Unsur kedua adalah budaya kreatif. Budaya kreatif berasal dari interaksi dan saling paham antara manusia dan desain. Hasil pemahaman antara desain dan manusia (atau lingkungan sosialnya) di bawah payung sosiologi desain berupa pendekatan yang tepat. Budaya kreatif dapat diibaratkan sebagai sebuah kendaraan atau roda penggerak aspek ketiga, modernisasi. Bila kendaraan yang dipilih tidak sesuai atau bahkan tidak ada, maka modernisasi tidak dapat terjadi.
Unsur ketiga adalah modernisasi atau pembangunan. Terciptanya budaya kreatif yang menyebabkan penambahan atas apa yang sudah ada akan menyebabkan bergeraknya roda modernisasi. Modernisasi ini berupa perubahan menuju kemajuan dengan tujuan tertentu sesuai dengan kedua unsur sebelumnya. Meskipun begitu, modernisasi tidak selalu membawa 'kebaharuan' yang bersifat positif. Modernisasi juga dapat menyebabkan masalah baru dan menambah dosa-dosa desainer. Beberapa di antaranya masalah lingkungan yang disebabkan sampah DKV seperti kemasan, sampah visual, serta media.
Unsur keempat dari sistem ini adalah wacana desain. Wacana desain berdiri menjadi sebuah jawaban atau pemecahan masalah. Dalam prosesnya, penyusunan wacana desain perlu melewati empat langkah terlebih dahulu. Proses ini dicetuskan oleh Ki Hadjar Dewantara dan umumnya disebut 4N: Nontoni, Niteni, Niroke, dan Nambahi. Empat langkah ini (terutama Nontoni dan Niteni) perlu dilaksanakan dengan seksama agar tidak menciptakan desain yang salah sasaran atau malah menciptakan kesalahpahaman (miskomunikasi). Sebelumnya, sempat disinggung bahwa interaksi desain dan manusia dapat menghasilkan hal negatif. Hal negatif ini dapat diselesaikan dengan menciptakan wacana desain yang kontekstual, yakni desain dimana antara desainer dan masyarakatnya memiliki kesepakatan dan kesepahaman. Untuk mencapai konteks ini diperlukan adanya kekerasan simbolik, salah satu bentuknya yaitu persuasi.
Untuk mengadakan publikasi yang efektif, diperlukan strategi jitu. Menurut Fandy Tjiptono, pemilihan lokasi untuk sebuah usaha adalah hal yang sangat krusial dan penting untuk kepentingan investasi yang memiliki tujuan strategis. Memilih lokasi untuk sebuah bisnis atau pemasaran dapat berakibat fatal bila meleset, bisa jadi tidak menghasilkan apa-apa atau bahkan menyebabkan kerugian. Menurut Fandy Tjiptono, pemilihan lokasi membutuhkan pertimbangan detil akan beberapa faktor yang ada di sekitar lokasi tersebut.
Faktor pertama adalah akses masyarakat menuju lokasi tersebut. Lokasi yang terpencil tentu akan sulit dijumpai orang dan akan menjadi lokasi pemasaran yang kurang efektif. Sebisa mungkin tempat yang dipilih mudah diakses dan sering dilalui masyarakat. Selanjutnya adalah visibilitas atau keterlihatan. Apakah tempat tersebut dapat mendukung agar pemasaran yang kita lakukan terlihat jelas, baik itu usaha atau sekedar iklan. Berikutnya adalah traffic, atau banyaknya orang yang lalu-lalang di lokasi tersebut yang berpotensi menjadi pelanggan. Demografi di lokasi tersebut akan berpengaruh ke attention span mereka. Bila hal yang ditawarkan sesuai dengan kebutuhan dan keinginan tentu mereka akan lebih memperhatikan. Sebaliknya, bila tidak relevan  tentu kemungkinan mereka akan menyimak penawarannya akan kecil sekali. Selanjutnya adalah ekspansi. Ekspansi ini berarti peluang apakah lokasi tersebut akan terus tersedia, menyempit, atau meluas di kemudian hari. Dan yang terakhir adalah lingkungan. Maksudnya, lingkungan di sekitar lokasi bisa mendukung produk atau jasa yang ditawarkan. Semua public space pasti memiliki masyarakat yang beragam. Pemilihan lingkungan yang tepat akan sangat mendorong pemasaran karena memenuhi kebutuhan dan keinginan masyarakat yang ada di sekitarnya.
