Ada hadis lainnya yang cukup menarik kiranya diungkapkan untuk melengkapi legacy kabar yang mendatangkan reward. Hadis dimaksud adalah hadis yang menjelaskan tentang sebuah informasi teologis bahwa jika sekiranya Allah (dengan ilmu, hikmah, kuasa dan kehendak-Nya) menghendaki sebuah kebaikan bagi seorang hamba niscaya Allah akan memberikan kemudahan baginya dalam memahami kompleksitas ilmu dan urusan agama, man yuridi Allah bihi khairan yufaqqihhu f ad-dn (HR Bukhari). Hadis ini sepintas lalu menjelaskan asbab al-'ilmu atau dalam diskursus dan percakapan epistemologi disebut-kenal dengan istilah theory of knowledge (teori-teori ilmu pengetahuan) yang di dalamnya menjelaskan asal-usul atau sumber dari ilmu pengetahuan. Setidaknya di situ tergambar dengan jelasi dua kategori sumber ilmu pengetahuan, yaitu min Allah dan ikhtiar manusia melalui pelbagai aktivitas belajar pada umumnya. Sehingga, perlu kiranya juga diperhatikan bahwa ilmu yang ada pada diri kita sesungguhnya tidak murni datang karena usaha dan kerja keras kita, akan tetapi karena di sana ada kehendak Allah yang memudahkan segala sesuatunya bagi kita sehingga kita dapat belajar dan menjadi orang berilmu.
Dalam konteks demikian, kita tidak semestinya sombong dan melanggengkannya menjadi bagian dari kehidupan kita. Sombong dalam arti batharal haqq (menolak kebenaran) dan ghamtunnas (meremehkan dan merendahkan orang lain) dengan capaian ilmu yang kita miliki masing-masing sebagaimana yang dijelaskan oleh Nabi dalam hadisnya tentang karakter kategori mereka-mereka yang dikatakan sebagai manusia sombong. Sebab, sombong merupakan tipologi karakter seorang makhluk yang bernama Iblis. Di mana salah satu karakter Iblis adalah menjust dan menjudge dirinya sebagai makhluk yang paling baik dibandingkan dengan Adam as. Istilah familiar dan populernya adalah ana khairu minhum/kum (saya adalah orang yang paling baik dibandingkan dengan kamu atau kalian atau orang lain). Meskipun, Iblis begitu menyadari bahwa dirinya tidaklah lebih berilmu, apalagi baik dan mulia, daripada makhluk yang bernama Adam itu. Memang, sejatinya manusia-manusia sombong adalah manusia tidak memiliki keilmuan serta standar moralitas dan spiritualitas yang baik hatta orangnya mengaku-ngaku demikian halnya. Karena, salah satu tipologi manusia berilmu, apalagi bermoral dan berspiritual, adalah rendah hati alias tidak sombong dengan segala yang dimiliki.
Sementara legacy kabar dalam bentuk punishment terdapat dalam banyak ayat yang masing-masing ayat memiliki bentuk punishment tersendiri bagi mereka-mereka yang tidak menyertakan ilmu dalam melakukan sesuatu, khususnya dalam kaitannya dengan masalah agama. Dalam QS al-Nahl/16 dijelaskan bahwa orang yang berbicara dan mengatakan sesuatu tentang Allah tanpa petunjuk ilmu diandaikan tengah berdusta dan punishmentnya adalah akan menjadi manusia-manusia merugi alias tidak beruntung. Dalam QS al-Qashas/50 dijelaskan bahwa orang yang tidak mengikuti petunjuk ilmu yang Allah turunkan kepada Nabinya merupakan orang yang mengikuti hawa nafsunya semata dan mendapat punishment sebagai orang yang sesat dengan kesesatan yang paling nyata. Dalam konteks tertentu tidak berilmu lalu kemudian mengatakan sesuatu perkara tanpa berdasarkan pada ilmu yang telah diturunkan diandaikan sebagai orang-orang yang terjerat oleh bisikan dan tipu daya setan (QS al-Baqarah/169).
