Mohon tunggu...
Azis Maloko
Azis Maloko Mohon Tunggu... Penulis - seorang pejalan yang menikmati hari-hari dengan membaca

anak nelayan berkebangsaan Lamakera nun jauh di sana, hobi membaca dan menulis, suka protes, tapi humanis dan humoris

Selanjutnya

Tutup

Analisis Pilihan

Potret Wajah Calon Pemimpin dalam Debat Capres Perdana: dari Wajah Intelek-Retoris, Gemoy-Santuy, hingga Wajah Sat Set

6 Januari 2024   17:47 Diperbarui: 6 Januari 2024   17:47 265
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Analisis Cerita Pemilih. Sumber ilustrasi: KOMPAS.com/GARRY LOTULUNG

Azis Maloko

Melihat tampilan yang ditunjukkan oleh masing-masing Capres pada acara debat Capres perdana yang diadakan oleh KPU RI itu pada sesungguhnya menggambarkan wajah sebenarnya tentang calon pemimpin bangsa ke depannya. Di situ benar-benar terlihat wajah calon pemimpin bangsa yang layak dan tidak layak untuk dipilih oleh masyarakat Indonesia. Karena di sana masing-masing Capres tidak hanya berbicara tentang gagasan, visi misi dan program masing-masing ketika menjadi seorang pemimpin bangsa. Akan tetapi, di sana juga akan nampak terlihat sisi-sisi lain yang mungkin saja masih luput dari penglihatan terbuka oleh masyarakat luas.

Jika selama ini publik Indonesia baru berkenalan dengan calon pemimpin bangsanya melalui berbagai "promosi" yang dimainkan oleh berbagai promotor, baik media massa maupun tim-timnya, dengan berbagai macam tampilan yang memukau dan memikat, maka melalui panggung perdebatan Capres akan nampak wajah sebenarnya dari masing-masing calon pemimpin bangsa. Di sana akan terlihat dengan jelas tampilan wajah masing-masing. Tidak ada polesan simulacrum di sana. Semuanya tampil otentik; tampil apa adanya. Mulai dari tampilan kemampuan intelektual, narasi, retorika dan argumentasi hingga tampilan terkait dengan etika.

Ya. Acara debat Capres jauh lebih kompleks, bisa mengubah konstalasi politik, khususnya terkait dengan pilihan politik. Dengan adanya pertunjukan masing-masing Capres-cawapres dalam ajang perdebatan akan menjadi referensi politik tambahan bagi masyarakat dalam melihat kembali pilihan politiknya. Di sana masyarakat yang masih belum menentukan pilihan politiknya dan atau masyarakat yang sudah menentukan pilihan politiknya namun tidak disertai dengan "literasi politik" yang memadai pun akan mendapat referensi politik tambahan pula untuk memantapkan kembali pilihan politiknya. Bisa-bisa saja akan terjadi gelombang hijrah pilihan politik.

Makanya, banyak manuver politik yang dimainkan untuk mempertimbangkan dan atau mengkondisikan kembali acara perdebatan bagi Capres-cawapres. Manuver politiknya terkait dengan mengubah format perdebatan hingga pada upaya meniadakan acara perdebatan. Namun, paling santer terdengar adalah manuver politik terkait dengan pengubahan format perdebatan. Di sana diwacanakan agar kiranya format perdebatan hanya sekedar memaparkan gagasan, visi misi dan program masing-masing Capres-cawapres tanpa perlu ada sanggahan balik. Acara perdebatan Capres-cawapres berubah menjadi sosialisasi politik satu arah.

Wacana tersebut sempat menghebohkan jagat perpolitikan Indonesia. Di sana terjadi klaim mengklaim antar masing-masing perwakilan Capres-cawapres soal siapa sebenarnya yang pertama kali menelurkan gagasan tentang pengubahan format perdebatan Capres-cawapres semacam itu. Tidak ada yang mau mengalah. Akhirnya, fakta perapatan yang berbicara dan mengakhiri semua klaim-klaim kosong. Menariknya, salah satu argumentasi yang digunakan dalam kaitannya dengan itu adalah bahwa alokasi waktu perdebatan sangat terbatas. Karenanya, Capres-cawapres dipandang tidak memiliki cukup waktu untuk memaparkan visi misi dan programnya.

Namun, ketika kembali menengok fakta yang ditunjukkan secara terbuka dalam acara perdebatan Capres perdana nampak terlihat bahwa argumentasi tersebut hanya sekedar kamuflase politik untuk mengamankan Capres-cawapres tertentu saja. Sebab, semenjak moderator mempersilahkan masing-masing Capres tampil memaparkan gagasan, visi misi dan programnya serta dilanjutkan dengan acara perdebatan antar masing-masing Capres rupa-rupanya banyak yang masih memiliki waktu sisa yang lumayan banyak hampir dalam setiap segmennya. Kecuali hanya satu Capres saja yang nampaknya berbicara sesuai dengan alokasi waktu yang ada; tidak kurang dan tidak lebih.

Untuk itu, perlu kiranya kembali melihat secara keseluruhan potret wajah calon pemimpin bangsa yang ditunjukkan dalam perhelatan acara perdebatan Capres perdana. Setidak-tidaknya memberikan gambaran tambahan bagi publik Indonesia untuk kembali mengobjektivasi dan merasionalisasi pilihan-pilihan politiknya. Sehingga, publik Indonesia tampil menjadi pemilih cerdas dan kritis dalam setiap perhelatan pesta demokrasi lima tahunan. Karena, di sana mereka sudah punya amunisi tambahan berupa "literasi politik" yang diperoleh melalui pertunjukan masing-masing Capres dalam ajang perdebatan. Akhirnya, pemimpin yang terpilih juga benar-benar berkualitas.

*Calon Pemimpin Berwajah Intelek-Retoris*

  •  

Wajah calon pemimpin bangsa yang pertama kali terlihat dalam acara perdebatan Capres adalah wajah intelek dan retoris. Wajah calon pemimpin bangsa semacam itu biasanya dipredikatkan secara langsung kepada sosok Anies Baswedan. Kebetulan pula Anies merupakan pasangan Capres-Cawapres yang bernomor urut satu dan tampil pertama kali pula dalam acara perdebatan. Sehingga, pengandaian tersebut mendapat legitimasi dan justifikasi intelektual berdasarkan fakta empiris. Dengan kata lain, bukan karena ada keberpihakan politik sehingga wajah calon pemimpin bangsa bagi Anies ditempatkan pada urutan pertama dalam pembahasan ini.

Pengandaian wajah calon pemimpin semacam itu berangkat dari dua fakta, yaitu fakta yang bersifat positif dan fakta yang bersifat negatif. Fakta positif mengandaikan bahwa Anies Baswedan memiliki wajah intelek dan retoris oleh sebab pada kenyataannya Anies memang benar-benar memiliki kecerdasan intelektual dan retorika yang tidak terbantahkan oleh siapa pun juga orangnya, hatta kawan maupun lawan (politik) dan nasional maupun internasional. Hal demikian sangat mudah dimaklumi karena Anies memiliki karir, jejak dan reputasi pendidikan yang terbilang luar biasa dahsyat, baik semenjak bangku sekolah hingga perguruan tinggi tingkat doktoral.

