian. Menurut Fandy Tjiptono, pemilihan lokasi membutuhkan pertimbangan detil akan beberapa faktor yang ada di sekitar lokasi tersebut.
Faktor pertama adalah akses masyarakat menuju lokasi tersebut. Lokasi yang terpencil tentu akan sulit dijumpai orang dan akan menjadi lokasi pemasaran yang kurang efektif. Sebisa mungkin tempat yang dipilih mudah diakses dan sering dilalui masyarakat. Selanjutnya adalah visibilitas atau keterlihatan. Apakah tempat tersebut dapat mendukung agar pemasaran yang kita lakukan terlihat jelas, baik itu usaha atau sekedar iklan. Berikutnya adalah traffic, atau banyaknya orang yang lalu-lalang di lokasi tersebut yang berpotensi menjadi pelanggan. Demografi di lokasi tersebut akan berpengaruh ke attention span mereka. Bila hal yang ditawarkan sesuai dengan kebutuhan dan keinginan tentu mereka akan lebih memperhatikan. Sebaliknya, bila tidak relevan  tentu kemungkinan mereka akan menyimak penawarannya akan kecil sekali. Selanjutnya adalah ekspansi. Ekspansi ini berarti peluang apakah lokasi tersebut akan terus tersedia, menyempit, atau meluas di kemudian hari. Dan yang terakhir adalah lingkungan. Maksudnya, lingkungan di sekitar lokasi bisa mendukung produk atau jasa yang ditawarkan. Semua public space pasti memiliki masyarakat yang beragam. Pemilihan lingkungan yang tepat akan sangat mendorong pemasaran karena memenuhi kebutuhan dan keinginan masyarakat yang ada di sekitarnya.
Pengertian sampah visual, sebagaimana yang dinyatakan oleh Sumbo Tinarbuko pada bukunya yang berjudul 'DEKAVE Desain Komunikasi Visual -- Penanda Zaman Masyarakat Global' (2015) adalah aktivitas pemasangan iklan luar ruang baik komersial, sosial, maupun iklan politik yang penempatannya tidak sesuai dengan peruntukannya. Bagi pihak pemasang, tentu penempatan iklan luar ruang pada suatu lokasi strategis adalah cara yang pas untuk menarik audiens. Tapi bagi audiens itu sendiri, iklan -- iklan ini justru menjadi sampah visual yang sangat mengganggu secara psikologis maupun estetis.
Pihak pemasang dengan sesuka hati memasang iklan komersial, sosial, maupun politik dengan menjarah ruang publik maupun ruang terbuka hijau. Selain itu juga mengabaikan aspek ramah lingkungan dan ramah visual saat melakukan pemasangan. Hal ini akan menurunkan citra, kewibawaan, reputasi, dan nama baik dari pemilik iklan itu sendiri. Dampaknya yaitu matinya iklan komersial, sosial dan politik secara tidak terhormat di ruang publik. Seharusnya dalam pemasangannya, pihak pemasang harus menampilkan iklan yang komunikatif, nyeni, berbudaya dan merakyat. Ruang publik tidak seharusnya dikuasai oleh pemilik iklan.
Pemasang seharusnya dapat menempelkan iklan luar ruang di wilayah yang sudah diperuntukkan sebagai tempat penempelan iklan. Tempat-tempat yang tidak diperuntukkan sebagai tempat penempelan sudah dirumuskan oleh Komunitas Reresik Visual menjadi 5 sila sampah visual, yakni:
- Iklan politik dan iklan komersial tidak boleh dipasang di trotoar,
- Iklan politik dan iklan komersial tidak boleh dipasang di taman kota dan ruang terbuka hijau,
- Iklan politik dan iklan komersial tidak boleh dipasang di tiang telepon, tiang listrik, tiang lampu penerangan jalan serta tiang rambu lalulintas,
- Iklan politik dan iklan komersial dilarang dipasang di jembatan serta bangunan heritage,
- Iklan politik dan iklan komersial tidak boleh dipasang serta dipakukan di batang pohon.
PEMBAHASANÂ
Orang-orang yang menggunakan kantin meliputi mahasiswa, pegawai, dosen, serta penjual di kantin yang menggunakan kantin sebagai tempat mencari penghasilan. Mahasiswa yang datang menggunakan kantin DKV biasanya tidak hanya dari prodi DKV, tapi juga prodi lain di Fakultas Seni Rupa. Biasanya jam ramai kantin adalah jam 10-11 siang yang dipenuhi sebagian besar mahasiswa. Menjelang sore hari ada juga pegawai dan dosen yang menggunakan kantin. Jadi, para pengguna kantin inilah yang menjadi bagian dari unsur manusia dari triadik menurut Agus Sachari.
