Di antara cara untuk mengimbangi dua karakter dan tipologi tersebut adalah menjadi manusia-manusia moderat. Sebab, hanya dengan berpikir dan bertindak moderatlah seseorang dapat mengkompromikan dua kecenderungan berbeda tersebut, antara kecenderungan tradisionalis dan modernis. Sehingga, eksistensi keberadaan karakter dan tipologi moderat sangat penting sekali bagi umat manusia wabilkhusus calon pemimpin bangsa. Karena, selain hal positif tersebut, antara tradisional dan modernis (sama-sama diandaikan positif, meskipun ada sisi-sisi tertentu yang bermuatan negatif di dalamnya), banyak tantangan destruktif-negatif bagi nalar moderat.
Termasuk tantangan yang besar adalah apa-apa yang serin disebut-istilahkan sekaligus diframing sedemikian rupa beberapa tahun belakangan ini, yakni manifestasi dan kerja-kerja nalar teologis radikalisme. Di mana nalar teologis semacam ini disinyalir menjadi "orang tua haram" yang melahirkan dan menumbuh-kembangkan pelbagai paham eksklusif, intoleran, takfiri dan ekstrimis hingga terorisme yang notabenenya merupakan salah satu dari tiga kejahatan luar biasa (extra ordinary crim's). Nalar teologis semacam ini menjadi horor dan momok yang menakutkan bagi masa depan tenun persatuan dan kohesi sosial bangsa Indonesia.
Pada konteks demikianlah posisi moderat sebagai kriteria ideal bagi calon pemimpin bangsa. Artinya, seorang calon pemimpin bangsa paling tidak memiliki wawasan literasi politik sekaligus wawasan literasi moderasi politik dan paham keagamaan. Sehingga, nantinya ketika didapuk menjadi pemimpin bangsa tidak gagap dan gugup dalam menyikapi fenomena radikalisme dan anak turunannya. Juga tidak terlampau ekstrim dalam menyikapi isu-isu terkait. Karena sudah ada wawasan literasi terkait dalam melakukan upaya mengarusutamaan moderasi dalam segenap sektor dan lini kehidupan dengan prinsip dan cara-cara elegan pula.
Ketiga; Intelektual, Integritas dan Religius. Kriteria ini mengandaikan bahwa seorang calon pemimpin bangsa harus memiliki intelektual, integritas dan religiusitas yang baik lagi teruji. Intelektual terkait dengan kecerdasan dan wawasan literasi terhadap hal ihwal terkait dengan kepemimpinan nasional. Integritas berbicara tentang mutu atau sifat dan keadaan yang menunjukkan kesatuan yang utuh, sehingga memiliki potensi dan kemampuan yang memancarkan kejujuran dan kewibawaan. Sementara religiusitas berbicara pada konteks kesalehan universal, baik terkait relasi hubungan vertikal transendental maupun sosial horizontal.
Calon pemimpin yang memiliki kriteria intelektual adalah calon pemimpin cerdas, berakal dan berpikiran jernih berdasarkan ilmu pengetahuan dan mempunyai kecerdasan tinggi. Tentunya, kriteria semacam ini penting sekali bagi seorang pemimpin. Sehingga, pelbagai kebijakan demi kebijakan yang dilakukan berbasiskan pada intelektualitas (baca: ilmu pengetahuan or data). Karena, kebijakan demi kebijakan yang diproduksi oleh seorang pemimpin bukan lahir dari ruang yang hampa, akan tetapi terkonstruksi dari akumulasi pengetahuan yang dimiliki oleh seorang pemimpin, baik pengetahuan tekstual maupin pengetahuan terhadap kontes.
Lebih dari itu, kriteria intelektualitas dapat menyudahi lakon pemimpin yang plonga-plongo; tidak memiliki wawasan yang luas, berbicara tanpa data, selalu lari dari kenyataan ketika dikejar wartawan dengan pelbagai pertanyaan dan berbicara ngelantur sana sini tanpa ada kejelasan. Tentunya sangat disayangkan manakala pemimpin bangsa semacam itu. Wong, pemimpin level Lurah saja semacam dituntut untuk memiliki wawasan intelektual agak sedikit lumayan. Apalagi calon pemimpin bangsa. Harusnya calon pemimpin bangsa memiliki wawasan intelektual yang bagus dan luas. Sehingga, kepemimpinannya bukan kepemimpinan prematur dan plonga-plongo.
