Jumlah Dapil (daerah pemilihan) dan jumlah kursi anggota DPR RI yang diperebutkan masing-masing calon anggota DPR RI pada pemilu 2024 mendatang adalah 84 Dapil dan 580 kursi sebagaimana yang termuat dalam Peraturan KPU Nomor 6 Tahun 2023 tentang Daerah Pemilihan dan Alokasi Kursi DPR, DPRD Provinsi dan DPRD Kabupaten/Kota dalam Pemilu 2024 mendatang.Â
Sementara jumlah kursi yang diperebutkan pada setiap Dapil sekurang-kurangnya enam kursi dan sebanyak-banyaknya delapan kursi. Untuk dapat tiket politik aman, calon anggota DPR RI mengantongi perolehan suara politik perdapil sekurang-kurangnya 40.000 sampai 60.000 suara ke atas untuk bisa mendapatkan satu tiket kursi pada Dapilnya.
Untuk tiap-tiap Dapil terdapat banyak sekali caleg yang merebutkan kursi pada Dapilnya masing-masing yang jumlahnya sangat kecil. Misalnya, untuk Dapil A pada provinsi A terdapat 6 kursi. Sementara jumlah caleg dari masing-masing partai peserta pemilu sebanyak 102 (dari jumlah 17 partai peserta pemilu dikali dengan jumlah kursi pada Dapil A).Â
Secara logika, terlampau besar jumlah peserta caleg untuk merebut 6 buah kursi untuk Dapil A. Karena bagaimana pun mesin politik bekerja untuk setiap Dapil, tetap saja cuman 6 kursi yang yang akan diperoleh untuk Dapil A. Namun, begitulah kenyataan politik demokrasi. Semua caleg dituntut untuk berkompetisi dalam merebutkan 6 kursi pada Dapil A. Mereka berkompetisi dengan cost politik yang terlampau besar hanya untuk merebut 6 kursi.
Sehingga, para caleg pada tiap-tiap Dapil tidak boleh merasa cukup dengan perolehan suara pada setiap Pemilu ditambah dengan kerja-kerja politik pasca terpilih menjadi anggota legislatif. Apalagi jika rival politik pada Dapil yang sama terbilang potensial, punya kans politik yang begitu besar untuk memenangkan kembali pertarungan dengan menambah angka untuk perolehan suara sebelumnya. Mereka semuanya bekerja tanpa henti untuk bisa mengamankan suara pada masing-masing Dapilnya. Bahkan mereka bekerja untuk menambah perolehan suara.Â
Mereka tidak membiarkan ada suara stagnan, apalagi berkurang jauh. Karena, sia-sialah kerja-kerja politik caleg incumbent jika tidak ada penambahan suara yang signifikan pada Pemilu. Di sinilah di antaranya letak problematik dan tidak relevannya "arognasi politik" yang mengandaikan suara pada daerah tertentu tidak dibutuhkan.
Tiket Suara Nasional Partai
Berbeda dengan sebelumnya, pada point kedua ini mengandaikan bahwa perolehan suara Dapil untuk masing-masing caleg pada akhirnya kembali terpulang pada nasib perolehan suara nasional partai. Sehingga, perolehan suara nasional partai merupakan tiket penentu untuk nasib caleg pemenang pada masing-masing Dapil.Â
Pada konteks ini, partai politik harus menggerakkan segenap sumberdayamya untuk bisa mendapatkan perolehan suara nasional, sekurang-kurangnya empat persen. Karenanya, partai politik tidak hanya fokus dan menyasar pada satu titik saja dalam mengamankan perolehan suara nasionalnya. Sebab, masing-masing Dapil memberikan kontribusi yang sama terhadap perolehan suara nasional partai politik, hatta terhadap Dapil yang jumlah pemilihnya relatif jauh lebih sedikit dibandingkan Dapil lain.
Angka empat persen sebagai syarat parlementery threshold bagi partai peserta pemilu bukan angka remeh temeh, meskipun hanya, lagi-lagi hanya, empat persen, melainkan angka horor dan maut. Angka persennya memang terbilang kecil, empat persen, tetapi angka demikian paling dikhawatirkan dan dicemaskan oleh masing-masing pimpinan partai politik.Â
Karena itu, upaya untuk menggodok kembali parlemen threshold melalui revisi peraturan perundang-undangan terkait menjadi kabar gembira sekaligus kabar menakutkan. Kabar gembira manakala revisi itu memperlihatkan hak kedaulatan rakyat yang tersalurkan melalui masing-masing partai.Â