Azis Maloko
Menjelang masa kempanye politik masing-masing Capres-cawapres yang berlaga pada kontestasi politik 2024, suasana atmosfer politik kian memanas. Karena, masing-masing Capres-cawapres nampaknya saling bermain dan berbalas "pantun" antar satu dengan lainnya. Menyusul kemudian sahutan pantun yang dilayangkan masing-masing loyalis. Bukan "pantun apresiatif" Cak Imin dan Mahfudz MD ketika memberikan sambutan dalam acara pengundian dan penetapan nomor urut masing-masing Capres-cawapres yang berujung pada pelaporan oleh lembaga P3K ke Bawaslu karena konon di dalamnya ada unsur kempanye belum pada saatnya (baca: di sini).
Akan tetapi, "pantun kritik" terhadap visi-misi dan program masing-masing Capres-cawapres. Salah satunya adalah merespon soal opini Cawapres "anak haram konstitusi" dalam istilah kompas dan "potong jalan, potong kompas dan potong konstitusi" dalam istilah Anies Baswedan. Pantun tersebut membias dan menggelinding ke mana-mana hingga melahirkan polemik dan diskursus lanjutan tentang hakikat pemuda sebenarnya, supremasi hukum, komitmen reformasi dan nilai-nilai demokrasi, cawe-cawe politik, netralitas dan keamanan pelaksanaan Pemilu hingga pada istilah "neo orba" yang dipopulerkan oleh kubu Ganjar-Mahfud.
Secara tidak langsung, polemik dan diskursus semacam itu mengarah pada masalah syarat dan kriteria ideal bagi calon pemimpin bangsa. Namun, publik malah lebih asyik dengan hal-hal yang bersifat insidentil ketimbang hal-hal yang bersifat substansial dan fundamental. Sehingga, melalui tulisan ini akan didiskusikan hal ihwal terkait dengan menggunakan "perspective" kata AMIN. Terdapat kurang lebih tiga topik penting yang akan diturunkan untuk didiskusikan secara bersama, yaitu 1) mendudukkan kembali penggunaan kata AMIN; 2) dan AMIN sebagai kriteria ideal bagi calon pemimpin bangsa. Plus epilog tentang hakikat memilih pemimpin bangsa.
Mendudukkan Kembali Penggunaan Kata AMIN
Semenjak kata AMIN menjadi identitas politik salah satu pasangan Capres-cawapres, kata AMIN menjadi begitu familiar oleh sebab menggema hampir di mana-mana. Tidak hanya di dikanal media sosial, tetapi santer menjadi topik percakapan oleh pelbagai kalangan, hatta kalangan masyarakat biasa sekalipun. Hingga tanpa sadar kata AMIN mulai membias dan masuk dalam berbagai horizon dan segmentasi kehidupan masyarakat pada umumnya. Entah karena kata AMIN menjadi identitas politik dan massive digaungkan dan digemakan di mana-mana atau ada unsur lain. Sehingga perlu kiranya mendudukkan kembali penggunaan kata AMIN.
Setidaknya kata AMIN dikenal dengan beberapa penggunaan dalam kehidupan kita, yaitu:
Pertama; AMIN sebagai doktrin dan narasi teologis dalam agama dan ajaran Islam. Kategori AMIN ini mengandaikan bahwa ternyata penggunaan kata AMIN memiliki jejak yang begitu kuat dalam salah satu doktrin dan narasi teologis agama dan ajaran Islam. Dalam Islam setidak-tidaknya dikenal tiga bentuk pembacaan dan penggunaan kata AMIN. Pembacaan kata AMIN pertama adalah (amin). Pembacaan pertama ini sama persis dengan kata AMIN yang digunakan dalam tulisan ini, yakni tidak ada huruf panjang di sana, baik huruf (alif), huruf (min) maupun huruf (nun). Sehingga, makna yang diinginkan dari kata ini di antaranya adalah aman, damai dan selamat.
Pembacaan kata AMIN selanjutnya adalah (amn). Pembacaan kedua ini sudah berbeda dengan pembacaan kata AMIN pertama. Letak perbedaannya berada pada huruf (min), karena dimasukkan huruf (ya) mati. Sehingga, pola pembacaan kata AMIN kedua ini adalah memanjangkan huruf (mim) dengan minimal satu harakat. Dengan demikian, makna yang diinginkan dari kata berbeda dengan kata . Di antara makna kata adalah jujur, terpercaya, setia dan loyal. Kata inilah sebagai julukan yang diberikan masyarakat Quraisy terhadap Nabi Muhammad saw. karena dikenal luas sebagai sosok manusia yang paling jujur dan terpercaya.
Pola pembacaan kata AMIN terakhir adalah (mn). Lagi-lagi, pola pembacaan kata AMIN ketiga ini jauh berbeda dengan kata (amin) dan (amn) sebelumnya. Jika sebelumnya perbedaan pembacaan hanya pada satu huruf, yakni huruf (mim) karena dimasukkan huruf (ya) mati. Maka, perbedaan pembacaan ketiga ini terdiri dari dua huruf, yaitu huruf (alif) dan huruf (mim). Huruf alif dibaca panjang dengan menggunakan satu sampai empat harakat, sementara huruf mim juga dibaca panjang minimal satu harakat. Sehingga, makna kata adalah sebuah permintaan untuk mengabulkan doa dan munajat yang dipanjatkan, "kabulkan doa kami".
Dengan demikian, pembacaan terhadap kata AMIN berbeda-beda dalam Islam, sekaligus memiliki makna masing-masing antara satu dengan lainnya. Tentunya, pola pembacaan demikian berbeda dengan pola pembacaan dalam bahasa Indonesia. Karena, bahasa Indonesia memang tidak mengenal pola pembacaan panjang pendek terhadap sebuah kata. Juga tidak dinafikan pula bahwa memang bahasa Indonesia memiliki keterbatasan dalam mengadopsi dan menggunakan bahasa Asing semacam bahasa Arab, misalnya. Contohnya adalah penggunaan kata AMIN di Indonesia bisa sebagai nama orang sekaligus dalam doa dan shalat.