Dalam kaitannya dengan kecenderungan intelektual (baca: doyan berbicara tentang persoalan intelektualitas keagamaan) terdapat sebuah hadis yang mengkonfrontirnya. Hadis dimaksud diriwayatkan oleh Ibnu Asyakir bahwa Nabi Muhammad saw pernah bersabda "barangsiapa berfatwa (bicara agama) tanpa ilmu, maka dilaknat oleh para malaikat di langit dan di bumi", man aft bighairi 'ilmi la'anatuhu malikah as-sami wa al-ardhi.Â
Hadis ini sangat penting, relevan dan faktual sekali oleh sebab belakangan ini bermunculan manusia-manusia sotta bin asbuni berbicara segala sesuatu semau dan sesukanya tanpa perlu melihat ke dalam dirinya dan orang-orang di sekitarnya. Sehingga, dirinya tidak perduli berbicara tentang segala sesuatu berdasarkan ilmu (pengetahuan) atau hanya sekedar berbicara kosong begitu saja.Â
Manusia-manusia semacam ini masuk dalam salah satu tipologi manusia yang disinyalir-rumuskan oleh seorang Hujjatul Islam Imam al-Ghazali, yakni rajulun la yadri wala yadri annahu wala yadri (seseorang laki-laki (dan juga perempuan tentunya) yang tidak tahu dan tidak tahu bahwa dirinya memang merupakan orang yang tidak tahu).
Perlu untuk ditekankan di sini bahwa para ulama mengatakan ayat-ayat al-Qur'an dan begitu pula hadis Nabi Muhammad saw. yang berbicara tentang ilmu pada umumnya merupakan ilmu agama, kecuali ada takhshish (pengecualian) di dalamnya. Sehingga, ketika Allah dan Rasul-Nya menyebutkan term ilmu dalam al-Qur'an maupun hadis, maka term ilmu yang dimaksud adalah ilmu yang bertalian dengan agama itu sendiri. Misalkan, ketika Allah memberikan kabar berita tentang keutamaan orang-orang berilmu di antaranya akan diangkat maqamnya beberapa derajat, baik dunia dan akhirat, maka ilmu yang dimaksud adalah ilmu agama. Namun, ada juga term ilmu dalam percakapan teks bahasa agama dimaksudkan untuk selain ilmu agama. Perihal ini kita bisa menengok secara langsung pada salah satu hadis yang cukup familiar ketika Nabi Muhammad saw mengatakan bahwa "antum a'lamu umurukum" (kalian lebih mengetahui hal ihwal terkait dengan urusan dunia (kalian)). Dalam hadis ini nampak jelas bahwa ilmu yang dimaksudkan adalah ilmu yang bertalian dengan urusan dunia.
Sah-sah saja alias tidak ada yang salah juga kalau-kalau sekiranya ada yang mencoba untuk membaca dan menafsirkannya dalam horizon makna yang jauh lebih luas dan fleksibel mencakup hal ihwal yang bertalian dengan ilmu pada umumnya, baik ilmu agama maupun ilmu dunia. Hal demikian sebagai sesuatu yang lazim dalam Islam; bagian dari khazanah keilmuan dalam melakukan pembacaan dan penafsiran terhadap teks bahasa agama. Namun, kita juga tidak boleh lupa atau pura-pura lupa bahwa jika sekiranya makna demikian juga diafirmasi menjadi bagian dari tafsiran terhadap term ilmu dalam teks bahasa agama, maka perlu sekiranya untuk diiingat pula bahwa makna asal yang dimaksud dari term ilmu pada sesungguhnya adalah ilmu agama sebagaimana yang masyhur dikatakan oleh banyak ulama. Lebih penting pula adalah jangan sampai dengan corak pemahaman demikian membuat kita mengabaikan dan melalaikan (sebagian) ilmu agama yang notabenenya merupakan sebuah kewajiban asasi bagi setiap muslim dan muslimah.
