Azis Maloko
Tidak kenal, maka tidak sayang adalah sebuah ungkapan puitis yang menggambarkan betapa pentingnya apa yang dimaksud dengan sikap dan proses saling kenal dalam hidup. Tidak mungkin ada sayang dalam sebuah hubungan jika tidak ada proses pengenalan di dalamnya. Memang jika dirunut akar genelogis atau tepatnya konteks historisitas yang mengilhami lahirnya pepatah tersebut terlihat bahwa latarnya adalah persoalan terkait dengan hal ihwal dunia romantika.Â
Di mana untuk saling sayang dalam dunia romantika, maka perlu kiranya ada namanya proses saling kenal-mengenal antara satu dengan lainnya. Namun, tidak salah juga jika sekiranya pepatah demikian dikembangkan lebih jauh lagi masuk menyentuh hal ihwal lainnya yang menekankan pentingnya proses pengenalan di dalamnya. Seperti pengenalan tentang pentingnya al-Islam sebagai agama (ad-din) dalam hidup dan kehidupan kita semua.
Meskipun, tidak dinafikan pula bahwa proses pengenalan Islam jauh lebih kompleks bila dibandingkan dengan pengenalan dalam dunia romantika. Sebab, pengenalan terhadap Islam tidak boleh sambil lalu, apatah lagi hanya sekedar iseng-iseng dan mengisi waktu-waktu kosong. Akan tetapi, pengenalan membutuhkan kerja-kerja keilmuan yang baik dan benar.Â
Di dalamnya juga harus ada ghirah (semangat), mujahadah (kesungguhan) dan azzam (komitmen) serta kesabaran yang super ekstra. Kecuali memang pengenalan kita hanya sebatas muqallid (mengikuti ahli) begitu saja tanpa perlu repot-repot mengetahui rancang bangun keilmuan yang digunakan di dalamnya. Juga karena pengenalan terhadap Islam tidak hanya semata melahirkan rasa cinta dan sayang begitu saja, apalagi hanya sekedar klaim dan pepesan kosong untuk sekedar mengakui sebagai bagian integral dari Islam. Akan tetapi, pengenalan yang melahirkan keimanan, pengamalan dan penghayatan dalam kehidupan nyata secara konsekuen sesuai dengan hirarki kemampuan masing-masing.
Dalam Islam, proses pengenalan mendapat legacy yang luar biasa. Sampai-sampai terdapat begitu banyak teks bahasa agama (al-Qur'an dan hadis) dan qaul ulama rabbani yang mencoba menjelaskannya. Bahkan terdapat perintah dan larangan secara khusus di dalamnya; perintah untuk melakukan pengenalan sebelum jauh mencelupkan diri kita dalam rangkaian amalan perbuatan dan larangan untuk melakukan suatu perbuatan sebelum ada proses pengenalan di dalamnya. Semuanya dimaksudkan semata agar supaya ada ilmu, petunjuk dan bimbingan bagi setiap kita (yang mengaku sebagai bagian dari Islam) dalam berislam secara kaffah, baik dalam tataran teoretis-konseptual dan praktis-aplikatif maupun bertalian dengan perkataan (qaul) dan perbuatan (af'al) pada umumnya. Karena, pengenalan kita terhadap Islam melahirkan ilmu, lalu kemudian dengan ilmu melahirkan iman dan dengan ilmu dan iman akan melahirkan konsistensi amal perbuatan.
Setidaknya terdapat tiga klasifikasi umum tentang legacy teks bahasa agama terhadap proses pengenalan Islam. Pertama; lagacy dalam bentuk perintah. Di sini kita akan menemukan betapa banyak teks bahasa agama yang memberikan legacy perintah tentang pentingnya pengenalan terhadap Islam. Di antara ayat al-Qur'an yang memberikan legacy perintah menuntut ilmu adalah QS al-Nahl/43 dan QS Muhammad/19. Dalam QS al-Nahl/43, Allah memerintahkan kepada umat Islam untuk bertanya dan belajar kepada mereka-mereka yang dikategorikan sebagai ahli zikir, yaitu ahli ilmu dari kalangan para ulama robbani maupun yang mengikuti jejak langkah mereka. Meskipun, ayat ini secara khusus dialamatkan kepada mereka-mereka yang dikatakan belum memiliki ilmu, namun bukan berarti perintah menuntut ilmu di dalamnya hanya semata untuk mereka-mereka yang belum memiliki ilmu, akan tetapi juga berlaku umum bagi setiap umat Islam untuk menjadikan aktivitas menuntut ilmu sebagai jalan untuk menemukan dan mendapatkan pencerahan dalam hidup sebagaimana ditegaskan dalam QS Muhammad/19.