Tentunya, penggunaan kata AMIN sebagai nama orang dan AMIN dalam doa maupun shalat berbeda maknanya. Tidak mungkin sama maknanya. Lagi-lagi, meskipun cuman satu kata saja, yakni kata AMIN. Terlepas dari fakta bahwa satu kata kadang memiliki banyak makna. Kalau penggunaan kata AMIN sebagai nama bermakna terpercaya dan aman. Sementara penggunaan kata AMIN dalam doa dan shalat bermakna permohonan agar segala doa dan pinta dikabulkan oleh Allah SWT. Aneh bin ganjil rasanya jika makna keduanya terbalik. Misalnya, AMIN sebagai nama bermakna permohonan pengabulan doa, sementara AMIN dalam doa dan shalat bermakna terpercaya dan aman.
Perlu digarisbawahi dan dicatat dengan tinta tebal bahwa pola pembacaan kata AMIN ketiga itulah yang seringkali dibaca dan diucapkan oleh umat Islam dalam setiap doa dan munajatnya serta kurang lebih tujuh belas rakaat sehari semalam dilakukan dalam shalat lima waktu ketika selesai membaca surah al-fatihah. Artinya, meskipun kita tidak suka dan sepakat dengan pasangan AMIN misalnya, jangan sampai membuat kita tidak lagi berdoa dan shalat, lebih khususnya lagi tidak membaca AMIN dalam doa dan shalat. Apalagi karena sentimen dan phobia (akut) sampai-sampai membuat kita mengeluarkan fatwa haram membaca AMIN dalam doa dan shalat.
Kedua; AMIN sebagai nama orang. Penggunaan kata AMIN pada kategori dan konteks ini terbilang cukup familiar dalam kehidupan kita. Sebab, cukup banyak nama orang (khususnya dalam Islam) yang menggunakan kata "AMIN". Bukan saja di Indonesia, tetapi skala dunia juga cukup akrab menggunakan nama AMIN. Karena, memang nama AMIN termasuk salah satu nama yang menjadi habitus masyarakat muslim (dan sangat bisa saja masyarakat lainnya) dalam memberikan nama bagi anak-anaknya. Apalagi nama AMIN memiliki makna yang cukup bagus sebagai doa, asa dan sugesti moral dan spiritualitas orang tua dalam mengikhtiarkan masa depan anak-anaknya.
Skala dunia kita kenal ada seorang ulama genius dan tersohor berkebangsaan Mouritania Afrika yang bernama Syaikh Muhammad Amin asy-Syinqithi, sang penulis kitab Tafsir Adwa' al-Bayan. Sementara di Indonesia, penggunaan nama AMIN tidak bisa dihitung jumlahnya. Wakil Presiden RI periode 2018-2019 juga ada nama Aminnya. Nama lengkapnya adalah Ma'aruf Amin. Tentu sosok Ma'ruf Amin tidak asing lagi dalam memori ingatan kolektif dan juga percakapan publik kita. Sebab, Amin ini adalah Wapres RI. Adalah aneh bin ganjil manakala kita tidak mengenal Wakil Presiden kita. Apalagi sebelum menjadi Wapres sosok Ma'aruf Amin juga cukup familiar bagi bangsa Indonesia.
Di kampung kami, Lamakera -- Flores Timur, termasuk cukup banyak orangtua memberikan nama anaknya dengan nama AMIN. Bahkan masyarakat Lamakera, khususnya tempo doloe (karena pemberian nama anak sekarang mengalami shifting yang luar biasa), memberikan nama anaknya dengan nama-nama Islam semua. Meskipun, masyarakat Lamakera terbilang sebagai masyarakat biasa-biasa saja. Salah satu teman bermain bola kami waktu kecil dulu bernama Amin, biasa dipanggil dengan nama Amin Kise. Salah satu junior kami di MTs Lamakera dan MAN 1 Talasalapang-Makassar serta salah satu organda juga namanya Amin, biasa dipanggil dengan nama Amin Jordy.
Ketiga; AMIN sebagai salah satu singkatan bagi pasangan Capres-Cawapres yang berlaga pada kontestasi Pemilu 2024. Kategori AMIN ini bukan hendak dikait-kaitkan dan dikawinkan secara paksa dengan singkatan AMIN yang digunakan oleh pasangan Anies-Muhaimin, akan tetapi memang karena pada kenyataannya memang nama AMIN ini digunakan juga oleh pasangan Anies-Muhaimin. Tentunya, penggunaan singkatan AMIN lahir belakangan bila dibandingkan dengan kategorisasi AMIN pada pembahasan sebelumnya. Sehingga, narasi seputar ini hanya sekedar mengkonstruksi fakta dan gagasan terkait kriteria ideal calon pemimpin bangsa Indonesia ke depannya.
Dengan kata lain, narasi seputar ini sama sekali tidak ada kaitannya dengan kecenderungan politik, apalagi hendak mengkampanyekan pasangan Capres-Cawapres tertentu. Tentunya, tidak dalam konteks itu. Meskipun, pembaca punya penafsiran dan kesimpulan tersendiri di dalamnya. Namun, pola pembacaan demikian dimaksudkan untuk memberikan perspective baru dalam memahami kata AMIN dalam horizon diskursus keilmuan yang agak lebih luas jangkauannya. Bahwa ternyata kata AMIN bukan semata kata yang digunakan sebagai identitas politik bagi salah satu pasangan Capres-cawapres yang hendak berlaga pada kontestasi Pemilu 2024.