Dengan fakta demikian, maka wajar kemudian jika seorang Anies terkenal sisi intelektual dan retorikanya. Di mana Anies sangat mudah, fasih dan lincah mengkomunikasikan segala sesuatu, khususnya dalam lingkup kerja-kerja kepemimpinan, dalam bentuk dan atau dengan narasi, argumentasi dan retorika yang kuat dan apik. Karena, hal-hal semacam itu merupakan makanan harian seorang Anies. Anies sudah terbiasa berurusan dengan dunia gagasan, komunikasi dan perdebatan. Sehingga, tidak ada ceritanya Anies plonga-plongo dan komat-kamit dalam mengkomunikasikan gagasan, visi misi dan program politiknya. Pun tidak ada ceritanya Anies minggat dari ruang dialog.

Apakah sampai di situ saja? Tidak. Wajah kepemimpinan Anies Baswedan tidak hanya sekedar intelek dan retoris. Anies juga memiliki pengalaman, karya dan rekam jejak kepemimpinan publik dengan berbagai macam prestasi. Anies adalah mantan Rektor Universitas Paramadina, kampus mendiang Nurcholish Madjid. Anies juga pernah menjabat sebagai Menteri Pendidikan pemerintahan Jokowi-Jusuf Kalla. Anies juga pernah menjabat sebagai Gubernur DKI Jakarta. Bahkan Anies juga banyak terlibat dalam menginisiasi communitas kemanusiaan, di antaranya adalah Indonesia Mengajar. Selain itu, Anies juga pernah menjadi anggota Dewan Etik KPK.

Belum lagi kalau berbicara pada aspek sikap yang selalu ditampilkan oleh seorang Anies dalam berbagai kesempatan. Anies dikenal publik sebagai sosok yang terbilang murah senyum dan lembut tutur katanya. Akhlak dan perangai semacam itu sulit rasanya dicari dan ditemukan. Dengan akhlak politik dan sosialnya semacam itu, maka Anies mengatakan bahwa sosoknya dipuji tidak akan terbang serta dihina dan dicaci-maki dengan berbagai issu pun juga tidak akan tumbang. Sehingga, jarang sekali Anies menanggapi respon-respon negatif yang dialamatkan kepadanya. Kalau pun dengan terpaksa direspon, maka akan terlihat karakter otentiknya: lemah lembut dan murah senyum.

Artinya apa? Kecerdasan intelektual dan retorika yang dimiliki oleh Anies dan selalu digunakan pada semua kesempatan, termasuk dalam perdebatan Capres perdana saban hari, bukan hanya sekedar mengumbar kecerdasan intelektual dan retorika semata alias bukan pepesan kosong dan hanya sekedar gaya-gayaan saja agar dilihat publik sebagai orang cerdas dan hebat (nampaknya sulit melihat ada jiwa manipulatif, hipokratik dan simulacrum pada wajah seorang Anies, karena wajahnya terlampau polos, tidak terlihat adanya karakter demikian). Akan tetapi, apa yang disampaikan Anies merupakan konstruksi dari wawasan intelektual dan pengalaman kepemimpinannya.

Apa yang disampaikan oleh Anies Baswedan dalam forum perdebatan Capres bukan semata hanya kekuatan gagasan, narasi dan retorika, tetapi di sana juga ada kekuatan argumentasi. Bahkan apa yang disampaikan Anies diandaikan berisi daging semua. Maklum karena apa-apa yang disampaikan Anies Baswedan berangkat dari wawasan intelektual dan literasi politik yang memadai serta pengalaman, karya dan rekam jejak kepemimpinannya selama menjadi Gubernur DKI Jakarta maupun lainnya. Makanya, sulit rasanya untuk mencari celah untuk Anies dalam ruang perdebatan tersebut. Hal demikian nampak terlihat dari kualitas pertanyaan dan sanggahan rivalnya.

Meskipun demikian, fakta-fakta empiris, nyata dan logis semacam itu nampaknya belum cukup menjadi argumentasi bagi rival politik yang telah kehilangan objektivitas dan rasionalitas karena tersandera oleh logika keberpihakan politik an sich. Sehingga, masih saja terdapat banyak pandangan destruktif negatif terhadap kemampuan intelektual dan retorika seorang Anies Baswedan. Pandangan destruktif negatif ini dikapitalisasi dan diframing sedemikian rupa oleh rival politik dalam ruang-ruang politik. Bahkan pandangan destruktif negatif semacam itu dijadikan sebagai "kempamye politik" untuk menyerang habis-habisan Anies Baswedan.

Ada beberapa kemungkinan epistemologis kenapa rival politik semacam tidak objektif, rasional dan jujur dalam membaca secara kritis sosok Anies Baswedan dengan "kelebihan" yang dimilikinya, khususnya dalam bidang kecerdasan intelektual dan retorika. Bisa saja karena kekurangan informasi terkait dengan sosok Anies Baswedan. Atau bisa saja karena termakan oleh api provokasi berbasiskan hoax murahan. Atau bisa saja karena hal demikian menjadi bagian dari strategi dan taktik politik. Kondisi semacam itu pada akhirnya membuat orang semacam itu terjebak dalam nalar sentimen, spekulatif dan phobia akut terhadap sosok Anies Baswedan.

Mungkin saja orang-orang semacam itu menginginkan sosok pemimpin bangsa tidak jelas karir pendidikan, wawasan intelektual, wawasan literasi dan kecerdasan retorika dalam mengkomunikasikan gagasan besarnya tentang masa depan peradaban Indonesia dalam konstalasi politik global-dunia. Mungkin saja mereka menginginkan calon pemimpin bangsa Indonesia ke depannya adalah orangnya plonga-plongo dan komat-kamit tidak jelas ditambah melabrak aturan dan publik etik sana sini. Jika demikian halnya tentu selera pilihan politik terhadap calon pemimpin bangsa sangat-sangat disayangkan, karena standar kualitasnya terlampau rendah.

Padahal bangsa Indonesia yang begitu besar ini membutuhkan sosok pemimpin yang berkualitas. Apalagi bangsa Indonesia tidak kehabisan stok orang-orang cerdas dan hebat dengan segudang pengalaman kepemimpinan publik. Sayang jika orang-orang cerdas dan hebatnya bangsa Indonesia selalu saja dipersulit aksesnya untuk menjadi pemimpin dengan berbagai dalih dan cara. Ditambah lagi masing-masing anak bangsa juga memiliki standar yang berbeda-beda terkait dengan kriteria ideal bagi calon pemimpin. Hal demikian semakin dipersulit dengan adanya fragmentasi partai politik, masing-masing punya pilihan politik tersendiri.

