Keempat; Nasionalis. Kriteria keempat sangat penting sekali bagi calon pemimpin bangsa. Tidak perlu jauh-jauh untuk mencari argumentasinya. Hampir semua partai yang ada di Indonesia selalu mengklaim dirinya sebagai partai nasionalis. Ada yang nasionalis murni. Ada pula yang nasionalis-religius. Sehingga, secara tidak langsung maupun langsung, bangsa Indonesia, khususnya direpresentasikan oleh partai politik tersebut, menghendaki agar supaya calon pemimpin bangsa Indonesia harus memiliki kriteria dan standar nasionalis(me) yang jelas, kuat dan teruji yang dibuktikan dengan pemahaman, penghayatan dan pengamalan serta komitmen di dalamnya.
Tentunya, kriteria nasionalis dimaksud di situ adalah nasionalis otentik, bukan pseudo nasionalis. Nasionalis otentik adalah calon pemimpin yang memiliki kesadaran dan komitmen terhadap nasionalisme kebangsaan yang kuat dan kokoh dalam menyelenggarakan sistem pemerintahan di tengah-tengah badai gelombang percaturan dan turbelensi politik yang begitu kompleks. Ia tidak takut, tergoda dan tergiur oleh rayuan gombal maupun tipu muslihat para bandit-bandit oligarki dan politik dinasti maupun secara umum terhadap apa yang sebut sebagai Asing, Aseng dan Asong.
Sementara, pseudo nasionalis adalah kesadaran dan komitmen kebangsaan palsu yang diobral dan diumbar dalam mimbar-mibar politik saat kempanye politik dalam rangka untuk memanipulasi psikologi publik agar dapat memilih calon pemimpin tertentu. Termasuk pseudo nasionalis adalah mulut berapi-api dan berbusa-busa meneriakkan anti Asing dan antek-anteknya, namun ketika selesai malah mengeluh-eluhkan dan memberikan karpet merah bagi Asing dan antek-anteknya. Juga mereka-mereka yang diam-diam berselingkuh dan bermesra ria dengan Asing, Aseng dan Asing dalam menjarah kekayaan alam bangsa Indonesia.
Epilog: Memilih Pemimpin Bangsa Bukan Memilih Lurah
Bangsa Indonesia sudah cukup "dewasa" dan "berpangalaman" dalam menyelenggarakan sebuah pesta dan hajatan besar yang bernama Pemilu itu. Di mana Indonesia merupakan negara demokrasi dengan menganut sistem pemilihan pemerintah melalui jalan Pemilihan Umum (Pemilu). Karena, Pemilu merupakan salah satu pilar penting dan utama dalam sistem demokrasi. Secara historis, pesta demokrasi yang berlangsung di Indonesia sudah cukup lama, terhitung semenjak setelah sepuluh tahun kemerdekaan Indonesia, yakni mulai dari tahun 1955 hingga dengan sekarang dan sebentar lagi akan dilanjutkan dengan pesta demokrasi tahun 2024.
Dalam perjalanannya rupa-rupanya sistem demokrasi "dikorupsi", "dibegal", "diamputasi" dan "dipecundangi" oleh rezim orde baru (orba) beserta kroni-kroninya. Sehingga, pada akhirnya melahirkan sebuah peristiwa historis dalam sejarah kebangsaan Indonesia yang cukup menentukan masa depan sistem demokrasi, supremasi hukum, hak-hak sipil, HAM, kebebasan ekspresi dan berserikat dan hal ihwal lainnya. Peristiwa tersebut dalam catatan sejarah dikenal dengan sebuah peristiwa reformasi. Sejatinya, gerakan reformasi adalah puncak kemarahan kolektif bangsa Indonesia yang direpresentasikan oleh tokoh-tokoh lokomotif dan katalis reformasi.
Tujuan asasi adanya gerakan reformasi adalah mengakhiri hegemoni dan dominasi kekuasaan politik rezim orba beserta kroni-kroninya yang cenderung sewenang-wenang dalam mempermainkan supremasi hukum, melanggengkan budaya KKN dalam penyelenggaraan pemerintahan, otoriterianisme dan represifitas dan lain sebagainya. Sehingga, tokoh-tokoh reformasi memberikan ultimatum terkait dengan enam tuntutan reformasi, yaitu: 1) penegakan supremasi hukum; 2) pemberantasan KKN; 3) pengadilan mantan presiden Soeharto dan kroninya; 4) amandemen konstitusi; 5) pencabutan dwifungsi ABRI (TNI/Polri) dan 6) pemberian otonomi daerah seluas-luasnya.
Pengalaman demi pengalaman dalam menyelenggarakan pesta demokrasi tersebut seharusnya menjadi (bahan) refleksi kritis bagi bangsa ini untuk menengok kembali pesta demokrasi yang diselenggarakan selama ini dan khususnya untuk Pemilu 2024. Setidak-tidaknya sebagai bahan evaluasi bagi bangsa Indonesia dalam berdemokrasi. Jangan sampai bangsa Indonesia hanya "dewasa" dan berpengalaman dalam menyelenggarakan pesta demokrasi, namun pada kenyataannya masih banyak sekali teka-teki dan problem yang menghantui dan menginvasi sistem demokrasi kita. Sehingga, cenderung membiarkan bandit-bandit oligarki dan politik dinasti menguasai arena demokrasi kita.
 Perlu untuk ditekankan bahwa pesta demokrasi bukan semata memilih Lurah pada kelurahan A dan seterusnya, tetapi juga memilih pemimpin bangsa yang akan memimpin Indonesia dalam mengahadapi pelbagai percaturan dan turbelensi politik; lokal, nasional maupun global. Sehingga, perlu pula memperhatikan calon pemimpin yang hendak dimandataris memimpin Indonesia. Apakah calon-calon pemimpin yang hendak dipilih nantinya memenuhi syarat dan kriteria untuk "memimpin" Indonesia atau tidak? Terpenting adalah apakah sistem demokrasi kita masih aman dari KKN, netralitas serta campur tangan bandit-bandit oligarki dan politik dinasti?
Sayang, jika pemilihan Lurah pada beberapa kelurahan jauh lebih ketat, baik dari aspek mekanisme, syarat dan kriteria hingga pada jaminan pengamanan pelaksanaan pemilihan, bila dibandingkan dengan pemilihan calon pemimpin bangsa. Bangsa Indonesia harus menyelenggarakan pesta demokrasi dalam memilih pemimpinnya dengan riang gembira dan mengasyikkan. Tidak perlu ada intrik dan teror sana sini. Apalagi ada upaya untuk menggunakan "tangan" tertentu dalam mengamputasi konstitusi untuk memuluskan syahwat dan libido kekuasaan. Sebab, pesta demokrasi bukan pesta para bandit-bandit oligarki dan politik dinasti, tetapi pesta masyarakat Indonesia.
Olehnya, jika dalam pembacaan objektif dan rasional kita bahwa AMIN sebagai kriteria dan indikator ideal bagi calon pemimpin bangsa Indonesia ke depannya, maka kita perlu toleran dengan memilih calon pemimpin bangsa demikian. Bahkan boleh juga kita memilih untuk mengkampanyekan AMIN sebagai kriteria dan indikator ideal yang layak untuk calon pemimpin bangsa Indonesia ke depannya. Karena, kita ingin bangsa Indonesia dipimpin oleh pemimpin yang Amanah, Muda-Modernis-Moderat, Intelektual-Integritas-relIgius dan Nasionalis (AMIN), bukan pemimpin yang berbicara dengan kebohongan, berjanji dan berjabatan dengan kemunafikan.