AMIN sebagai Kriteria Ideal Calon Pemimpin Bangsa
Sebelumnya sudah dijelaskan hal ihwal terkait dengan penggunaan kata AMIN dalam kehidupan sehari-hari. Di sana disebutkan tiga bentuk penggunaan kata AMIN itu, mulai dari penggunaan kata AMIN sebagai bagian integral dari doktrin dan narasi teologis dalam Islam serta penggunaan AMIN sebagai nama orang hingga pada penggunaan AMIN sebagai singkatan bagi salah satu pasangan Capres-cawapres yang ikut berlaga pada kontestasi politik 2024. Namun, di sini akan dijelaskan aspek lain dari penggunaan kata AMIN itu sendiri. Di sini pula perlu diakui bahwa kata AMIN memiliki bentuk penggunaan yang banyak dalam pembendaharaan kosakata kita.
Aspek lain dimaksud adalah kata AMIN digunakan sebagai kriteria dan indikator ideal bagi calon pemimpin bangsa Indonesia ke depannya. Dengan kata lain, bukan kata AMIN sebagai singkatan bagi salah satu pasangan Capres-cawapres yang hendak berlaga pada kontestasi politik 2024. Memang sepintas lalu membaca judul tulisan dan lebih khusus lagi sub judul ini langsung terlintas bahwa AMIN yang dimaksud sebagai kriteria dan indikator ideal bagi calon pemimpin bangsa adalah AMIN yang menjadi salah satu pasangan Capres-cawapres itu. Meskipun sah-sah saja jika ada yang membacanya dari aspek tersebut. Namun, maksud yang diinginkan tidak demikian halnya.
Sehingga, nampak jelas aspek perbedaan antara masing-masing penggunaan kata AMIN. Di mana maksud kata AMIN pada sub pembahasan ini adalah kata AMIN sebagai singkatan dari beberapa point penting terkait kriteria dan indikator ideal bagi calon pemimpin bangsa. Tentunya, point-point penting dimaksud terpahami dan terhayati secara langsung dari masing-masing hurufnya dengan melakukan pembacaan elaboratif-kritis (objektif, rasional dan proporsional) terhadap teks pada satu sisi dan konteks pada sisi lainnya. Berikut ini akan dijelaskan point-point yang kriteria dan indikator ideal calon pemimpin bangsa dalam rumusan kata AMIN dimaksud, yaitu:
Pertama; Amanah. Huruf A pada kata AMIN dalam konteks ini diterjemahkan dengan kata "amanah". Tentunya, bisa juga kita menggunakan terjemahan (positif) lainya. Misalnya, akuntabel, adil, dan lainnya. Semuanya sah-sah saja. Bahkan semuanya akan dielaborasi dengan sedemikian rupa untuk memberikan gambaran keseluruhan dari kriteria positif dari huruf "A" itu.. Meskipun, huruf A secara khusus diterjemahkan dengan kata amanah dan dijadikan sebagai kata kuncinya. Karena, kata adil, akuntabel dan lainnya pada sesungguhnya sudah tercover dan terakumulasi dalam keseluruhan dan kedalaman makna dari kata amanah itu sendiri.
Tentunya, semua kita nampaknya sepakat satu kata bahwa salah satu kriteria ideal bagi calon pemimpin bangsa Indonesia ke depannya adalah amanah. Saya kira tidak ada silang pendapat di dalamnya (mukhtalaf fihi). Sebab, amanah menjadi kriteria dan indikator dalam mengukur kohorensi (keserasian) antara apa yang menjadi perkataan (baca: janji-janji manis politik) dengan perbuatan dan kenyataan ketika seseorang didapuk menjadi pemimpin bangsa. Sekiranya, kriteria amanah tidak begitu penting bagi calon pemimpin bangsa niscaya calon pemimpin bangsa akan mengobral dan mengumbar janji seenaknya dan seenaknya pula untuk tidak melakukannya.
Saking pentingnya kriteria amanah dalam kepemimpinan bangsa, maka tidak jarang ditemukan di lapangan orang-orang yang terkenal tidak amanah dan atau tidak mau peduli sama sekali tentang politik sekalipun pasti akan sepakat jika amanah dijadikan sebagai kriteria dan indikator dalam memilih calon pemimpin bangsa. Bahkan (sangat boleh jadi) calon pemimpin yang tidak amanah sekalipun akan sepakat juga dengan kriteria tersebut dan pasti akan mempersonifikasi dirinya sebagai satu-satunya sosok calon pemimpin yang amanah sambil menuduh calon pemimpin lain tidak amanah, baik dilakukan secara terang-terangan melaui kempanye politik maupun dibalik layar.
Meskipun, tidak dinafikan pula bahwa masih ada juga calon pemimpin yang memang sudah jauh-jauh hari terkenal sebagai sosok yang amanah, baik sebelum menjabat maupun saat dan setelah menjabat, tidak mau sama sekali mengobral dan mengumbar kata amanah sebagai bagian dari karakter inhernnya, apalagi hendak mengkapitalisasi dan mempolitisirnya sebagai bagian dari kempanye politik untuk memanipulasi psikologi publik agar bisa memilih dan memenangkannya dalam kontestasi politik. Sosok pemimpin semacam ini terbilang langka di tengah-tengah krisis (moral) kepemimpinan bangsa dan tentunya sangat diharapkan untuk mengisi ruang-ruang kosong yang ada.
Lalu, apa sebenarnya hakikat amanah sebagai kriteria dan indikator ideal bagi calon pemimpin ke depannya? Dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia, kata amanah diartikan dengan tiga pengertian, yaitu 1) orang yang dapat dipercaya; 2) makanya diberikan dan atau dititipkan sesuatu kepadanya, dan 3) karena apa-apa yang dipercayakan kepadanya pasti aman, tentram dan bahagia. Dengan kata lain, pengertian amanah ini mengandaikan bahwa seorang calon pemimpin bangsa Indonesia ke depannya harus benar-benar terpercaya. Sehingga, masyarakat merasa aman, tentram dan bahagia ketika hendak memberikan hak suaranya terhadap mereka dalam kontestasi politik.