Selain itu, terdapat pula beberapa hadis yang memberikan legacy perintah melakukan pengenalan terhadap Islam. Namun, akan dikemukakan tiga di antara sekian banyak hadis dimaksud. Tentunya, tidak bermaksud untuk membatasi dan mengatakan hadis lainnya tidak begitu penting dan relevan dengan konteks percakapan. Hadis pertama berbicara tentang perintah menuntut ilmu dari buaian hingga ke liang lahat, uthlub al-'ilma min al-mahdi ila al-lakhdi (ada yang mengatakan hadis, ada pula yang mengatakan bukan hadis).Â
Hadis selanjutnya berbicara tentang perintah untuk memiliki ilmu terlebih dahulu sebelum seseorang menginginkan dunia atau akhirat atau kedua-duanya sekaligus, man aroda dunya fa'alaihi bi al-'ilmi wa man aroda al-akhiroh fa'alaihi bi al-'ilmi wa man aroda hum fa'alaihi bi al-"ilmi (HR Bukhari). Terakhir, hadis yang berbicara tentang perintah menuntut ilmu secara umum yang dialamatkan kepada laki-laki dan perempuan muslim, thalaba al-'ilmu faridhatu 'ala kulli muslim (HR Ibnu Majah).
Kedua; legacy dalam bentuk larangan. Di sini juga kita akan menemukan betapa teks bahasa agama memberikan legacy larangan melakukan sesuatu dalam Islam sebelum ada proses pengenalan. Salah satu ayat al-Qur'an yang berbicara tentang masalah ini adalah QS al-Isra/36. Dalam ayat ini Allah dengan tegas melarang umat manusia untuk melakukan sesuatu, baik dalam bentuk perkataan dan perbuatan, yang di dalamnya mereka tidak memiliki ilmu tentangnya. Karena, ada kesadaran eskatologis di dalamnya, yakni semua instrumen epistemologis (mulai dari pendengaran (as-sam'a), pengelihatan (al-bashar) hingga pada hati dan akal pikiran (al-fuad)) akan diminta pertanggungjawabannya di hari kiamat nantinya. Meskipun, ayat ini berbicara dalam kerangka legacy larangan, akan tetapi mafhum mukhalafahnya adalah perintah untuk menuntut ilmu sebelum jauh bernostalgia dengan pelbagai perbuatan dalam berislam pada umumnya. Artinya, agar supaya kita bisa melakukan sesuatu dengan baik dan benar dalam konteks Islam tentunya, maka kita perlu membekali diri terlebih dahulu dengan apa yang dinamakan sebagai ilmu. Dengan kata lain, ayat tersebut hanya melarang orang yang tidak punya ilmu ketika hendak melakukan suatu hal.
Ketiga; legacy dalam bentuk khabar. Di sini kita akan menemukan secara khusus khabar yang diwartakan oleh teks bahasa agama dalam bentuk reward (kabar gembira; penghargaan, pahala, maqam khusus dan lain-lain) maupun dalam bentuk punishment (kabar menakutkan; sanksi, dosa dan lain-lain). Legacy kabar yang memberikan reward adalah QS al-Mujadalah/11 dan QS al-Ashr/1-3. Dalam kedua ayat ini, orang-orang yang berilmu (tentunya juga beriman dan beramal saleh) akan mendapat reward berupa diangkat beberapa derajat serta dikecualikan dari segala bentuk manifestasi kerugian, di dunia dan akhirat. Dalam sebuah hadis yang panjang dikatakan bahwa barangsiapa yang menempuh suatu jalan untuk menuntut ilmu niscaya akan dibukukan baginya (dengan pelbagai kemudahan ilmu, iman dan amal di dalamnya) untuk menuju surga, man salaka thariqn yaltamisu fhi al-'ilm sahhal Allah lahu bihi thariqn 'ila al-jannah (HR Muslim). Senada dengan itu, Nabi juga mengatakan bahwa barangsiapa yang keluar untuk menuntut ilmu niscaya selalu berada di jalan Allah hingga kembali pulang, man kharaja f thalab al-'ilm fahuwa f sabili Allah hatta yarji'a (HR Tirmidzi).