Untuk menjalankan fungsinya sebagai tempat makan dan menghabiskan waktu, tentunya kantin memiliki benda-benda yang berhubungan dengan perlengkapan makan seperti kursi, meja, dan lain sebagainya. Tapi sesuai pada apa yang sudah penulis paparkan pada latar belakang, kantin DKV pun memiliki benda-benda yang tidak berhubungan langsung dengan makan ataupun nongkrong, benda-benda ini ditujukan untuk mengomunikasikan suatu hal. Benda-benda ini dapat dikatakan sebagai bagian dari produk DKV karena digunakan sebagai sarana komunikasi. Benda-benda ini adalah poster, spanduk, taplak meja, stiker, bahkan sachet makanan dan minuman karena mengandung identitas produk. Seperangkat media komunikasi inilah yang berdiri sebagai unsur benda dalam triadik sosiologi milik Agus Sachari.
Keberadaan unsur manusia dan benda (desain) di kantin ini memunculkan fungsi baru kantin, yaitu sebagai media periklanan dan komunikasi antara pengguna kantin. Hal ini merupakan salah satu unsur dari triadik Agus Sachari, yaitu sistem nilai.
Setelah dilakukan identifikasi masalah ini menggunakan triadik sosiologi Agus Sachari, maka bisa dilanjutkan untuk mengaitkan masalah ini ke triadik menurut Sumbo Tinarbuko. Pemeran utama dalam unsur sosiologi desain berdasarkan triadik ini adalah semua unsur yang sudah dijelaskan diatas, yaitu aspek manusia, benda, dan sistem nilai.
Anggapan mahasiswa bahwa kantin bisa menjadi tempat untuk mendapatkan info baru membuat orang juga berpikir ini juga dapat dijadikan tempat untuk menempelkan media komunikasi. Hal ini dikarenakan kantin memiliki kondisi dan lingkungan yang mendukung. Pernyataan ini didukung oleh teori Fandy Tjiptono, bahwa pemilihan lokasi untuk sebuah usaha adalah hal yang sangat krusial dan penting untuk kepentingan investasi yang memiliki tujuan strategis. Salah satunya agar pelanggan atau calon pelanggan mendapat akses yang mudah. Memilih lokasi untuk sebuah bisnis atau pemasaran dapat berakibat fatal bila meleset. Bisa jadi tidak menghasilkan apa-apa atau bahkan menyebabkan kerugian. Menurut Fandy Tjiptono, pemilihan lokasi membutuhkan pertimbangan detil akan beberapa faktor yang ada di sekitar lokasi tersebut.
Faktor pertama adalah akses. Kantin memiliki akses yang mudah karena berdekatan dengan gedung DKV dan tempat parkir. Sehingga selain prodi DKV pun sering berlalu lalang disekitar lokasi. Karena hal tersebut, secara visibilitas kemungkinan terlihatnya bangunan kantin sangat besar dan jelas karena bertempat di ruang terbuka. Berikutnya adalah traffic. Banyaknya orang yang lalu-lalang terutama saat jam makan siang membuat traffic di kantin ramai sehingga peluang dilihatnya media oleh banyak orang sangat besar. Selanjutnya adalah ekspansi, kantin DKV tersebut akan terus tersedia, kemungkinan berubahnya kantin hanya pada penambahan kursi dan meja. Modernisasi itu membuat kantin menjadi sebuah lingkungan yang tepat. Selain untuk media komunikasi, publikasi event atau acara, kantin juga  bisa digunakan sebagai tempat promosi yang dapat berbentuk sachet atau bahkan kontak dari luar. Contohnya pada awal tahun 2019 pihak kopi Tora Bika membuat promosi khusus di instansi pendidikan Yogyakarta, salah satunya di kantin DKV ISI Yogyakarta.
Modernisasi ini tentunya memiliki dampak negatif. Dampak negatif ini berupa munculnya sampah visual yang berupa media cetak yang ditempelkan sembarangan. Hal ini dapat mengurangi estetika ruang kantin DKV dan mengganggu pengunjung kantin. Pernyataan ini diperkuat dari hasil kuesioner, bahwa dari 50 orang ada beberapa yang mengaku terganggu atas sampah-sampah visual yang tersebar di kantin. Penempatan media komunikasi cetak yang sembarang merupakan pelanggaran terhadap sila ke-2 sampah visual yang dikemukakan oleh Komunitas Reresik Sampah Visual Yogyakarta. Berdasarkan bentuk kantin yang berada sebagai ruang terbuka hijau, maka tentu peletakan media cetak sembarangan telah melanggar sila ini.