Pada konteks demikian, ada hal penting yang perlu dipercakapkan terkait dengan wajah kepemimpinan Anies Baswedan yang terkenal dengan sebutan "wajah intelek dan retoris" semacam itu. Artinya, perlu di-upgrade kualitas pembacaan dan penilaian terhadap wajah kepemimpinan Anies tersebut. Tidak perlu terjebak pada apa yang disebut dengan "wajah intelek dan retoris" itu. Kita harus berani beranjak dari hal-hal semacam itu untuk masuk pada hal-hal yang subtansial dengan mempertanyakan ada apa sebenarnya dengan "wajah intelek dan retoris" seorang Anies? Atau apakah ada yang salah dengan "wajah intelek dan retoris" seorang Anies?

Dengan paradigma pembacaan politik semacam itu membuat kita lebih fokus mengkaji, mengulik dan mengkritik pesan-pesan yang disampaikan Anies Baswedan dalam forum perdebatan Capres perdana itu. Jika paradigma semacam itu digunakan niscaya ruang-ruang politik akan jauh dari sentimen, spekulasi dan phobia akut terhadap sosok Anies dan tokoh-tokoh lainnya. Jika dilihat dari aspek intelektual, narasi dan retorika nampaknya tidak ada masalah bagi sosok Anies. Malahan di situ Anies benar-benar perfect and is the best. Namun, dari aspek argumentasi perlu diuji lebih lanjut dengan fakta-fakta intelektual dan pengalaman kerja.

Pertanyaan kemudian adalah apakah ada yang salah dengan apa yang disampaikan oleh seorang Anies dengan "wajah intelek dan retoris"nya itu? Pertanyaan lebih lanjutnya adalah apakah Anies berbicara dalam forum perdebatan Capres tersebut berdasarkan hoax, miss informasi dan hanya mengumbar janji melalui kecerdasan intelektual dan retoris semata? Pertanyaan-pertanyaan semacam itu, meminjam istilah Anies sendiri, jawabannya harus dibuktikan dengan karya dan rekam jejak. Karya dan rekam jejak kepemimpinan merupakan akumulasi pengalaman kepemimpinan yang sudah terjadi. Karenanya, Anies sering mengatakan prediktor terbaik adalah masa lalu.

Dengan demikian, ada paradigma yang bisa digunakan dalam menjawab berbagai pertanyaan skeptis dan tendensius yang dialamatkan kepada Anies Baswedan, yakni "masa lalu" terkait dengan karya dan rekam jejak. Dari aspek janji politik misalnya, Anies bukan hanya sekedar jago mengumbar janji politik dengan berbagai narasi, retorika dan argumentasi, akan tetapi Anies benar-benar sudah membuktikannya ketika menjadi Gubernur DKI Jakarta. Hampir semua janji-janji politik Anies telah diwujudkan dengan baik. Bahkan banyak pula gebrakan baru bermunculan bersamaan dengan ikhtiar mewujudkan janji-janji politiknya. Makanya, aspek ini pun clear.

 

Sekarang masuk pada konten dan pesan yang disampaikan Anies. Rasa-rasanya publik juga dapat mengukur dan menilainya sendiri. Hampir semua pertanyaan dan sanggahan dijawab dengan baik dan tuntas. Bahkan konten dan pesan yang disampaikan berbasiskan data-data yang akurat lagi teruji, baik data intelektual-saintifik maupun data terkait karya dan rekam jejak kepemimpinan politiknya. Sehingga, pertanyaan seputar ini pun sangat mudah untuk dijawab dengan dua pendekatan, yakni pendekatan intelektual-saintifik serta pendekatan karya dan rekam jejak kepemimpinan politik. Lagi-lagi, pada konteks itu pun sulit mencari dan menjelaskan sisi kelemahan Anies.

Terakhir, semenjak awal menyampaikan gagasan, visi misi dan program politiknya Anies langsung memperjelas posisinya sebagai "oposisi" yang kontra dan anti-tesa dengan rezim Jokowi. Gagasan dan narasi yang disampaikan dalam pemaparan visi misi dan program politik langsung menyentuh jantung persoalan kebangsaan yang jarang sekali disentuh kebanyakan orang. Di sana Anies menyajikan data-data faktual terkait dengan wajah demokrasi, hukum dan korupsi hingga pada penegakan hukum di dalamnya. Tidak sungkan-sungkan Anies menghadirkan pula orang-orang yang tengah mencari dan menuntut keadilan hukum. Bahkan langsung menyenggol salah satu Cawapres.

Dengan demikian, Anies dengan mudah menjelaskan relevansi dan urgensitas gagasan perubahan yang diusung dalam kontestasi politik. Bahwa dengan kondisi demokrasi, hukum, pemberantasan korupsi hingga penegakan hukum pada umumnya, maka menjadi penting kiranya untuk mengusung dan memperjuangkan perubahan untuk Indonesia lebih baik lagi ke depannya; Indonesia adil dan makmur untuk semua. Tidak ada lagi namanya diskriminasi, abuse of power yang bernama ordal (orang dalam), praktik-praktik KKN dan otoriterianisme dalam berdemokrasi. Karena, perubahan menjunjung tinggi demokrasi, supremasi hukum, keadilan, kemerataan dan etika.

*Calon Pemimpin Berwajah Gemoy-Santuy*

  •  

Berbeda dengan Anies Baswedan, wajah calon pemimpin bangsa kedua ini lebih akrab dikenal dengan sebutan "wajah gemoy-santuy". Wajah calon pemimpin ini merupakan hasil perjumpaan dan asimilasi politik antara Partai Gerindra -- Prabowo Subianto dengan Partai Solidaritas Indonesia (PSI) -- Kaesang Panggarep. Di mana PSI memperkenalkan platform politiknya dengan sebuah istilah milenial, yakni "santuy". Sementara, Gerindra memperkenalkan platform politiknya bernama "gemoy" dengan berangkat dari kecenderungan "politik gemoy" yang selalu dilakukan dan dipertontonkan oleh seorang Prabowo dalam setiap ruang-ruang politik.

Olehnya, secara historical-genelogis, calon pemimpin bangsa yang "berwajah gemoy-santuy" dinisbatkan secara langsung kepada pasangan Prabowo-Gibran. Di sana konon ada perjumpaan antara rancang bangun konsep terkait dengan platform politik gemoy-santuy dengan apa yang menjadi kecenderungan masyarakat luas. Sehingga, pasangan Capres-cawapres ini cukup PD dan bersemangat memperkenalkan dan mengkampanyekan platform politik tersebut. Hampir semua alat peraga kampanye diwarnai dengan platform politik gemoy-santuy, baik dalam bentuk gambar orang yang kelihatan menggemaskan maupun dengan kata-kata.

Penggunaan platform politik gemoy-santuy oleh pasangan Prabowo-Gibran diandaikan mewakili kepemimpinan muda karena Prabowo-Gibran diandaikan sebagai pasangan Capres-cawapres yang terbilang muda dan milenial. Meskipun, indikatornya hanya karena di sana ada Cawapres yang terkenal muda dan milenial, yakni Gibran. Ya. Prabowo Subianto bukan lagi tergolong muda usianya, tetapi sudah terlampaui tua. Namun, banyak fans boy dan fanatikusnya mengandaikan bahwa pikiran, visi misi dan program politik Prabowo masih segar dan berpihak kepada kaum milenial dan gen z. Sehingga, pasangan ini mengidentikkan diri dengan pasangan milenial.