Ada hadis lainnya yang cukup menarik kiranya diungkapkan untuk melengkapi legacy kabar yang mendatangkan reward. Hadis dimaksud adalah hadis yang menjelaskan tentang sebuah informasi teologis bahwa jika sekiranya Allah (dengan ilmu, hikmah, kuasa dan kehendak-Nya) menghendaki sebuah kebaikan bagi seorang hamba niscaya Allah akan memberikan kemudahan baginya dalam memahami kompleksitas ilmu dan urusan agama, man yuridi Allah bihi khairan yufaqqihhu f ad-dn (HR Bukhari). Hadis ini sepintas lalu menjelaskan asbab al-'ilmu atau dalam diskursus dan percakapan epistemologi disebut-kenal dengan istilah theory of knowledge (teori-teori ilmu pengetahuan) yang di dalamnya menjelaskan asal-usul atau sumber dari ilmu pengetahuan. Setidaknya di situ tergambar dengan jelasi dua kategori sumber ilmu pengetahuan, yaitu min Allah dan ikhtiar manusia melalui pelbagai aktivitas belajar pada umumnya. Sehingga, perlu kiranya juga diperhatikan bahwa ilmu yang ada pada diri kita sesungguhnya tidak murni datang karena usaha dan kerja keras kita, akan tetapi karena di sana ada kehendak Allah yang memudahkan segala sesuatunya bagi kita sehingga kita dapat belajar dan menjadi orang berilmu.
Dalam konteks demikian, kita tidak semestinya sombong dan melanggengkannya menjadi bagian dari kehidupan kita. Sombong dalam arti batharal haqq (menolak kebenaran) dan ghamtunnas (meremehkan dan merendahkan orang lain) dengan capaian ilmu yang kita miliki masing-masing sebagaimana yang dijelaskan oleh Nabi dalam hadisnya tentang karakter kategori mereka-mereka yang dikatakan sebagai manusia sombong. Sebab, sombong merupakan tipologi karakter seorang makhluk yang bernama Iblis. Di mana salah satu karakter Iblis adalah menjust dan menjudge dirinya sebagai makhluk yang paling baik dibandingkan dengan Adam as. Istilah familiar dan populernya adalah ana khairu minhum/kum (saya adalah orang yang paling baik dibandingkan dengan kamu atau kalian atau orang lain). Meskipun, Iblis begitu menyadari bahwa dirinya tidaklah lebih berilmu, apalagi baik dan mulia, daripada makhluk yang bernama Adam itu. Memang, sejatinya manusia-manusia sombong adalah manusia tidak memiliki keilmuan serta standar moralitas dan spiritualitas yang baik hatta orangnya mengaku-ngaku demikian halnya. Karena, salah satu tipologi manusia berilmu, apalagi bermoral dan berspiritual, adalah rendah hati alias tidak sombong dengan segala yang dimiliki.
Sementara legacy kabar dalam bentuk punishment terdapat dalam banyak ayat yang masing-masing ayat memiliki bentuk punishment tersendiri bagi mereka-mereka yang tidak menyertakan ilmu dalam melakukan sesuatu, khususnya dalam kaitannya dengan masalah agama. Dalam QS al-Nahl/16 dijelaskan bahwa orang yang berbicara dan mengatakan sesuatu tentang Allah tanpa petunjuk ilmu diandaikan tengah berdusta dan punishmentnya adalah akan menjadi manusia-manusia merugi alias tidak beruntung. Dalam QS al-Qashas/50 dijelaskan bahwa orang yang tidak mengikuti petunjuk ilmu yang Allah turunkan kepada Nabinya merupakan orang yang mengikuti hawa nafsunya semata dan mendapat punishment sebagai orang yang sesat dengan kesesatan yang paling nyata. Dalam konteks tertentu tidak berilmu lalu kemudian mengatakan sesuatu perkara tanpa berdasarkan pada ilmu yang telah diturunkan diandaikan sebagai orang-orang yang terjerat oleh bisikan dan tipu daya setan (QS al-Baqarah/169).
Dalam kaitannya dengan kecenderungan intelektual (baca: doyan berbicara tentang persoalan intelektualitas keagamaan) terdapat sebuah hadis yang mengkonfrontirnya. Hadis dimaksud diriwayatkan oleh Ibnu Asyakir bahwa Nabi Muhammad saw pernah bersabda "barangsiapa berfatwa (bicara agama) tanpa ilmu, maka dilaknat oleh para malaikat di langit dan di bumi", man aft bighairi 'ilmi la'anatuhu malikah as-sami wa al-ardhi.Â
Hadis ini sangat penting, relevan dan faktual sekali oleh sebab belakangan ini bermunculan manusia-manusia sotta bin asbuni berbicara segala sesuatu semau dan sesukanya tanpa perlu melihat ke dalam dirinya dan orang-orang di sekitarnya. Sehingga, dirinya tidak perduli berbicara tentang segala sesuatu berdasarkan ilmu (pengetahuan) atau hanya sekedar berbicara kosong begitu saja.Â
Manusia-manusia semacam ini masuk dalam salah satu tipologi manusia yang disinyalir-rumuskan oleh seorang Hujjatul Islam Imam al-Ghazali, yakni rajulun la yadri wala yadri annahu wala yadri (seseorang laki-laki (dan juga perempuan tentunya) yang tidak tahu dan tidak tahu bahwa dirinya memang merupakan orang yang tidak tahu).