Pengertian sampah visual, sebagaimana yang dinyatakan oleh Sumbo Tinarbuko pada bukunya yang berjudul 'DEKAVE Desain Komunikasi Visual -- Penanda Zaman Masyarakat Global' (2015) adalah aktivitas pemasangan iklan luar ruang baik komersial, sosial, maupun iklan politik yang penempatannya tidak sesuai dengan peruntukannya. Bagi pihak pemasang, tentu penempatan iklan luar ruang pada suatu lokasi strategis adalah cara yang pas untuk menarik audiens. Tapi bagi audiens itu sendiri, iklan -- iklan ini justru menjadi sampah visual yang sangat mengganggu secara psikologis maupun estetis.
Pihak pemasang dengan sesuka hati memasang iklan komersial, sosial, maupun politik dengan menjarah ruang publik maupun ruang terbuka hijau. Selain itu juga mengabaikan aspek ramah lingkungan dan ramah visual saat melakukan pemasangan. Hal ini akan menurunkan citra, kewibawaan, reputasi, dan nama baik dari pemilik iklan itu sendiri. Dampaknya yaitu matinya iklan komersial, sosial dan politik secara tidak terhormat di ruang publik. Seharusnya dalam pemasangannya, pihak pemasang harus menampilkan iklan yang komunikatif, nyeni, berbudaya dan merakyat. Ruang publik tidak seharusnya dikuasai oleh pemilik iklan.
Pemasang seharusnya dapat menempelkan iklan luar ruang di wilayah yang sudah diperuntukkan sebagai tempat penempelan iklan. Tempat-tempat yang tidak diperuntukkan sebagai tempat penempelan sudah dirumuskan oleh Komunitas Reresik Visual menjadi 5 sila sampah visual, yakni:
- Iklan politik dan iklan komersial tidak boleh dipasang di trotoar,
- Iklan politik dan iklan komersial tidak boleh dipasang di taman kota dan ruang terbuka hijau,
- Iklan politik dan iklan komersial tidak boleh dipasang di tiang telepon, tiang listrik, tiang lampu penerangan jalan serta tiang rambu lalulintas,
- Iklan politik dan iklan komersial dilarang dipasang di jembatan serta bangunan heritage,
- Iklan politik dan iklan komersial tidak boleh dipasang serta dipakukan di batang pohon.
PEMBAHASANÂ
Orang-orang yang menggunakan kantin meliputi mahasiswa, pegawai, dosen, serta penjual di kantin yang menggunakan kantin sebagai tempat mencari penghasilan. Mahasiswa yang datang menggunakan kantin DKV biasanya tidak hanya dari prodi DKV, tapi juga prodi lain di Fakultas Seni Rupa. Biasanya jam ramai kantin adalah jam 10-11 siang yang dipenuhi sebagian besar mahasiswa. Menjelang sore hari ada juga pegawai dan dosen yang menggunakan kantin. Jadi, para pengguna kantin inilah yang menjadi bagian dari unsur manusia dari triadik menurut Agus Sachari.
Untuk menjalankan fungsinya sebagai tempat makan dan menghabiskan waktu, tentunya kantin memiliki benda-benda yang berhubungan dengan perlengkapan makan seperti kursi, meja, dan lain sebagainya. Tapi sesuai pada apa yang sudah penulis paparkan pada latar belakang, kantin DKV pun memiliki benda-benda yang tidak berhubungan langsung dengan makan ataupun nongkrong, benda-benda ini ditujukan untuk mengomunikasikan suatu hal. Benda-benda ini dapat dikatakan sebagai bagian dari produk DKV karena digunakan sebagai sarana komunikasi. Benda-benda ini adalah poster, spanduk, taplak meja, stiker, bahkan sachet makanan dan minuman karena mengandung identitas produk. Seperangkat media komunikasi inilah yang berdiri sebagai unsur benda dalam triadik sosiologi milik Agus Sachari.