Perlu untuk ditegaskan segera di sini bahwa penisbatan dan penggunaan frase "wajah gemoy-santuy" bukan dalam kerangka vis a vis dengan "wajah intelek-retoris" bagi sosok Anies Baswedan di atas. Artinya, penisbatan dan penggunaan frase "wajah gemoy-santuy" tidak bermakna bahwa pasangan Prabowo-Gibran tidak memiliki gagasan dan juga intelektual dan retorika. Karena, bagaimana pun Prabowo-Gibran juga memiliki kecerdasan intelektual dan retorika sesuai dengan tingkatan masing-masing. Akan tetapi, hanya sekedar menampilkan sisi menonjol yang diperkenalkan dan digunakan sendiri oleh pasangan Prabowo-Gibran maupun tim pendukungnya.

Sama halnya ketika menisbatkan Anies dengan "wajah intelek-retoris" bukan berarti Anies tidak bisa dan atau tidak terkenal "gemoy-santuy". Malahan Anies Baswedan jauh lebih "gemoy-sentuy" dibandingkan dengan lainnya. Hanya saja konsep dan juga wujud "gemoy-santuy" dalam kamus politik Anies diterjemahkan dengan lebih intelek-retoris lagi, sehingga kelihatan berbeda dengan lainnya. Wujud "gemoy-santuy Anies dapat dilihat dari pancaran karakternya selama ini, baik dalam lingkup jagat perpolitikan maupun lainnya, mulai dari karakter murah senyum, lembut tutur katanya, sopan santun, rileks, santai dan lain sebagainya.

Pada dasarnya platform politik gemoy-santuy hendak menghadirkan iklim politik demokrasi yang jauh dari praktek-praktek "kekerasan" verbal maupun non verbal, hoax, manipulasi, provokasi, emosionalitas dan seterusnya. Dengan kata lain, platform politik ini hendak membangun iklim politik demokrasi yang jauh lebih ramah dan bersahabat dengan fragmentasi pilihan politik beserta berbagai macam dinamikanya. Dalam rangka untuk mewujudkan iklim politik demokrasi tersebut, maka perlu adanya gerakan politik yang bernama gemoy-santuy, yakni gerakan politik yang mengedepankan senyam-senyum dan joget-jogetan dalam berbagai event politik demokrasi.

Karena, dalam pengandaian varian kelompok politik ini bahwa masyarakat jauh lebih respect dengan corak politik yang diwarnai dengan atraksi gemoy-santuy, hatta masyarakat tidak terlalu tahu persis akan apa dan bagaimana sebenarnya gagasan, visi misi dan program politiknya. Pokoknya corak politik semacam ini mau tampil sebagai "penghibur" bagi masyarakat melalui gerakan politik gemoy-santuy, meskipun masyarakatnya tengah dirundung oleh berbagai permasalahan hidup dalam berbagai aspek, mulai dari harga kebutuhan pokok yang terlampau mahal, mahalnya biaya pendidikan, sulitnya akses pekerjaan, tingginya tingkat pengangguran dan kemiskinan, dan lain-lain.

Makanya, hampir semua ruang-ruang politik demokrasi akan dimunculkan corak politik gemoy-santuy itu. Selain tokoh-tokoh sentralnya, khususnya Gibran, selalu "bersabda" bahwa tidak perlu menghabiskan waktu dengan merespon berbagai kritik, hinaan, celaan dan lainnya pada berbagai kanal media sosial. Bahkan sampai-sampai ada semacam instruksi yang bersifat "mengurui" bahwa jika pun terpaksa merespon, maka responlah dengan santuy tanpa perlu terbakar api provokasi yang dimainkan dan dihembuskan pada berbagai kanal media sosial. Sehingga, corak politik ini benar-benar hendak tampil ramah dan bersahabat dengan fragmentasi pilihan politik.

Namun, rupa-rupanya idealitas semacam itu perlu pengujian lebih lanjut dalam kompleksitas ruang gerak politik. Sehingga, di sana terdapat gambaran yang komprehensif dan objektif terkait dengan gambaran ideal tersebut. Salah satu indikator untuk menguji hal demikian adalah tampilan perdana yang ditunjukkan oleh Prabowo dalam ajang perdebatan Capres. Memang perlu diakui bahwa Prabowo termasuk sosok yang terbilang agak santai dan rileks dalam menghadapi debat Capres. Tampilan perdana dalam pemaparan gagasan, visi misi dan program politiknya juga terbilang sangat luar biasa. Di sana Prabowo menjelaskan banyak hal terkait dengan topik debat dan visi misinya.

Seperti biasanya, Prabowo tampil dengan apa yang menjadi ciri khasnya selama ini, yakni tegas dan jelas dengan nada yang agak bergelora dengan kerasnya serta sesekali disertai dengan selingan atraksi gemoy-santuy. Sehingga, selain suasana ruang perdebatan seketika hening dan diam membisu bahkan agak tegang, Prabowo acapkali membuat suasana ruang perdebatan cair dan penuh canda tawa disertai dengan sorak-sorai penuh kegembiraan dan antusiasme. Begitulah di antara tampilan wajah seorang Prabowo yang dapat terbaca dan terpahami dalam acara perdebatan Capres itu. Meskipun, dirinya "diserang" kiri kanan oleh rival politik dan debatnya.

Meskipun demikian, ada beberapa catatan penting yang perlu untuk diungkapkan dalam membaca dan menjelaskan sisi-sisi lain yang ditampilkan oleh Prabowo dalam segmentasi acara perdebatan Capres itu. Sehingga, dapat dikatakan bahwa rupa-rupanya ada tampilan "wajah lain" yang ditampilkan dalam kegiatan debat Capres. Entah hal demikian diluar kendali atau memang karena di sana ada habitus tentang karakter dan mentalitas semacam itu, sehingga akan muncul seketika dalam setiap segmen yang memungkinkan. Intinya, memang pada panggung debat Capres tersebut terlihat sisi-sisi lain yang belum sempat terekspos selama ini.

Pertama; pasangan Prabowo-Gibran selama ini mengidentifikasi dan mengidentikkan dirinya sebagai "pelanjut" atau "melanjutkan" kepemimpinan rezim Jokowi. Karenanya, visi misi dan program politiknya adalah "Jokowisme". Sama dengan platform politik yang dibangun dan dikembangkan oleh PSI dengan sebutan "kami Jokowisme". Tidak sampai di situ, pasangan Prabowo-Gibran juga selalu pasang badan membela berbagai kebijakan politik Jokowi-sme sekaligus melawan dan menghantam mereka-mereka yang kontra dengannya. Pada konteks ini, pasangan Prabowo-Gibran juga secara langsung maupun tidak langsung kontra dengan pasangan AMIN.