Perlu untuk ditekankan di sini bahwa para ulama mengatakan ayat-ayat al-Qur'an dan begitu pula hadis Nabi Muhammad saw. yang berbicara tentang ilmu pada umumnya merupakan ilmu agama, kecuali ada takhshish (pengecualian) di dalamnya. Sehingga, ketika Allah dan Rasul-Nya menyebutkan term ilmu dalam al-Qur'an maupun hadis, maka term ilmu yang dimaksud adalah ilmu yang bertalian dengan agama itu sendiri. Misalkan, ketika Allah memberikan kabar berita tentang keutamaan orang-orang berilmu di antaranya akan diangkat maqamnya beberapa derajat, baik dunia dan akhirat, maka ilmu yang dimaksud adalah ilmu agama. Namun, ada juga term ilmu dalam percakapan teks bahasa agama dimaksudkan untuk selain ilmu agama. Perihal ini kita bisa menengok secara langsung pada salah satu hadis yang cukup familiar ketika Nabi Muhammad saw mengatakan bahwa "antum a'lamu umurukum" (kalian lebih mengetahui hal ihwal terkait dengan urusan dunia (kalian)). Dalam hadis ini nampak jelas bahwa ilmu yang dimaksudkan adalah ilmu yang bertalian dengan urusan dunia.
Sah-sah saja alias tidak ada yang salah juga kalau-kalau sekiranya ada yang mencoba untuk membaca dan menafsirkannya dalam horizon makna yang jauh lebih luas dan fleksibel mencakup hal ihwal yang bertalian dengan ilmu pada umumnya, baik ilmu agama maupun ilmu dunia. Hal demikian sebagai sesuatu yang lazim dalam Islam; bagian dari khazanah keilmuan dalam melakukan pembacaan dan penafsiran terhadap teks bahasa agama. Namun, kita juga tidak boleh lupa atau pura-pura lupa bahwa jika sekiranya makna demikian juga diafirmasi menjadi bagian dari tafsiran terhadap term ilmu dalam teks bahasa agama, maka perlu sekiranya untuk diiingat pula bahwa makna asal yang dimaksud dari term ilmu pada sesungguhnya adalah ilmu agama sebagaimana yang masyhur dikatakan oleh banyak ulama. Lebih penting pula adalah jangan sampai dengan corak pemahaman demikian membuat kita mengabaikan dan melalaikan (sebagian) ilmu agama yang notabenenya merupakan sebuah kewajiban asasi bagi setiap muslim dan muslimah.
Tentunya hal demikian tidak dimaksudkan untuk membenarkan pengandaian bahwa adanya dualisme dan dikotomi dalam struktur keilmuan Islam sebagaimana halnya terjadi dalam peradaban Barat sana. Sebab, Islam tidak mengenal adanya dualisme dan dikotomi dalam semua bangunan ajarannya. Termasuk hal ihwal yang bertalian dengan ilmu itu sendiri. Tidak ada ceritanya Islam mempertentangkan antara ibadah dan muamalat; urusan duniawi dan ukhurawi; ibadah dengan hal ihwal duniawi; agama dan negara vis a vis agama dan Pancasila; jiwa dan jasad; fisik dan non fisik; fisika dan metafisika; materi dan non materi; agama dan adat istiadat plus kebudayaan maupun ilmu agama dengan ilmu non agama (baik yang tumbuh subur dalam rahim peradaban Islam maupun dari rahim peradaban Barat yang berwatak sekuler-liberal). Islam punya konsep tersendiri dalam melihat dan memperlakukan semua hal ihwal yang datang dari luar, yaitu kritis, adaptif dan dialogis hingga pada akomodatif terhadap hal-hal yang dipandang bisa menjadi wasilah terwujudnya sebuah kemaslahatan, baik yang bersifat individual (maslahat al-khash) maupun kolektif-kolegial (maslahat al-amm).