Peletakan poster ini meskipun sembarangan, niat pemasang poster itu adalah mencari tempat yang strategis. Bila dikaitkan dengan strategi publikasi milik Fandy, maka kita harus mencari tempat dengan visibilitas yang baik. Sebenarnya, poster-poster ini diletakkan pada titik-titik yang memiliki kerumunan paling banyak di kantin. Seperti pintu masuk kantin dan tempat duduk yang dekat dengan jeruji. Jeruji ini dipandang pemasang poster sebagai dinding bebas yang bisa digunakan untuk berbagai macam keperluan, seperti publikasi dan promosi mereka.
Sampah visual akan selalu ada karena kerumunan tidak dapat ditebak. Pembentukan kerumunan itu sendiri disebabkan oleh hubungan pribadi antara pengunjung kantin. Karena itu titik-titik yang disebutkan tadi menjadi titik potensial untuk mendapatkan audiens yang lebih banyak, tidak pasti namun peluangnya tinggi.
KESIMPULANÂ
Kantin terbukti memiliki fungsi baru sebagai media komunikasi. Dengan adanya penambahan fungsi ini selain berdampak baik tentu memiliki dampak negatif juga. Bila terlalu banyak media komunikasi cetak yang ditempel secara serampangan akan menghasilkan sampah visual yang tentu mengganggu secara psikologis dan estetika. Sampah visual menjadi salah satu bukti adanya modernisasi. Kantin yang pada awalnya hanya terdapat sampah makanan, sekarang bertambah sampah visual.
SARAN
Untuk meminimalisir dampak negatif yang terjadi, bisa dengan memberikan ruang khusus untuk menempatkan media komunikasi cetak. Ruang khusus itu diletakkan di tempat strategis, dan sebaiknya menggunakan bahan yang durable dan mudah diganti (mengurangi sampah). Misal di jeruji menggunakan klip agar tidak harus memakai lem untuk menempel. Di tiang bisa dipasangkan corkboard yang bisa ditempel atau dengan akrilik yang di dalamnya diselipkan media komunikasi cetak. Tapi karena kerumunan tidak bisa diatur, ada kemungkinan muncul anomali yang menempelkan media mereka selain di ruang yang telah disediakan. Maka kita juga perlu menerapkan kontrol berupa sanksi pencabutan media komunikasi yang dipasang di luar space tersebut.
DAFTAR PUSTAKA
Sachari, Agus. 2002. Sosiologi Desain. Bandung: ITB
Sutriyati. 2019. Komunitas Reresik Sampah Visual Rumuskan 5 Sila Sampah Visual. Diambil dari: https://kabarkota.com/2019/01/30/lingkungan/komunitas-reresik-sampah-visual-rumuskan-5-sila-sampah-visual/ (Diakses pada 26 November 2019)
Tinarbuko, Sumbo. 2015. DEKAVE Desain Komunikasi Visual - Penanda Zaman Masyarakat Global. Yogyakarta: PenerbitCAPS (hal 234 -- 248)
Tinarbuko, Sumbo. 2019. Kuliah Teori Sisten Triadik Sosiologi Desain. Materi dipresentasikan dalam perkuliahan mata kuliah Sosiologi Desain. 6 November. Fakultas Seni Rupa Institut Seni Indonesia Yogyakarta. Bantul, Yogyakarta. tidak dipublikasikan.
Tjiptono, Fandy. 1997. Strategi Pemasaran. Yogyakarta: Penerbit Andi
Tim Penulis:
-KANTONG AJAIB-
1. Wafiq Marzuki Mubarok (1812481024)
2. Annisa Nur Azra (1812486024)
3. Rikhana Widya Ardilla (1812490024)
4. Aulia Danasti (1812494024)
5. Aurelia Putrivianti R. (1812492024)
6. Ananda Abidhas Akbar (1812499024)
7. Mohammad Raihan (1812503024)
8. Lisa Amalia (1812505024)
9. Mahesa Bintang L. (1812518024)
10. Nabila Misilu Shafirila (1812534024)
DKV A - 2018
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H