Makanya, berbagai gagasan, visi misi dan program politik pasangan AMIN dicounter habis-habisan. Bahkan pasangan AMIN diandaikan sebagai pasangan yang begitu dikhawatirkan dalam pertarungan kontestasi politik demokrasi 2024 oleh sebab gagasan, visi misi dan program politiknya nyaris berbeda seratus persen dengan pasangan Prabowo-Gibran (dan juga pasangan Ganjar-Mahfud tentunya). Di mana pasangan AMIN mengusung gagasan, visi misi dan program politiknya bertajuk: "Perubahan Untuk Indonesia Adil dan Makmur". Sehingga, apa-apa yang menjadi kebijakan politik Jokowi-sme maupun visi misi Prabowo-Gibran dikritik dan dikoreksi oleh pasangan AMIN.

Namun, rupa-rupanya hal demikian tidak sepenuhnya benar dan dapat diterima oleh rasionalitas publik. Sebab, pada awal pemaparan gagasan, visi misi dan program politiknya, alih-alih "mengkritik" pemaparan gagasan, visi misi dan program politiknya AMIN, Prabowo malah banyak menyinggung "kelemahan" rezim Jokowi, baik aspek demokrasi, hukum, korupsi dan penegakan hukum. Sehingga, selain melanjutkan, pasangan ini secara langsung maupun tidak langsung juga "mengkritik" dan hendak melakukan "perubahan" terhadap (beberapa) kebijakan politik Jokowi-sme. Karena, memang tidak semua kebijakan politik Jokowi-sme diterima dan dilanjutkan begitu saja.

Pada kontes itu, rasa-rasanya Prabowo hendak mengatakan bahwa tidak semua kebijakan politik Jokowi-sme harus diterima dan dilanjutkan begitu saja. Di sana perlu ada kritik, koreksi dan "penyermpurnaan" (sebagaimana istilah demikian digunakan oleh pasangan Prabowo-Gibran secara berulang kali dan bergantian dalam berbagai segmentasi kegiatan politik) terhadap kebijakan politik Jokowi-sme dan kondisi kehidupan kebangsaan yang ada dalam lingkungan kekuasaan politik Jokowi selama ini. Dengan demikian, gagasan, visi misi dan program politik Prabowo-Gibran tidak jauh berbeda dengan AMIN. Perbedaan hanya beberapa aspek saja.

Paling penting untuk diungkapkan dalam kaitannya dengan itu adalah bukan hanya sama dengan gagasan besarnya pasangan AMIN, akan tetapi sangat boleh jadi pasangan Prabowo-Gibran "malu-malu" untuk mengatakan bahwa mereka juga mengusung gagasan "perubahan" dalam versi mereka. Hanya saja karena platform politik yang bernama "perubahan" sudah digunakan pasangan AMIN, sementara narasi politik yang berkembang adalah pasangan AMIN kontra dengan rezim Jokowi dan pasangan Prabowo-Gibran mendukung rezim Jokowi, maka semacam malu-malu dan alergi untuk menggunakannya. Meskipun, diakui dalam forum perdebatan Capres.

Kedua; dalam forum perdebatan tersebut nampak terlihat rupa-rupanya Prabowo beberapa kali berbicara tidak berbasiskan data yang akurat. Bukan saja dalam sesi tanya-jawab dan sanggah-menyanggah dengan Anies Baswedan, akan tetapi juga ketika berdebat dengan Ganjar Pranowo. Persoalan pertama adalah Prabowo berbicara tidak berdasarkan data ketika berdebat dengan Ganjar terkait persoalan pupuk. Di mana Prabowo mengatakan bahwa "yang saya dapat fase keliling khususnya di Jawa Tengah, Pak Ganjar, petani-petani di situ sangat sulit dapat pupuk dan mereka mengeluh dengan Kartu Tani yang bapak luncurkan. Ini mempersulit mereka dapat pupuk."

Berbeda dengan itu, Ganjar mengatakan bahwa kelangkaan pupuk tidak hanya di Jawa Tengah, melainkan juga di daerah lain seperti, Papua, Sumatera Utara, dan NTT. Selain itu, Ganjar pun mengingatkan posisi Prabowo yang sempat menjadi ketua Himpunan Kerukunan Tani Indonesia (HKTI). "Mungkin bapak sedikit agak lupa untuk saya bisa mengingatkan karena bapak pernah menjadi Ketua HKTI. Pak, data petani kita tidak pernah beres". Tidak hanya sampai di situ, Ganjar mengatakan lebih lanjut bahwa dengan kondisi semacam itu: "maka kalau kemudian satu data petani itu bisa kita kelola, maka distribusi pupuknya harus bisa sampai dan tempat sasaran."

Lantas di mana letak persoalannya? Persoalannya adalah Prabowo tidak menyajikan data secara komprehensif terkait dengan persoalan pupuk. Alih-alih hendak mengkritik dan menyerang Ganjar, rupa-rupanya Prabowo lupa bahwa persoalan pupuk tidak hanya terjadi di Jawa Tengah ketika Ganjar menjabat sebagai seorang Gubernur dengan program Kartu Taninya, akan tetapi terjadi hampir pada semua Provinsi di Indonesia . Selain itu, tanpa sadar, keduanya secara tidak langsung mengkritik problem-problem pertanian pada rezim Jokowi. Sementara itu, keduanya selalu mengidentifikasi dan mengidentikkan dirinya sebagai pelanjut rezim Jokowi-sme.

Hal serupa juga terjadi ketika seorang Prabowo berdebat dengan seorang Anies soal penanganan polusi di DKI Jakarta ketika Anies menjabat sebagai Gubernur saban hari. Di situ Prabowo mempertanyakan penggunaan anggaran DKI Jakarta yang terbilang besar itu. Indikator pertanyaan Prabowo ini mengacu secara langsung pada salah satu sampel yang diandaikan kuat dan bisa digunakan untuk "menyerang" Anies dalam forum perdebatan Capres itu. Di mana Prabowo mengatakan bahwa Anies malah gagal alias tidak dapat berbuat sesuatu yang berarti untuk mengurusi polusi ketika menjabat sebagai Gubernur DKI Jakarta dengan anggaran 80T.

Menjawab itu Anies menjelaskan kerja sains-ilmiah dan proses kerja penanganannya dalam mengatasi polusi udara di DKI Jakarta selama dirinya menjabat sebagai Gubernur. Bahkan Anies memulai dengan menganalogikan kasus Covid-19 yang sempat membuat Prabowo intrupsi. Menurut Anies, di Jakarta sudah dipasang alat pemantau polusi udara. Bila masalah polusi udara itu bersumber dari dalam kota Jakarta, maka hari ini, besok, minggu depan akan konsisten akan terus kotor, tapi apa yang terjadi? Ada hari di mana kita bersih, ada hari di mana kita kotor. Ada masa Minggu pagi Jagakarsa sangat kotor, apa yang terjadi? Polusi udara tak punya KTP, angin tak ada KTP-nya.