Dengan kata lain, Islam tidak anti dengan hal ihwal yang lahir dan berkembang dari rahim peradaban Barat. Islam tidak begitu a priori dalam memandang peradaban lain. Pun Islam tidak memposisikan diri terlampau inferior dihadapan peradaban Barat dan lainnya. Sehingga, membebek dan mengkonsumsi begitu saja hal ihwal yang datang dari rahim peradaban Barat tanpa ada nalar kritis, meskipun di dalamnya terdapat tulang-tulang dan bahkan racun seperti tengah terjadi pada sebagian kaum intelektual yang mengidap penyakit kanker epistemologi karena terlampau mengkultuskan peradaban Barat dengan capaian sains dan teknologinya. Di mana karena hal demikian membuat sebagian kaum intelektual muslim yang menamakan dirinya intelektual modernis, pos modernis, liberal, sekuler, revisioner dan apalah namanya menjadi begitu kritis dengan pelbagai pendekatan terhadap Islam, bersamaan dengan itu mereka begitu a priori terhadap semua produk sains dan teknologi yang dihasilkan dari rahim peradaban Barat. Mereka membaca Islam dengan logika sakwasangka dan penyalahan secara mutlak, sementara terhadap Barat dengan logika keberterimaan tanpa tanya dan daya kritis sedikit pun di dalamnya.
Malahan dalam Islam, ilmu merupakan bagian dari pada ibadah pada umumnya. Jika memang ilmu-ilmu non agama dipandang tidak bertentangan dengan rancang bangun ilmu agama sekaligus memberikan dampak positif terhadap pengembangan ilmu pada satu sisi dan pengamalan pada sisi lain dengan pelbagai macam kemaslahatan yang dihasilkan di dalamnya, maka ilmu tersebut bisa menjadi bagian daripada ibadah itu sendiri. Ibadah dimaksud dalam makna umum sebagaimana dijelaskan oleh para ulama, ismu al-jami' li kulli m yuhibbu Allah wa yardho, min qauli wa af'al, zhahirin wa bathinina (sebuah terminologi yang mencakup apa-apa yang dicintai dan diridhai Allah, baik hal itu berkaitan dengan perkataan dan perbuatan yang zahir maupun batin). Atau bisa saja masuk pada kategori kebaikan pada umumnya. Salah satu contohnya adalah ilmu yang berkaitan dengan teknologi semacam pesawat dan lainnya. Keberadaan ilmu teknologi pesawat merupakan sesuatu yang sangat dibutuhkan oleh umat Islam. Sebab, kewajiban haji bagi umat Islam baru bisa dilaksanakan manakala ada teknologi yang bernama pesawat.
Menurut SMN Alattas, konsepsi ilmu dalam Islam tidak terbatas pada ilmu-ilmu tertentu, apalagi dalam makna yang sempit dan pembatasan pada suatu disiplin ilmu yang sempit dalam bentuk spesialisasi khusus. Akan tetapi, ilmu meliputi berbagai bidang studi secara integral dan koheren yang mencerminkan worldview Islam. Sehingga, ilmuwan Muslim (ulama) bukan spesialis-spesialis yang lepas dari induk dan sumber ilmu dalam Islam. Ilmuwan Muslim harus berilmu universal meski berangkat dari yang spesial. Dengan makna demikian, seorang ilmuwan Muslim adalah ulama yang memiliki kapasitas untuk mengonseptualisasikan, menjelaskan dan mendefinisikan konsep-konsep penting yang relevan dalam masalah-masalah budaya, pendidikan, keilmuan, dan epistemologi yang dihadapi umat Islam pada zaman sekarang ini yang nantinya dapat memberikan jawaban Islam terhadap tantangan-tantangan intelektual dan kebudayaan dari dunia modern dan berbagai macam kelompok aliran pemikiran, agama, dan ideologi (baca di sini).
Dengan demikian, sudah ada kesimpulan dan gambaran awal bagi kita dalam mengenal Islam. Bahwa pengenalan terhadap Islam meniscayakan adanya ilmu, iman dan amal saleh. Ketiganya bagian integral dari dan atau dalam mengenal Islam alias tidak dapat dipisahkan. Dengan kata lain, Islam tidak membenarkan sama sekali pengenalan terhadapnya tanpa melalui ilmu. Yakni, kita hanya membangun piramida keimanan dan kesalehan tanpa bangunan keilmuan yang sahih dan kuat. Tentunya sebaik-baiknya ilmu adalah ilmu yang diwariskan oleh Nabi Muhammad saw dengan pemahaman para ulama rabbani lintas zaman. Selain itu pula Islam juga sama sekali tidak membenarkan pengenalan terhadapnya hanya sebagai ilmu semata (baca: islamologi) tanpa memperkuat, menumbuhkan dan membuahkan imam dan amal shaleh. Tentunya, hal ini berbeda dengan orang non Islam yang karena proyek intelektualnya masing-masing mereka melakukan kajian dan studi terhadap Islam. Entah spiritnya semata untuk mengungkapkan kebenaran al-Islam atau malah hanya sekedar menjalankan misi tertentu berupa mendistorsi dan menjelek-jelekkan Islam berkedok studi ilmiah.