Dalam Islam, kata amanah maknanya juga tidak jauh berbeda dengan makna dalam Bahasa Indonesia. Di mana secara kebahasaan, kata amanah merupakan bentuk mashdar dari kata kerja amina - ya`manu -- amnan - wa amanatan yang memiliki makna aman, tenang dan tentram. Berbeda dengan itu, dalam Kamus al-Mawwir dijelaskan bahwa kata amanah bermakna segala (bentuk) perintah Allah terhadap hamba-hambanya. Pengertian kedua ini semakin membuka horizon makna kata amanah itu sendiri. Sehingga, maknanya terkait dengan apa-apa yang menjadi perintah Allah (dan Rasul-Nya). Termasuk perintah adalah jujur, adil, akuntabel dan lainnya.
Untuk lebih lanjut lagi kita bisa pahami horizon makna amanah dalam hadis. Salah satu hadis yang cukup familiar berbicara amanah adalah hadis tentang tiga tanda orang-orang munafik. Hadis ini tergolong hadis yang cukup familiar di tengah-tengah umat Islam. Sebab, hadis ini menjadi materi khutbah yang di sampaikan di berbagai mimbar, termasuk mimbar politik. Bunyi hadisnya kira-kira begini: "ayat al-munfiqu tsaltsun: idza hadzdzatsa kadziba, waidza wa'ada akhlafa waidza'tumina khna, tanda-tanda orang munafik ada tiga, yaitu 1) ketika berbicara ia dusta, 2) ketika berjanji ia mengingkari, dan 3) ketika ia diberi amanat ia berkhianat)."
Posisi amanah dalam hadis tersebut bukan karena ada frase "ketika ia diberikan amanat, maka ia berkhianat", akan tetapi melampaui itu semua. Ketiganya juga memiliki hubungan korelatif antara satu dengan lainnya. Seseorang dikatakan ingkar janji (hipokratik) karena di sana ada habitus kebohongan dalam fakultas diri dan hidupnya. Pun seorang dengan mudah berkhianat disebabkan di sana ada akumulasi dari kebohongan dan kemunafikan. Makanya, keseluruhan poin-poin dalam hadis tersebut berbicara tentang hakikat amanah. Sebab, hakikat amanah berbicara tentang fatsun moral pada umumnya, mulai dari kejujuran, akuntabilitas dan terpercaya.
Dengan demikian, hakikat amanah sebagai kriteria dan indikator ideal bagi calon pemimpin bangsa adalah jujur (kredibel -- kredibilitas), menepati janji (akuntabel - akuntabilitas) dan terpercaya (memiliki integritas). Itulah di antara keseluruhan dan kedalaman serta ketercakupan makna dari kata amanah itu sendiri. Sehingga, seperti dikatakan sebelumnya, kata amanah ini berkaitan dengan beberapa kata lainnya yang dapat menjadi kriteria dan indikator calon pemimpin bangsa, yakni kata akuntabel, adil dan lainnya. Ketika unsur-unsur penting dari kata amanah ini bersenyawa dalam fakultas diri sekaligus menyata dalam kehidupan, maka di sanalah lahirlah keadilan itu.
Kedua; Muda, Modernis dan Moderat. Ketiganya merupakan kriteria yang sangat penting (juga) dalam jagat perpolitikan kita, khususnya akhir-akhir ini. Sebab, ketiganya merupakan sesuatu yang dibutuhkan oleh bangsa Indonesia ke depannya. Maksudnya, bangsa Indonesia membutuhkan sosok pemimpin yang muda, modernis dan moderat. Hal demikian berbanding lurus dengan konstruksi fakta yang terjadi dalam atmosfer kehidupan kebangsaan kita. Di mana bangsa Indonesia mengalami tiga problem bersamaan, yaitu problem bonus demografi, gerakan anti modernisasi (secara an sich) dan problem radikalisme, ekstrimisme dan terorisme.
Tahun 2020 sampai 2035 diandaikan tahun di mana bangsa dan negara Indonesia akan menikmati suatu era yang langka. Era tersebut disebut-kenal dengan era bonus demografi. Di mana jumlah usia produktif Indonesia diproyeksikan berada pada grafik tertinggi dalam sejarah bangsa ini, mencapai 64 % dari total jumlah penduduk Indonesia sebesar 297 juta jiwa. Bonus demografi demikian dapat menjadi windows opportunity (peluang) yang sangat strategis bagi sebuah Negara untuk melakukan percepatan pembangunan ekonomi (baca: di sini), sekaligus dapat pula digunakan sebagai momentum akselerasi pemuda dalam kepemimpinan nasional.
Selain itu, dalam survei Center For Strategic And International Studies (CSIS) mengungkapkan bahwa ada 60 persen generasi muda akan menjadi pemilih di Pemilu 2024 mendatang. Akan tetapi, CSIS menyebut minat generasi muda untuk terjun ke partai politik masih rendah. "Demografi pemilih Indonesia menjelang Pemilu 2024 akan mengalami perubahan. Proporsi pemilih muda dengan kelompok 17-38 tahun diprediksi akan mendekati 60 persen atau setara dengan 114 juta pemilih" (baca: di sini). Pun begitu halnya dengan kecenderungan pemilih terhadap calon pemimpin bangsa yang tergolong muda pun terbilang lumayan tinggi.