Meskipun, tidak dinafikan bahwa seorang pemimpin bisa saja berwawasan intelektual apa adanya. Karena, di sana nantinya ada pembantunya dari kalangan menteri ini dan itu. Belum lagi staf khususnya. Mereka-mereka ini bisa mendikte sekaligus mengupdate dan mengupgrade wawasan intelektual pemimpin. Tentunya, kondisi semacam ini selain tidak berwibawa dan bergengsi, juga nampaknya agak begitu merepotkan. Sehingga, kalau-kalau memungkinkan untuk memilih pemimpin yang memiliki wawasan intelektual dan literasi yang bagus, maka hal demikian jauh lebih baik. Apalagi banyak anak bangsa yang terkenal memiliki wawasan intelektual yang bagus.
Begitu pula integritas dan religiusitas. Bangsa kita adalah bangsa yang berbudaya, berpancasila dan beragama. Sehingga, nilai-nilai integritas dan religiusitas harusnya selalu melekat pada diri masyarakat Indonesia pada umumnya. Apalagi bagi mereka-mereka yang hendak menjadi calon pemimpin bangsa. Karena, bangsa kita adalah bangsa yang menjunjung tinggi nilai-nilai integritas dan religiusitas sebagai bagian dari fatsun kebaikan dalam berbangsa. Sehingga, seorang calon pemimpin bangsa harus memiliki standar integritas dan religiusitas yang baik. Setidak-tidaknya membuat seorang pemimpin tidak mudah untuk berbohong, buat curang, khianat, zalim dan seterusnya.
Juga paling penting untuk diungkapkan dalam kaitannya dengan aspek religiusitas bagi calon pemimpin adalah bahwa dengan kriteria demikian seorang calon pemimpin bangsa harus lebih akrab berkenalan dengan hal ihwal keagamaan. Bilamana perlu calon pemimpin bangsa juga punya pengetahuan dan pengamalan khusus terhadap ajaran keagamaan. Sehingga, hal ihwal terkait dengan keagamaan tidak hanya sekedar menjadi komoditi politik setiap menjelang kontestasi politik yang ditandai dengan doyan menyampari masjid, pondok pesantren dan para ulama bahkan mempersonifikasi diri dengan simbol-simbol dan identitas keagamaan tertentu.
Selain itu, kriteria religiusitas bagi calon pemimpin bangsa tersebut akan meminimalisir hal-hal yang tidak wajar terjadi bagi seorang calon pemimpin bangsa yang beragama dan bertarung sebagai calon pemimpin pada negara yang terkenal aspek religiusitasnya. Misalkan saja wudhu tidak benar, mengaji dan membaca salawat saja agak susah dan lain sebagainya. Memang pesta demokrasi bukan pemilihan guru ngaji, imam shalat dan pembaca shalawat. Namun, tidak ada salahnya juga kalau-kalau sebagai seorang muslim diingatkan hal demikian. Sebab, ilmu-ilmu gituan kadang wajib. Agak lucu rasanya jika calon pemimpin beragama, tetapi gagap soal hal gituan.
Sebab, integritas sebagai prinsip dan spirit nilai-nilai moral sekaligus sebagai tanggung jawab moral yang akan diberikan calon pemimpin terhadap bangsa Indonesia. Sementara, religiusitas menekan adanya tanggung jawab eskatologis bagi setiap pemimpin dihadapan Tuhan. Sehingga, bisa menjadi daya kontrol diri bagi calon pemimpin dalam menjalankan pelbagai amanat yang diberikan, khususnya amanah sebagai kepemimpinan nasional. Bahwa semua bentuk amanah yang diemban akan dipertanggungjawabkan secara moral dan hukum di dunia ini sekaligus juga akan dipertanggungjawabkan secara eskatologis nantinya di akhirat kelak.