Karena itu, Islam diandaikan sebagai agama ilmu dan peradaban; agama yang dibangun di atas ilmu dan di dalamnya mengandung muatan-muatan peradaban, termasuk muatan-muatan konseptual tentang hal ihwal yang bertalian dengan ilmu pada umumnya. Seperti apa yang menjadi kesimpulan Imam al-Bukhari dalam kitab hadisnya, Shahih al-Bukhari, yang dirumuskan dalam sebuah bab yang bertajuk "bab al-'ilm qabl al-qaul wa al-'amal" (bab tentang ilmu (harus) didahulukan sebelum berkata dan beramal). Di antara landasan epistemologis dari kesimpulan demikian adalah QS Muhammad/19, di dalamnya dikatakan ilmu didahulukan sebelum berkata dan berbuat (fabadaa bi al-'ilmi qabl al-qaul wa al-'amal). Penjelasannya adalah term fa'lam () dalam QS Muhammad/19 adalah fi'il amr ( ) yang berkonotasi sebuah perintah yang bersifat wajib untuk dilakukan oleh seorang muslim sebagaimana kaidah umum terkait dengan fi'il amr dalam Ushul al-Fiqh maupun Ilmu al-Qur'an dan Tafsir, yaitu . Perintah menuntut ilmu dimaksud dialamatkan kepada ilmu yang paling asasi dan fundamental lagi penting dalam Islam, yaitu ilmu tauhid atau akidah ( ). Lalu kemudian beramal saleh, di antaranya dalam bentuk memohon ampunan terhadap dosa-dosa kita maupun kaum muslimin pada umumnya ( ).
Pengandaian demikian bukan semata datang dari Imam al-Bukhari, akan tetapi banyak ilmuwan muslim belakangan ini juga berbicara panjang lebar tentang itu. Hal demikian wajar-wajar oleh sebab selama ini Islam semacam ter-"stigmatisi" sebagai agama dogmatis yang meluluh berbicara pada hal ihwal yang bertalian dengan ritual dan aktus kesalehan individual transendental semata. Stigmatisasi semacam itu bukan datang dari luar Islam, akan tetapi direproduksi sendiri oleh orang Islam yang salah dan gagal paham tentang agamanya sendiri. Inilah di antara problema lain yang lagi terjadi di tengah-tengah umat Islam. Bukan semata persoalan terkait dengan dua problem umum yang dikatakan oleh seorang SMN Alattas, yakni error and confusion in knowledge dan lost of adab. Rupanya ada problem lainnya yang tidak kalah dahsyat. Di mana banyak umat Islam yang tidak mempelajari agamanya dengan baik dan benar, namun begitu ngotot dan nakal dalam membaca dan menafsirkan Islam dengan pelbagai pendekatan yang cenderung mendistorsi dan merendahkan bahkan menyalahkan Islam. Bersama dengan itu, umat Islam malah begitu a priori dengan pelbagai produk keilmuan Barat; diterima begitu saja sebagai sebuah pendekatan keilmuan untuk membaca dan mengkritisi Islam.
Menurut Husein Nasr dalam bukunya yang berjudul "Islam: Religion, History and Civilization" mengatakan bahwa "Islam is both a religion and civilization" (Islam adalah agama sekaligus peradaban). Di mana Islam diandaikan bukan sekedar agama (dalam makna dogma), akan tetapi juga sebagai creator dan sebuah semangat hidup yang menjiwai tumbuh kembangnya sebuah peradaban besar yang terbentang luas lebih dari empat belas abad yang lalu (Islam is not only a reki, it is also the creator and living spirit of a major word civilization with a long history stretching over fourteen centuries). Pandangan demikian rupa-rupanya juga diamini oleh seorang orientalis yang berpengaruh dalam diskursus keilmuan Islam, yakni HAR. Gibb. Melalui karyanya yang berjudul "Whither Islam? A Survey of Modern Movement in the Moslem World", Gibb mengatakan bahwa Islam dan peradaban adalah satu kesatuan yang tidak mungkin dapat dipisahkan (Islam is indeed much more than a system of theology, it is a complete civilization).