Dengan adanya survei dan data lonjakan yang luar biasa terkait dengan bonus demografi, maka digaungkan gerakan "keterlibatan" dan atau "melibatkan" mereka-mereka yang dikategorikan sebagai "anak muda" untuk mengambil bagian dalam jagat perpolitikan kita. Bukan saja keterlibatan dan atau melibatakan "anak muda" tersebut agar lebih akrab dan melek politik lalu kemudian menjadi konstituen politik yang ikut serta berpartisipasi aktif dalam pelbagai suksesi kontestasi politik sebagai seorang voter (pemilih pemula), tetapi juga "dipaksa" untuk mengambil bagian dalam kepemimpinan nasional dengan maju sebagai calon Presiden dan Wakil Presiden.
Tentunya, sah-sah saja jika "anak muda" mengambil bagian dalam kepemimpinan nasional. Karena, "anak muda" yang memenuhi syarat konstitusional memiliki hak konstitusional untuk maju berlaga dalam kontestasi pemilihan kepemimpinan nasional. Hanya saja perlu ada catatan terkait dengan "anak muda" dimaksud. Tentunya, kata muda yang merupakan terjemahan dari huruf "M" dalam kata AMIN tidak melulu hanya bermakna muda secara usia. Sehingga, muda dimaksud secara otomatis adalah mereka-mereka yang dikatakan sebagai "anak muda" itu. Meskipun, kategorisasi makna muda demikian tidak ada salahnya juga.
Namun, maksud yang diinginkan dari kata "muda" sebagai bagian dari kriteria dan indikator ideal bagi calon pemimpin bangsa Indonesia ke depannya adalah mereka-mereka yang memiliki pikiran, gagasan, visi-misi dan tindakan yang bercitarasa muda (baca: segar) karena selalu up to date dan upgrade dengan perkembangan zaman dan peradaban. Termasuk menjaga dan merawat sistem demokrasi dan amanat reformasi tanpa merusaknya dengan intrik dan teror politik melalui tangan bandit-bandit oligarki dan politik dinasti maupun tangan kekuasaan otoriter. Apalagi kalau membajak sistem demokrasi melalui kerja-kerja koruptif, kolusif dan nepotisme (KKN).
Menurut Kang Eep (panggilan akrab untuk seorang yang bernama Eep Saifullah Fatah, pendiri dan direktur Lembaga Survei PolMark Indonesia), muda bukan hanya definisi biologis atau fisik atau usia, akan tetapi soal cara, soal tata cara, soal sikap dan soal landasan filosofisi kerja. Tidak sampai di situ, Kang Eep juga memberikan ilustrasi (yang bersifat kritik) bahwa jika dua hari saya menjadi anggota partai lalu kemudian langsung menjadi ketua partai tanpa melalui proses demokratis itu tua sekali, dipraktekkan oleh partai non modern yang belum mengenal demokratisasi dalam dirinya. Bahkan betapa pun saya berusia 22 tahun, kalau menggunakan cara demikian, maka tua sekali.
Batasan pengertian demikian mengandaikan bahwa orang yang sudah tua sekalipun kalau-kalau pikiran dan tindakannya masih segar dan sesuai dengan logika yang lazim, maka ia adalah sosok anak muda dan pemuda yang sebenarnya. Sebaliknya, jika yang masih muda sekali, namun pikiran dan tindakannya tidak mencerminkan pemuda yang sebenarnya, maka hakikatnya ia adalah orang tua di usia muda. Begitu pula halnya ketika orang tua memiliki pikiran dan tindakan melabrak logika, aturan dan kelaziman, maka ia adalah tua kuadrat. Sebaliknya, jika anak muda dan pikiran serta tindakannya tidak labrak logika publik dan aturan sana sini, maka ia adalah anak muda otentik.
Dengan demikian, dapat dikatakan bahwa muda sebagai kriteria dan indikator ideal bagi calon pemimpin bangsa adalah calon pemimpin yang memiliki proses dan pengalaman politik yang hirarkis dan bertahap, menjunjung tinggi amanat reformasi, nilai-nilai demokrasi dan 4 Pilar Indonesia (Pancasila, Bhinneka Tunggal Ika, NKRI dan UUD 1945) serta menjaga dan mengawal supremasi hukum. Bukan mereka-mereka yang potong jalan, potong kompas dan potong konstitusi (untuk mewujudkan dan melanggengkan hasrat dan syahwat kekuasaan politik) sebagaimana dikatakan oleh Anies Baswedan ketika merespon carut-marut wajah hukum dan politik Indonesia.
Begitu pula dengan modernis juga merupakan kriteria ideal yang patut untuk dipertimbangkan dalam memilah dan memilih calon pemimpin bangsa. Sebab, calon pemimpin bangsa yang modernis adalah calon pemimpin yang cara berpikir (worldview) dan cara bertindak (framework)nya cenderung baru, modern dan segar karena sesuai dengan tuntutan zaman yang kian mengalami perkembangan yang begitu pesat dari aspek sains dan teknologi maupun produk-produk yang dihasilkan di dalamnya. Jika calon pemimpin tidak akrab dengan hal ihwal modern niscaya akan melahirkan nalar phobia dan sentimen terhadap hal ihwal yang berkaitan dengan kemodernan.
Tidak hanya itu saja. Calon pemimpin yang tidak berkenalan dengan hal ihwal kemodernan sangat rentan pula menolak begitu saja hal-hal baru yang lahir dan berkembang dari rahim kemodernan. Mau tidak tipologi calon pemimpin semacam itu lebih akrab dengan kejumudan, kekolotan, kegagapan, keterbelakangan dan "ketradisionalan". Implikasinya, calon pemimpin semacam ini tidak open mindset dan welcome terhadap perubahan dan pembaharuan yang bersifat positif. Sehingga, tidak ada inovasi dan kreativitas dalam kepemimpinan, akhirnya mengalami ketertinggalan kereta kemajuan, perubahan dan pembaruan menuju tatanan peradaban baru.