Tidak hanya sampai di situ, Anies juga menjelaskan bahwa angin itu bergerak dari sana ke sini. Ketika polutan yang muncul dari pembangkit listrik tenaga uap mengalir ke Jakarta maka Jakarta punya indikator, karena itu Jakarta mengatakan ada polusi udara. Ketika anginnya bergerak ke arah Lampung, ke arah Sumatera, ke arah Laut Jawa, di sana tidak alat monitor maka tidak muncul, dan Jakarta pada saat itu bersih. Namun, apa yang dijelaskan oleh Anies itu malah disikapi dengan nada "tantrum" dan mengatakan bahwa "jadi saya kira gampang menyalahkan angin, hujan dan sebagainya ya mungkin tidak perlu ada pemerintahan kalau begitu."

Ketiga; catatan paling penting adalah respon yang diberikan oleh Prabowo dalam perdebatannya dengan Anies. Di sana terdapat beberapa problem fundament dan bahkan sangat fatal, sebuah problem yang dipertontonkan secara telanjang dan vulgar di depan publik Indonesia. Sebab, problem tersebut dilakukan oleh seorang calon pemimpin bangsa dan juga pengusung platform politik yang bernama "gemoy-santuy". Harusnya seorang calon pemimpin tidak hanya terkenal dengan kecerdasan intelektual dan pengalamannya dalam berbagai kepemimpinan publik, tetapi paling penting adalah memberikan ketauladanan dalam kebaikan pada umumnya.

Rupa-rupanya hal demikian tidak sepenuhnya ditemukan dalam forum perdebatan Capres perdana itu. Beberapa kali seorang Prabowo menunjukkan sesuatu yang sama sekali tidak mencerminkan platform politik gemoy-santuy yang selama ini dikempanyekan di mana-mana. Di mana pada forum perdebatan Capres perdana itu rupa-rupanya platform politik gemoy-santuy berubah seketika, berubah hampir seratus delapan puluh derajat. Karena, Prabowo merespon perbedaan paham dan artikulasinya dalam perdebatan dengan kata-kata dan ekspresi gesture tubuh yang tidak pantas; tidak pantas untuk dilakukan oleh orang sekelas Prabowo dan calon pemimpin.

Problem pertama adalah panggilan berkali-kali yang dialamatkan kepada Anies. Panggilan "Anies, Anies, Anies" dengan agak panjang adalah panggilan yang mengandaikan Anies bagaikan seorang "anak kecil" dan "tidak ada apa-apanya". Bisa juga bermakna apa yang disampaikan Anies adalah salah, jauh dari objektivitas dan rasionalitas. Bahkan panggilan semacam itu juga bisa diandaikan sebagai bagian dari mengejek seorang Anies. Sebab, panggilan semacam itu tidak relevan dengan perdebatan bahkan tidak dibutuhkan panggilan semacam itu dalam ruang-ruang perdebatan. Jika tidak sepakat dengan lawan debat, maka kritik saja apa yang menjadi substansi masalahnya.

Tidak sampai di situ. Nampak terlihat juga rasa-rasanya Prabowo juga tidak sungkan-sungkan "mengejek" Anies dengan ekspresi gesture bahasa tubuh. Ejekan ini berlangsung ketika seorang Anies sementara memberikan penjelasan terkait dengan apa yang menjadi pertanyaan dan sanggahan Prabowo. Padahal Anies Baswedan menjelaskan dengan lemah lembut dan sambil senyum yang merupakan karakter otentiknya selama ini. Seharusnya sebagai seorang tokoh nasional, negarawan dan calon pemimpin bangsa memberikan contoh yang baik dengan mendengar apa yang disampaikan lawan dengan sikap saling menghormati, bukan malah sebaliknya.

Karena, respon tidak pantas itulah kemudian netizens Indonesia mengandaikan bahwa platform politik gemoy-santuy hanya sebuah gimik politik kosong tanpa pesan apa-apa. Bahkan platform politik semacam itu hanya sebagai sebuah "kamuflase politik elektoral" (meskipun banyak lembaga survei mengandaikan bahwa platform politik tersebut tidak begitu signifikan mendongkrak elektabilitas politiknya).  Bahkan banyak pula netizens Indonesia mengandaikan bahwa laku dan Lokon politik semacam itu mengubah wajah politik gemoy-santuy menjadi wajah politik tantrum dan sentimen-emosional. Dan masih banyak lagi pengandaian lainnya.

Meskipun demikian, loyalitas dan fanatikus Prabowo tampil di mana-mana untuk memberikan klarifikasi tentang apa yang dilakukan oleh jagoannya. Tidak hanya soal kemampuan dan keluarbiasaanya dalam berdebat, tetapi juga soal beberapa tampilan yang tidak pantas yang ditunjukkan oleh seorang Prabowo. Sampai-sampai mereka mengatakan bahwa Prabowo tidak mau menyerang lawan debatnya. Bahkan sudah disampaikan sebelum debat pun juga Prabowo menolaknya. Karena, Prabowo merupakan sosok kesatria, negara, mudah memaafkan dan tidak pendendam, mengakomodir lawan-lawan politiknya dan lain sebagainya.

Namun, tim horenya Prabowo rupa-rupanya lupa bahwa memamg benar adanya kalau-kalau seorang Prabowo tidak menyerang lawan debat. Malahan kenyataannya Prabowo diserang kiri kanan oleh lawan debat, menyerang dengan bangunan argumentasi tentunya. Itu fakta. Akan tetapi, Prabowo malah menyerang lawan debat dengan kata-kata dan ekspresi gesture bahasa tubuh yang tidak pantas sama sekali. Bila dibandingkan menyerang lawan debat dengan kata-kata disertai data dan argumentasi yang kuat, malah masih jauh lebih fatal dari menyerang dengan kata-kata dan ekspresi gesture bahasa tubuh yang mengejek.

Ternyata semuanya semakin terang setelah perdebatan Capres perdana. Di mana ada insiden lain yang menjawab semua pledoi moral dan politik tim horenya. Koran Tempo melansir sebuah berita yang bertajuk "Prabowo Diam-diam Sindir Anies dan Bilang Ndasmu Etik, Timnas AMIN: Etika Tidak Dijunjung Tinggi". Berita ini hendak menjelaskan respon Tim AMIN terhadap sindiran kata "ndasmu etik" kepada Anies. Namun, point yang mau disampaikan adalah bahwa ternyata Prabowo yang dibilang tidak suka menyerang lawan (debatnya) malah diam-diam menyerang lawan (debatnya) dengan kata "ndesmu etik". Baru serangan dan sindiran itu bukan dilakukan diruang debat.

Itulah problemnya. Selama ini tokoh-tokoh nasional selalu berbicara tentang Pancasila dan cenderung mengkampanyekan "Pancasila Harga Mati" dengan melakukan apa yang dinamakan dengan "pengarusutamaan Pancasila dalam segenap segmentasi kehidupan berbangsa". Bahkan Pancasila dijadikan juga sebagai "standar nilai" dalam membaca dan menyikapi pelbagai ragam realitas yang muncul dalam sendi-sendi kehidupan kebangsaan. Tidak sampai di situ, Pancasila juga acapkali dijadikan sebagai "stempel basah" dan "palu Godam" dalam membaca dan menyikapi realitas. Makanya, atas nama Pancasila banyak Paham dibasmi dan dibumihanguskan.