Bahkan ada yang mencoba menjadikan Islam sebagai basis diskursus epistemologi. Sebab, apa yang menjadi diskursus epistemologi pada sesungguhnya juga disinggung dan dibahas dalam Islam, baik hal ihwal terkait dengan theory of knowledge hingga pada klasifikasi epistemologi yang terkenal itu (epistemologi bayani, epistemologi burhani dan epistemologi irfani). Tentunya, melihat perkembangan diskursus epistemologi belakangan ini dapat dikatakan Islam juga bukan semata sebuah agama, tetapi juga sebagai basis epistemologi. Untuk jelasnya kita bisa melihat terminologi kunci yang digunakan dalam theory of knowledge, mulai dari indera dan akal pikiran sebagai asal-usul dan sumber ilmu pengetahuan. Dalam Islam, indera dan lebih khusus lagi akal pikiran mendapat porsi yang begitu besar. Malahan Islam memberikan apresiasi dan support khusus dalam pengembangan akal pikiran. Banyak sekali terdapat ayat al-Qur'an dan begitu pula hadis yang menggunakan dan menekankan pentingnya penggunaan akal dalam beragama maupun secara umumnya. Bahkan produk akal pikiran yang mendapat justifikasi dan afirmasi dijadikan sebagai bagian dari sumber ajaran agama, yaitu ijtihad (qiyas dan ijma' beserta dalil-dalil yang diperselisihkan lainnya).
Terdapat kurang lebih 49 kali al-Qur'an menyebutkan akal dalam bentuk kata kerja (aqala) mulai dari QS al-Baqarah/75; QS Yusuf/109; QS al-Mulk/10; QS al-Ankabut/43 dan lain-lainnya. Semuanya ayat-ayat tersebut berbicara akal pikiran sebagai sebuah aktivitas intelektual dan pemikiran manusia. Tentunya, akal pikiran sebagai instrumen epistemologis tidak bisa bebas begitu saja digunakan untuk berpikir tanpa acuan dan atau mengacu pada prinsip-prinsip tertentu sehingga melahirkan pelbagai produk pemikiran bukan bertentangan dengan pikiran akal manusia itu sendiri, akan tetapi juga malah bertentangan dengan logika pencipta akal itu sendiri, Allah swt. Bahkan ada malah lebih tragis lagi dengan mempersoalkan dan meragukan eksistensi Tuhan sendiri dengan pelbagai kesalahpahaman dan kesesatan berpikir di dalamnya. Maka, bermunculan banyak manusia-manusia berakal, tetapi menjadi manusia sekuler, liberal atheis dan deistik. Karena, akal yang mendapat maqam khusus dalam Islam tidak digunakan sebagaimana mestinya, untuk mengenal kebenaran dan tunduk pada di dalamnya.
Ada juga mengandaikan Islam sebagai worldview atau weltanschauung. Ya, Islam sendiri memiliki pandangan dunia dan atau pandangan alam tersendiri dalam melihat totalitas realitas. Bahkan worldview Islam malah jauh lebih komprehensif dan holistik oleh sebab bukan semata hanya dunia materi saja yang menjadi objek kajian dan pandangannya, akan tetapi jauh melampaui itu semua. Islam sebagai sebuah worldview melihat semua lapisan realitas secara menyeluruh; dunia dan akhirat, fisik dan non fisik, materi dan non materi, fisika dan metafisika. Semuanya adalah satu kesatuan dalam pandangan worldview Islam. Tidak ada namanya dualisme dan dikotomi di sana.Â
Islam tidak mempertentangkan dan menafikan salah satu di antaranya. Islam melalui worldviewnya membuka dan memberikan ruang secara rasional dan proporsional di dalamnya selama bisa dijadikan wasilah mendatangkan kemaslahatan bagi semesta manusia dan lingkungan alam. Perihal demikian mudah sekali untuk dilacak-temukan. Bisa langsung menengok pada teks bahasa agama yang berbicara tentang lapisan realitas. Juga gubahan pemikiran ulama yang ditorehkan dalam sejarah peradaban Islam.