Tentunya hal demikian tidak dimaksudkan untuk membenarkan pengandaian bahwa adanya dualisme dan dikotomi dalam struktur keilmuan Islam sebagaimana halnya terjadi dalam peradaban Barat sana. Sebab, Islam tidak mengenal adanya dualisme dan dikotomi dalam semua bangunan ajarannya. Termasuk hal ihwal yang bertalian dengan ilmu itu sendiri. Tidak ada ceritanya Islam mempertentangkan antara ibadah dan muamalat; urusan duniawi dan ukhurawi; ibadah dengan hal ihwal duniawi; agama dan negara vis a vis agama dan Pancasila; jiwa dan jasad; fisik dan non fisik; fisika dan metafisika; materi dan non materi; agama dan adat istiadat plus kebudayaan maupun ilmu agama dengan ilmu non agama (baik yang tumbuh subur dalam rahim peradaban Islam maupun dari rahim peradaban Barat yang berwatak sekuler-liberal). Islam punya konsep tersendiri dalam melihat dan memperlakukan semua hal ihwal yang datang dari luar, yaitu kritis, adaptif dan dialogis hingga pada akomodatif terhadap hal-hal yang dipandang bisa menjadi wasilah terwujudnya sebuah kemaslahatan, baik yang bersifat individual (maslahat al-khash) maupun kolektif-kolegial (maslahat al-amm).
Dengan kata lain, Islam tidak anti dengan hal ihwal yang lahir dan berkembang dari rahim peradaban Barat. Islam tidak begitu a priori dalam memandang peradaban lain. Pun Islam tidak memposisikan diri terlampau inferior dihadapan peradaban Barat dan lainnya. Sehingga, membebek dan mengkonsumsi begitu saja hal ihwal yang datang dari rahim peradaban Barat tanpa ada nalar kritis, meskipun di dalamnya terdapat tulang-tulang dan bahkan racun seperti tengah terjadi pada sebagian kaum intelektual yang mengidap penyakit kanker epistemologi karena terlampau mengkultuskan peradaban Barat dengan capaian sains dan teknologinya. Di mana karena hal demikian membuat sebagian kaum intelektual muslim yang menamakan dirinya intelektual modernis, pos modernis, liberal, sekuler, revisioner dan apalah namanya menjadi begitu kritis dengan pelbagai pendekatan terhadap Islam, bersamaan dengan itu mereka begitu a priori terhadap semua produk sains dan teknologi yang dihasilkan dari rahim peradaban Barat. Mereka membaca Islam dengan logika sakwasangka dan penyalahan secara mutlak, sementara terhadap Barat dengan logika keberterimaan tanpa tanya dan daya kritis sedikit pun di dalamnya.
Malahan dalam Islam, ilmu merupakan bagian dari pada ibadah pada umumnya. Jika memang ilmu-ilmu non agama dipandang tidak bertentangan dengan rancang bangun ilmu agama sekaligus memberikan dampak positif terhadap pengembangan ilmu pada satu sisi dan pengamalan pada sisi lain dengan pelbagai macam kemaslahatan yang dihasilkan di dalamnya, maka ilmu tersebut bisa menjadi bagian daripada ibadah itu sendiri. Ibadah dimaksud dalam makna umum sebagaimana dijelaskan oleh para ulama, ismu al-jami' li kulli m yuhibbu Allah wa yardho, min qauli wa af'al, zhahirin wa bathinina (sebuah terminologi yang mencakup apa-apa yang dicintai dan diridhai Allah, baik hal itu berkaitan dengan perkataan dan perbuatan yang zahir maupun batin). Atau bisa saja masuk pada kategori kebaikan pada umumnya. Salah satu contohnya adalah ilmu yang berkaitan dengan teknologi semacam pesawat dan lainnya. Keberadaan ilmu teknologi pesawat merupakan sesuatu yang sangat dibutuhkan oleh umat Islam. Sebab, kewajiban haji bagi umat Islam baru bisa dilaksanakan manakala ada teknologi yang bernama pesawat.