Logika demikian tidak bermaksud bahwa kita, khususnya calon pemimpin bangsa, harus menerima semua produk kemodernan begitu saja tanpa nalar kritis dan selektif di sana. Akan tetapi, logika demikian hanya ingin menjelaskan aspek-aspek tentang pentingnya calon pemimpin modernis. Tentunya, konsep calon pemimpin modernis dalam konteks keindonesiaan kita sudah cukup baik dijelaskan dalam salah satu rumusan kaidah yang diracik dan diwariskan para ulama, yakni al-muhfazhatu 'al al-qadmi ash-shlih wa al-akhdzu bi al-jadd ash-shlih ( menjaga dan melestarikan tradisi lama yang baik serta mengambil dan mengalamkan hal baru yang baik).
Kaidah fiqh tersebut menjelaskan dua karakter dan tipologi manusia, lagi-lagi, khususnya manusia yang tengah menjadi calon pemimpin bangsa. Kedua karakter dan tipologi dimaksud adalah menjadi manusia dan calon pemimpin bangsa yang tradisionalis sekaligus juga modernis. Bisa kedua karakter dan tipologi tersebut bersenyawa dan menyata dalam satu jiwa. Bisa juga memilih di antara satunya. Calon pemimpin tradisionalis adalah mereka-mereka yang komit dengan tradisi, namun akrab dengan kemodernan. Sebaliknya, calon pemimpin modernis adalah mereka-mereka yang memilih jalan modern dengan tetap berpijak pada akar tradisional.
Di antara cara untuk mengimbangi dua karakter dan tipologi tersebut adalah menjadi manusia-manusia moderat. Sebab, hanya dengan berpikir dan bertindak moderatlah seseorang dapat mengkompromikan dua kecenderungan berbeda tersebut, antara kecenderungan tradisionalis dan modernis. Sehingga, eksistensi keberadaan karakter dan tipologi moderat sangat penting sekali bagi umat manusia wabilkhusus calon pemimpin bangsa. Karena, selain hal positif tersebut, antara tradisional dan modernis (sama-sama diandaikan positif, meskipun ada sisi-sisi tertentu yang bermuatan negatif di dalamnya), banyak tantangan destruktif-negatif bagi nalar moderat.
Termasuk tantangan yang besar adalah apa-apa yang serin disebut-istilahkan sekaligus diframing sedemikian rupa beberapa tahun belakangan ini, yakni manifestasi dan kerja-kerja nalar teologis radikalisme. Di mana nalar teologis semacam ini disinyalir menjadi "orang tua haram" yang melahirkan dan menumbuh-kembangkan pelbagai paham eksklusif, intoleran, takfiri dan ekstrimis hingga terorisme yang notabenenya merupakan salah satu dari tiga kejahatan luar biasa (extra ordinary crim's). Nalar teologis semacam ini menjadi horor dan momok yang menakutkan bagi masa depan tenun persatuan dan kohesi sosial bangsa Indonesia.
Pada konteks demikianlah posisi moderat sebagai kriteria ideal bagi calon pemimpin bangsa. Artinya, seorang calon pemimpin bangsa paling tidak memiliki wawasan literasi politik sekaligus wawasan literasi moderasi politik dan paham keagamaan. Sehingga, nantinya ketika didapuk menjadi pemimpin bangsa tidak gagap dan gugup dalam menyikapi fenomena radikalisme dan anak turunannya. Juga tidak terlampau ekstrim dalam menyikapi isu-isu terkait. Karena sudah ada wawasan literasi terkait dalam melakukan upaya mengarusutamaan moderasi dalam segenap sektor dan lini kehidupan dengan prinsip dan cara-cara elegan pula.
Ketiga; Intelektual, Integritas dan Religius. Kriteria ini mengandaikan bahwa seorang calon pemimpin bangsa harus memiliki intelektual, integritas dan religiusitas yang baik lagi teruji. Intelektual terkait dengan kecerdasan dan wawasan literasi terhadap hal ihwal terkait dengan kepemimpinan nasional. Integritas berbicara tentang mutu atau sifat dan keadaan yang menunjukkan kesatuan yang utuh, sehingga memiliki potensi dan kemampuan yang memancarkan kejujuran dan kewibawaan. Sementara religiusitas berbicara pada konteks kesalehan universal, baik terkait relasi hubungan vertikal transendental maupun sosial horizontal.
Calon pemimpin yang memiliki kriteria intelektual adalah calon pemimpin cerdas, berakal dan berpikiran jernih berdasarkan ilmu pengetahuan dan mempunyai kecerdasan tinggi. Tentunya, kriteria semacam ini penting sekali bagi seorang pemimpin. Sehingga, pelbagai kebijakan demi kebijakan yang dilakukan berbasiskan pada intelektualitas (baca: ilmu pengetahuan or data). Karena, kebijakan demi kebijakan yang diproduksi oleh seorang pemimpin bukan lahir dari ruang yang hampa, akan tetapi terkonstruksi dari akumulasi pengetahuan yang dimiliki oleh seorang pemimpin, baik pengetahuan tekstual maupin pengetahuan terhadap kontes.
Lebih dari itu, kriteria intelektualitas dapat menyudahi lakon pemimpin yang plonga-plongo; tidak memiliki wawasan yang luas, berbicara tanpa data, selalu lari dari kenyataan ketika dikejar wartawan dengan pelbagai pertanyaan dan berbicara ngelantur sana sini tanpa ada kejelasan. Tentunya sangat disayangkan manakala pemimpin bangsa semacam itu. Wong, pemimpin level Lurah saja semacam dituntut untuk memiliki wawasan intelektual agak sedikit lumayan. Apalagi calon pemimpin bangsa. Harusnya calon pemimpin bangsa memiliki wawasan intelektual yang bagus dan luas. Sehingga, kepemimpinannya bukan kepemimpinan prematur dan plonga-plongo.