Pandangan demikian setidaknya menemukan pijakan epistemologis dalam pemikiran beberapa tokoh yang terkenal cukup otoritatif dalam mempercakapkan Islam sebagai worldview. Tercatat beberapa ilmuwan muslim terkemuka yang mencoba menjelaskan Islam sebagai worldview. Masing-masing memiliki terminologi khusus dalam menyebut-istilahkan apa yang dinamakan sebagai pandangan hidup atau pandangan alam.Â
Maulana al-Mawdudi mengistilahkannya dengan Islami nazariat (Islamic Vision), Sayyid Qutb menggunakan istilah al-Tasawwur al-Islamy (Islamic Vision), Mohammad Ashif al-Zayn menyebutnya al-Mabda' al-Islamy (Islamic Principle) dan SMN Alattas menamakannya dengan sebutan Ru'yatul Islam lil wujud (Islamic Worldview). Meskipun demikian, menurut Fahmi Hamid Zarkasyi, semuanya sepakat bahwa Islam memiliki pandangan alam khusus dalam melihat totalitas realitas.Â
Dengan kata lain, Islam tidak hanya sekadar menjadi objek pandangan alam bagi agama dan peradaban lain seperti mereka-mereka yang tidak punya "integritas" dan atau mengalami inferioritas kompleks dihadapan peradaban lain, sehingga kerjanya hanya membebek pada apa-apa yang datang dari peradaban lain sekaligus sok kritis dan ilmiah terhadap Islam dengan pelbagai produknya.
Untuk memahami lebih lanjut kita perlu mengintip lebih jauh deskripsi terhadap pandangan alam dalam perspektif masing-masing tokoh yang dipandang cukup representatif dan memberikan gambaran tentang bagaimana memposisikan Islam dalam percakapan worldview. Menurut seorang Ninian Smart, worldview adalah kepercayaan, perasaan dan apa-apa yang terdapat dalam pikiran orang yang befungsi sebagai motor bagi keberlangsungan dan perubahan sosial dan moral. Makna senada juga dikemukakan oleh seorang Thomas F Wall yang mengatakan bahwa worldview adalah sistim kepercayaan dasar yang integral tentang hakekat diri kita, realitas dan tentang makna eksistensi. Lebih luas seorang Alparslan menjelaskan bahwa worldview sebagai asas bagi setiap perilaku manusia, termasuk aktifitas-aktifitas ilmiyah dan teknologi. Pengertian worldview yang dikemukakan oleh ketiga tokoh ini pada sesungguhnya menggambarkan beberapa unsur penting dalam suatu worldview, yaitu motor bagi perubahan sosial, asas bagi pemahaman realitas dan asas bagi aktifitas ilmiah.
Sekarang, apakah unsur-unsur penting yang dikemukakan di atas tidak ada dalam Islam? Jawabannya pasti ada. Lagi-lagi, Islam malah melampaui. Sebab, bisa saja hal-hal yang menjadi unsur penting worldview tersebut hanya berbicara dalam tataran realitas materi semata. Atau dengan kata, bisa saja hal demikian memiliki jarak yang terbilang cukup jauh dengan persoalan metafisika Islam.Â
Ya, pandangan tentang hakikat worldview tersebut di atas mewakili watak daripada epistemologi dan peradaban masing-masing. Hal demikian di antaranya sebagaimana dikatakan oleh Ziauddin Sardar bahwa watak ilmu pengetahuan ditentukan oleh peradaban masing-masing.Â
Jika peradaban berbeda, maka akan melahirkan watak ilmu pengetahuan berbeda. Termasuk di dalamnya adalah worldview. Misalnya, jika asas suatu peradaban itu adalah Islam, maka produk peradaban yang dilahirkan di dalamnya juga akan bercitarasa Islam. Tidak mungkin asas peradaban Islam sementara hasilnya adalah sekuler dan liberal. Karena, sekuler dan liberal bukan watak peradaban Islam itu sendiri.
Karena itu, kita perlu kembali mengintip pengertian pandangan alam yang dikemukakan oleh seorang filsuf muslim ternama dan terkemuka berkebangsaan Melayu, SMN Alattas. Dalam pembacaan Alattas, worldview Islam (Ru'yatul Islam lil wujud) adalah pandangan Islam tentang realitas dan kebenaran yang nampak oleh mata hati kita dan yang menjelaskan hakekat wujud secara total. Menurut Hamid Fahmy Zarkasyi, di sini Alattas membicarakan worldview dalam kerangka metafisika sekaligus epistemologis.Â
Berbeda dengan pandangan Syeykh Atif al-Zayn dan Sayyid Qutb lebih cenderung mamahaminya sebagai seperangkat doktrin kepercayaan yang rasional yang implikasnya adalah ideologi. Pandangan demikian semakin memperkuat asumsi bahwa Islam sebagai worldview. Namun, worldview Islam jauh berbeda dengan worldview lain, mulai dari worldview yang berbasiskan agama selain Islam atau berbasiskan peradaban Barat yang cenderung sekuler-liberal. Hal demikian wajar karena masing-masing agama dan peradaban memiliki karakteristik dan prinsip khusus yang menjiwai lahir dan berkembangnya sebuah worldview.
***
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H