Moderasi agama yang kini gencar-gencarnya dilakukan oleh rezim Jokowi maupun rezim sebelumnya juga pada sesungguhnya tidak memiliki jarak yang jauh dengan paradigma politik kebangsaan yang hendak menjadikan Pancasila sebagai sistem nilai untuk semua. Bukan saja dalam urusan kebangsaan dan kenegaraan (mencakup hukum, ekonomi, politik, demokrasi, HAM, pembangunan SDM, dan seterusnya), akan tetapi masalah keagamaan pun kini (rasa-rasanya) mulai juga dibaca dan didekati dengan perspektif Pancasila. Karena, konon di sana banyak paham-paham keagamaan yang diproduksi oleh masyarakat yang tidak sejalan dengan prinsip dan spirit Pancasila.

Sebenarnya dalam konteks-konteks tertentu tidak ada salahnya juga dengan logika semacam itu. Meskipun, belum tentu juga benar adanya. Namun, problemnya ternyata tokoh-tokoh nasional yang selalu berbicara tentang pentingnya Pancasila dalam kehidupan berbangsa dan bernegara belum sepenuhnya jujur dengan Pancasila. Sebab, banyak lakon yang dipertontonkan oleh kaum Pancasila-isme malah tidak sejalan dengan prinsip dan spirit Pancasila itu sendiri. Terjadi paradoks dan kontradiksi tidak beraturan antara klaim dengan fakta-fakta riil di lapangan. "Saya Pancasila-isme" dan "Pamcasila Harga Mati" tidak lebih hanya klaim dan bualan kosong.

Ambil saja beberapa prinsip dan spirit penting dari Pancasila untuk membaca laku dan lakon politik kebangsaan yang dipertontonkan banyak tokoh-tokoh politik maupun lainnya. Di antara prinsip dan spirit Pancasila adalah membangun kemanusiaan yang adil dan beradab dalam semua segmentasi kehidupan kebangsaan. Prinsip dan spirit ini mengharuskan semua anak bangsa, khususnya mereka-mereka yang dikatakan sebagai politisi, pejabat publik dan juga mereka-mereka yang hendak menjadi calon pemimpin bangsa, untuk menjadi manusia yang adil dan beradab. Dengan kata lain, tidak menghendaki sama sekali ada kemanusiaan yang zalim dan biadab.

Konsepsi kemanusiaan yang adil dan beradab berlaku dalam semua konteks kehidupan kebangsaan. Tidak hanya berlalu dalam kondisi normal saja. Akan tetapi, berlaku pula dalam kehidupan yang tidak normal sekalipun. Kehidupan normal dimaksud mencakup kehidupan yang rukun, damai santoso, aman, damai, saling menghargai dan menghormati dan lainnya. Sementara kehidupan tidak normal dimaksud adalah kehidupan jauh dari hal-hal demikian. Termasuk dalam kategori kehidupan tidak normal adalah ketika memasuki tahun kontestasi politik. Karena, di sana terjadi fragmentasi politik bahkan sampai terjadi polarisasi dan segregasi sosial antar sesama anak bangsa.

Adalah sesuatu yang terbilang biasa-biasa saja manakala kemanusiaan yang adil dan beradab berlaku dalam kehidupan yang normal. Lebih luar biasa lagi kalau-kalau prinsip dan spirit tersebut tetap berlaku juga ketika terjadi fragmentasi pilihan politik, terjadi silang pendapat, polarisasi sosial dan politik maupun lainnya. Artinya, prinsip dan spirit Pancasila benar-benar menyata bagi seseorang manakala menghadapi fragmentasi paham dan pilihan politik dengan keadilan dan keadaban, yakni menyikapi dengan tenang, lembut, santai, sopan santun, saling menghargai. Namun, ketika tiba-tiba berubah menjadi tantrum, maka itu sudah pasti tidak Pancasilais.

*Calon Pemimpin Berwajah Sat Set*

Awalnya dikira bahwa platform politik yang diperkenalkan dan dipopulerkan pasangan Ganjar-Mahfud adalah "nge-gas". Sebab, pernah membaca beberapa berita yang mengandaikan semacam itu. Namun, pengandaian semacam itu langsung terkonfirmasi manakala menyaksikan secara langsung forum perdebatan Capres perdana. Di sana Ganjar memperkenalkan platform politiknya yang bernama "sat set". Hal demikian diperkenalkan semenjak keduanya, Ganjar-Mahfud, memasuki ruang perdebatan. Keduanya memberikan kode tiga dengan menggunakan jari sambil memperkenalkan kata "sat set" yang berada pada tulisan depan dan belakang baju.

Platform politik sat set ini nyaris sama dengan platform politik gemoy-santuy. Persamaannya terletak pada sama-sama memperkenalkannya secara langsung platform politik tersebut sebagai bagian dari platform politik mereka. Tentunya, hal demikian berbeda dengan "wajah intelek-retoris" yang dialamatkan kepada Anies Baswedan. Istilah tersebut lebih merupakan rumusan sendiri ketika membaca tampilan Anies Baswedan dalam setiap ruang-ruang politik dan lainnya. Selain juga memang publik Indonesia pada umumnya mempredikasi Anies dengan sebutan semacam itu. Bahkan ada Capres-cawapres berkali-kali menyindir Anies dengan istilah tersebut.

Dengan demikian, penggunaan "sat set" sebagai identifikasi wajah calon pemimpin dalam konteks ini secara langsung dialamatkan kepada pasangan Ganjar-Mahfud. Artinya, pasangan Ganjar-Mahfud memperkenalkan diri dan maupun hendak dikenal publik Indonesia dengan platform politik yang bernama sat set tersebut. Tentunya, terlepas dari rancang bangun konsep yang sebenarnya dibalik dari penggunaan istilah tersebut. Pun juga terlepas dari apa dan bagaimana hubungan korelatifnya dengan apa yang menjadi gagasan besar, visi misi dan program politiknya pasangan Ganjar-Mahfud yang dipaparkan oleh Ganjar pada forum perdebatan tersebut.

Lagi-lagi, intinya mau menegaskan bahwa "wajah sat set" adalah wajah calon pemimpin yang dialamatkan kepada pasangan Ganjar-Mahfud. Wajah semacam itulah yang akan digunakan dalam mengidentifikasi tampilan Ganjar pada acara perdebatan Capres perdana itu. Namun, sama seperti pasangan Anies-Muhaimin dan Prabowo-Gibran sebelumnya di atas, perlu segera untuk ditegaskan di sini bahwa penggunaan istilah "wajah sat set" untuk pasangan Ganjar-Mahfud bukan berkonotasi bahwa Ganjar-Mahfud tidak (terkenal) "intelek-retoris" dan "gemoy-santuy", akan tetapi hanya sekedar menggunakan istilah yang dipopulerkan oleh pasangan Ganjar-Mahfud.