Meskipun, tidak dinafikan bahwa seorang pemimpin bisa saja berwawasan intelektual apa adanya. Karena, di sana nantinya ada pembantunya dari kalangan menteri ini dan itu. Belum lagi staf khususnya. Mereka-mereka ini bisa mendikte sekaligus mengupdate dan mengupgrade wawasan intelektual pemimpin. Tentunya, kondisi semacam ini selain tidak berwibawa dan bergengsi, juga nampaknya agak begitu merepotkan. Sehingga, kalau-kalau memungkinkan untuk memilih pemimpin yang memiliki wawasan intelektual dan literasi yang bagus, maka hal demikian jauh lebih baik. Apalagi banyak anak bangsa yang terkenal memiliki wawasan intelektual yang bagus.
Begitu pula integritas dan religiusitas. Bangsa kita adalah bangsa yang berbudaya, berpancasila dan beragama. Sehingga, nilai-nilai integritas dan religiusitas harusnya selalu melekat pada diri masyarakat Indonesia pada umumnya. Apalagi bagi mereka-mereka yang hendak menjadi calon pemimpin bangsa. Karena, bangsa kita adalah bangsa yang menjunjung tinggi nilai-nilai integritas dan religiusitas sebagai bagian dari fatsun kebaikan dalam berbangsa. Sehingga, seorang calon pemimpin bangsa harus memiliki standar integritas dan religiusitas yang baik. Setidak-tidaknya membuat seorang pemimpin tidak mudah untuk berbohong, buat curang, khianat, zalim dan seterusnya.
Juga paling penting untuk diungkapkan dalam kaitannya dengan aspek religiusitas bagi calon pemimpin adalah bahwa dengan kriteria demikian seorang calon pemimpin bangsa harus lebih akrab berkenalan dengan hal ihwal keagamaan. Bilamana perlu calon pemimpin bangsa juga punya pengetahuan dan pengamalan khusus terhadap ajaran keagamaan. Sehingga, hal ihwal terkait dengan keagamaan tidak hanya sekedar menjadi komoditi politik setiap menjelang kontestasi politik yang ditandai dengan doyan menyampari masjid, pondok pesantren dan para ulama bahkan mempersonifikasi diri dengan simbol-simbol dan identitas keagamaan tertentu.
Selain itu, kriteria religiusitas bagi calon pemimpin bangsa tersebut akan meminimalisir hal-hal yang tidak wajar terjadi bagi seorang calon pemimpin bangsa yang beragama dan bertarung sebagai calon pemimpin pada negara yang terkenal aspek religiusitasnya. Misalkan saja wudhu tidak benar, mengaji dan membaca salawat saja agak susah dan lain sebagainya. Memang pesta demokrasi bukan pemilihan guru ngaji, imam shalat dan pembaca shalawat. Namun, tidak ada salahnya juga kalau-kalau sebagai seorang muslim diingatkan hal demikian. Sebab, ilmu-ilmu gituan kadang wajib. Agak lucu rasanya jika calon pemimpin beragama, tetapi gagap soal hal gituan.
Sebab, integritas sebagai prinsip dan spirit nilai-nilai moral sekaligus sebagai tanggung jawab moral yang akan diberikan calon pemimpin terhadap bangsa Indonesia. Sementara, religiusitas menekan adanya tanggung jawab eskatologis bagi setiap pemimpin dihadapan Tuhan. Sehingga, bisa menjadi daya kontrol diri bagi calon pemimpin dalam menjalankan pelbagai amanat yang diberikan, khususnya amanah sebagai kepemimpinan nasional. Bahwa semua bentuk amanah yang diemban akan dipertanggungjawabkan secara moral dan hukum di dunia ini sekaligus juga akan dipertanggungjawabkan secara eskatologis nantinya di akhirat kelak.
Keempat; Nasionalis. Kriteria keempat sangat penting sekali bagi calon pemimpin bangsa. Tidak perlu jauh-jauh untuk mencari argumentasinya. Hampir semua partai yang ada di Indonesia selalu mengklaim dirinya sebagai partai nasionalis. Ada yang nasionalis murni. Ada pula yang nasionalis-religius. Sehingga, secara tidak langsung maupun langsung, bangsa Indonesia, khususnya direpresentasikan oleh partai politik tersebut, menghendaki agar supaya calon pemimpin bangsa Indonesia harus memiliki kriteria dan standar nasionalis(me) yang jelas, kuat dan teruji yang dibuktikan dengan pemahaman, penghayatan dan pengamalan serta komitmen di dalamnya.
Tentunya, kriteria nasionalis dimaksud di situ adalah nasionalis otentik, bukan pseudo nasionalis. Nasionalis otentik adalah calon pemimpin yang memiliki kesadaran dan komitmen terhadap nasionalisme kebangsaan yang kuat dan kokoh dalam menyelenggarakan sistem pemerintahan di tengah-tengah badai gelombang percaturan dan turbelensi politik yang begitu kompleks. Ia tidak takut, tergoda dan tergiur oleh rayuan gombal maupun tipu muslihat para bandit-bandit oligarki dan politik dinasti maupun secara umum terhadap apa yang sebut sebagai Asing, Aseng dan Asong.
Sementara, pseudo nasionalis adalah kesadaran dan komitmen kebangsaan palsu yang diobral dan diumbar dalam mimbar-mibar politik saat kempanye politik dalam rangka untuk memanipulasi psikologi publik agar dapat memilih calon pemimpin tertentu. Termasuk pseudo nasionalis adalah mulut berapi-api dan berbusa-busa meneriakkan anti Asing dan antek-anteknya, namun ketika selesai malah mengeluh-eluhkan dan memberikan karpet merah bagi Asing dan antek-anteknya. Juga mereka-mereka yang diam-diam berselingkuh dan bermesra ria dengan Asing, Aseng dan Asing dalam menjarah kekayaan alam bangsa Indonesia.
Epilog: Memilih Pemimpin Bangsa Bukan Memilih Lurah
Bangsa Indonesia sudah cukup "dewasa" dan "berpangalaman" dalam menyelenggarakan sebuah pesta dan hajatan besar yang bernama Pemilu itu. Di mana Indonesia merupakan negara demokrasi dengan menganut sistem pemilihan pemerintah melalui jalan Pemilihan Umum (Pemilu). Karena, Pemilu merupakan salah satu pilar penting dan utama dalam sistem demokrasi. Secara historis, pesta demokrasi yang berlangsung di Indonesia sudah cukup lama, terhitung semenjak setelah sepuluh tahun kemerdekaan Indonesia, yakni mulai dari tahun 1955 hingga dengan sekarang dan sebentar lagi akan dilanjutkan dengan pesta demokrasi tahun 2024.
Dalam perjalanannya rupa-rupanya sistem demokrasi "dikorupsi", "dibegal", "diamputasi" dan "dipecundangi" oleh rezim orde baru (orba) beserta kroni-kroninya. Sehingga, pada akhirnya melahirkan sebuah peristiwa historis dalam sejarah kebangsaan Indonesia yang cukup menentukan masa depan sistem demokrasi, supremasi hukum, hak-hak sipil, HAM, kebebasan ekspresi dan berserikat dan hal ihwal lainnya. Peristiwa tersebut dalam catatan sejarah dikenal dengan sebuah peristiwa reformasi. Sejatinya, gerakan reformasi adalah puncak kemarahan kolektif bangsa Indonesia yang direpresentasikan oleh tokoh-tokoh lokomotif dan katalis reformasi.
Tujuan asasi adanya gerakan reformasi adalah mengakhiri hegemoni dan dominasi kekuasaan politik rezim orba beserta kroni-kroninya yang cenderung sewenang-wenang dalam mempermainkan supremasi hukum, melanggengkan budaya KKN dalam penyelenggaraan pemerintahan, otoriterianisme dan represifitas dan lain sebagainya. Sehingga, tokoh-tokoh reformasi memberikan ultimatum terkait dengan enam tuntutan reformasi, yaitu: 1) penegakan supremasi hukum; 2) pemberantasan KKN; 3) pengadilan mantan presiden Soeharto dan kroninya; 4) amandemen konstitusi; 5) pencabutan dwifungsi ABRI (TNI/Polri) dan 6) pemberian otonomi daerah seluas-luasnya.
Pengalaman demi pengalaman dalam menyelenggarakan pesta demokrasi tersebut seharusnya menjadi (bahan) refleksi kritis bagi bangsa ini untuk menengok kembali pesta demokrasi yang diselenggarakan selama ini dan khususnya untuk Pemilu 2024. Setidak-tidaknya sebagai bahan evaluasi bagi bangsa Indonesia dalam berdemokrasi. Jangan sampai bangsa Indonesia hanya "dewasa" dan berpengalaman dalam menyelenggarakan pesta demokrasi, namun pada kenyataannya masih banyak sekali teka-teki dan problem yang menghantui dan menginvasi sistem demokrasi kita. Sehingga, cenderung membiarkan bandit-bandit oligarki dan politik dinasti menguasai arena demokrasi kita.
 Perlu untuk ditekankan bahwa pesta demokrasi bukan semata memilih Lurah pada kelurahan A dan seterusnya, tetapi juga memilih pemimpin bangsa yang akan memimpin Indonesia dalam mengahadapi pelbagai percaturan dan turbelensi politik; lokal, nasional maupun global. Sehingga, perlu pula memperhatikan calon pemimpin yang hendak dimandataris memimpin Indonesia. Apakah calon-calon pemimpin yang hendak dipilih nantinya memenuhi syarat dan kriteria untuk "memimpin" Indonesia atau tidak? Terpenting adalah apakah sistem demokrasi kita masih aman dari KKN, netralitas serta campur tangan bandit-bandit oligarki dan politik dinasti?
Sayang, jika pemilihan Lurah pada beberapa kelurahan jauh lebih ketat, baik dari aspek mekanisme, syarat dan kriteria hingga pada jaminan pengamanan pelaksanaan pemilihan, bila dibandingkan dengan pemilihan calon pemimpin bangsa. Bangsa Indonesia harus menyelenggarakan pesta demokrasi dalam memilih pemimpinnya dengan riang gembira dan mengasyikkan. Tidak perlu ada intrik dan teror sana sini. Apalagi ada upaya untuk menggunakan "tangan" tertentu dalam mengamputasi konstitusi untuk memuluskan syahwat dan libido kekuasaan. Sebab, pesta demokrasi bukan pesta para bandit-bandit oligarki dan politik dinasti, tetapi pesta masyarakat Indonesia.
Olehnya, jika dalam pembacaan objektif dan rasional kita bahwa AMIN sebagai kriteria dan indikator ideal bagi calon pemimpin bangsa Indonesia ke depannya, maka kita perlu toleran dengan memilih calon pemimpin bangsa demikian. Bahkan boleh juga kita memilih untuk mengkampanyekan AMIN sebagai kriteria dan indikator ideal yang layak untuk calon pemimpin bangsa Indonesia ke depannya. Karena, kita ingin bangsa Indonesia dipimpin oleh pemimpin yang Amanah, Muda-Modernis-Moderat, Intelektual-Integritas-relIgius dan Nasionalis (AMIN), bukan pemimpin yang berbicara dengan kebohongan, berjanji dan berjabatan dengan kemunafikan.
***
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H