Sebab, sangat boleh jadi pasangan Ganjar-Mahfud juga terkenal dengan wajah intelek-retoris dan gemoy-santuynya. Dari karir dan jenjang pendidikan yang dimiliki oleh pasangan Ganjar-Mahfud rasa-rasanya sulit kalau tidak mengatakan bahwa keduanya juga memang terkenal sisi-sisi intelek-retorisnya. Lebih-lebih lagi kalau sosok seorang Mahfud MD. Beliau adalah seorang profesor yang memiliki banyak jabatan mentereng dan memiliki segudang prestasi. Beliau juga terkenal sebagai mantan aktivis salah satu organisasi ternama dan berpengaruh sejagat Indonesia. Bahkan lisannya begitu fasih berbahasa Arab dan berbahasa Inggris. Nyaris sama dengan Anies.

Begitu pula halnya Ganjar. Melihat tampilan pada forum perdebatan Capres maupun pada forum-forum lainnya rasa-rasanya tidak diragukan lagi untuk mengatakan bahwa Ganjar juga terkenal dari sisi-sisi intelek-retorisnya. Pada forum perdebatan Capres itu Ganjar berbicara dengan basis intelek-retoris, mengalir dengan cepat dan apiknya. Lagi-lagi, sama dengan Anies Baswedan. Bahkan pada ruang perdebatan itu Ganjar juga menampilkan sebuah ekspresi bahasa tubuh dengan artikulasi yang terbilang begitu dahsyat. Seolah-olah Ganjar tengah menampilkan sebuah ekspresi pembacaan puisi di depan para dewan penguji.

Pada konteks itu, rasa-rasanya bingung sendiri dengan sindiran yang dialamatkan kepada Anies. Anies disindir dengan sebutan calon pemimpin bangsa yang hanya jago membuat narasi dan argumentasi dengan balutan retorika. Entah apanya yang dipersoalkan dari sisi-sisi intelek-retorisnya Anies. Padahal calon pemimpin lain juga memiliki sisi-sisi intelek-retorisnya sesuai dengan tingkat kemampuan masing-masing. Apakah Anies hanya sekedar jago secara intelek-retoris dan nonsense secara aplikatif (kerja, karya dan rekam jejak)? Rasanya lebih tidak mungkin lagi. Karena, Anies adalah perpaduan otentik dan harmonis antara apa yang dikatakan dan apa yang dilakukan.

Selain itu, sama dengan Anies, Ganjar juga dikenal dengan sisi-sisi gemoy-santuynya. Namun, Ganjar memiliki konsep dan artikulasi tersendiri dalam menterjemahkan gemoy-santuy dalam kerja-kerja politik. Malahan kadang Ganjar menampilkan sisi-sisi yang paling kocaknya ketika bertemu dan menyapa masyarakat. Di mana Ganjar terbilang juga murah senyum dan kadang juga ketawa-ketiwi tidak karuan. Yah. Sisi-sisi kemanusiaan semacam itu nyaris bisa dilakukan oleh semua orang. Tidak hanya mereka-mereka yang mengusung dan memperkenalkan gemoy-santuy sebagai bagian dari platform politiknya. Karena, untuk bisa joget dan senyam-senyum tidak perlu ilmu khusus.

Maka, "wajah sat set" bagi Ganjar-Mahfud adalah sebuah konsep dan platform politik yang menghendaki agar adanya gerak cepat dalam berbangsa dan bernegara. Jika diterjemahkan dalam keseluruhan rancang bangun politik Ganjar-Mahfud, maka wajah sat set bermakna gerak cepat dalam merumuskan gagasan, visi misi dan program politiknya menuju "Indonesia Unggul". Bisa juga gerak cepat menyelamatkan Indonesia dari cengkraman politik dinasti, oligarki politik hingga "neo orba". Bisa juga bermakna gerak cepat membela hak-hak masyarakat. Bisa juga bermakna gerak cepat mengawal demokrasi, supremasi hukum, Marwah KPP, HAM dan seterusnya.

Itulah mengapa grand visi misi politiknya Ganjar-Mahfud adalah "Gerak Cepat Indonesia Unggul". Dengan visi misi tersebut lantas kemudian Ganjar-Mahfud mendeklarasikan diri sebagai pelanjut titah kekuasaan rezim Jokowi(-sme). Meskipun, Jokowi sendiri tidak mendukungnya. Bahkan Jokowi malah bermanuver dengan PDI P dan Megawati sebagai partai dan ketua yang telah membesarkannya hingga menjadi Presiden dua periode berturut-turut. Tidak sampai di situ. Keluarga Jokowi juga malah memilih jalur lain, tidak mendukung Ganjar-Mahfud. Lagi-lagi, padahal mereka berasal dari keluarga besar PDI P. Bahkan Gibran malah memilih menjadi Cawapresnya Prabowo.

Itulah secuil "prahara politik" yang kini tengah menerpa perahu politik besar dan berpengalaman, yakni PDI P. Bahkan "prahara politik" itu menggelinding dan membias ke sana ke mari bak "bola liar" hingga tanpa sadar mempengaruhi juga kurva elektabilitas politik pasangan Ganjar-Mahfud. Sebab, "prahara politik" demikian membuat banyak loyalis dan fanatikus Jokowi meninggalkan PDI P dan pasangan Capres-cawapres yang diusungnya. Di sanalah ada "bonus elektabilitas politik" besar-besaran untuk pasangan Prabowo-Gibran. Begitulah sabda lembaga survei tentang efek lanjutan dari "deportasi pilihan politik" akibat terjadi "prahara politik" di tubuh PDI P.

Mungkin juga karena "prahara politik" semacam itu sehingga membuat Ganjar tidak begitu jelas dan tegas dalam memposisikan diri dalam ruang perdebatan Capres perdana itu. Itulah kesan pertama muncul manakala melihat pemaparan gagasan, visi misi dan program politiknya beserta rangkaian proses perdebatan yang berlangsung di dalamnya. Di situ rupa-rupanya sisi intelek-retoris seorang Ganjar tidak dimaksimalkan untuk meyakinkan publik bahwa mereka sebagai pelanjut titah kekuasaan rezim Jokowi bukan hanya sekedar klaim politik tanpa bukti nyata. Meminjam istilah Kaseang, sang Ketua PSI yang super kilat itu, bahwa posisinya Ganjar tidak jelas.

Ya. Ketika menyaksikan pemaparan gagasan, visi misi dan program politik yang disampaikan Ganjar dalam forum perdebatan nampak terlihat bahwa posisi Ganjar tidak jelas; apakah pelanjut titah kekuasaan politik rezim Jokowi atau malah menjadi oposisi yang mengusung perubahan dan perbaikan. Sebab, di satu sisi Ganjar mengidentifikasi dan mengekspos beberapa problem yang terjadi beberapa tahun belakangan ini, khususnya pada rezim Jokowi, namun pada sisi lain malah tidak ada penegasan posisi terkait dengan apa yang disampaikan. Bahkan lucunya Ganjar dan Prabowo saling membuka "kartu rezim" dalam debat soal pupuk.

Tabik, 17 Desember 2023 |***|

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
  7. 7
  8. 8
Mohon tunggu...

Lihat Konten Analisis Selengkapnya
Lihat Analisis Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun