Mohon tunggu...
Azis Maloko
Azis Maloko Mohon Tunggu... Penulis - seorang pejalan yang menikmati hari-hari dengan membaca

anak nelayan berkebangsaan Lamakera nun jauh di sana, hobi membaca dan menulis, suka protes, tapi humanis dan humoris

Selanjutnya

Tutup

Sosbud Pilihan

Mengenal Islam: Pengantar Awal Memahami Islam

7 Agustus 2023   20:48 Diperbarui: 7 Agustus 2023   20:54 342
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Sosbud. Sumber ilustrasi: KOMPAS.com/Pesona Indonesia

Menurut SMN Alattas, konsepsi ilmu dalam Islam tidak terbatas pada ilmu-ilmu tertentu, apalagi dalam makna yang sempit dan pembatasan pada suatu disiplin ilmu yang sempit dalam bentuk spesialisasi khusus. Akan tetapi, ilmu meliputi berbagai bidang studi secara integral dan koheren yang mencerminkan worldview Islam. Sehingga, ilmuwan Muslim (ulama) bukan spesialis-spesialis yang lepas dari induk dan sumber ilmu dalam Islam. Ilmuwan Muslim harus berilmu universal meski berangkat dari yang spesial. Dengan makna demikian, seorang ilmuwan Muslim adalah ulama yang memiliki kapasitas untuk mengonseptualisasikan, menjelaskan dan mendefinisikan konsep-konsep penting yang relevan dalam masalah-masalah budaya, pendidikan, keilmuan, dan epistemologi yang dihadapi umat Islam pada zaman sekarang ini yang nantinya dapat memberikan jawaban Islam terhadap tantangan-tantangan intelektual dan kebudayaan dari dunia modern dan berbagai macam kelompok aliran pemikiran, agama, dan ideologi (baca di sini).

Dengan demikian, sudah ada kesimpulan dan gambaran awal bagi kita dalam mengenal Islam. Bahwa pengenalan terhadap Islam meniscayakan adanya ilmu, iman dan amal saleh. Ketiganya bagian integral dari dan atau dalam mengenal Islam alias tidak dapat dipisahkan. Dengan kata lain, Islam tidak membenarkan sama sekali pengenalan terhadapnya tanpa melalui ilmu. Yakni, kita hanya membangun piramida keimanan dan kesalehan tanpa bangunan keilmuan yang sahih dan kuat. Tentunya sebaik-baiknya ilmu adalah ilmu yang diwariskan oleh Nabi Muhammad saw dengan pemahaman para ulama rabbani lintas zaman. Selain itu pula Islam juga sama sekali tidak membenarkan pengenalan terhadapnya hanya sebagai ilmu semata (baca: islamologi) tanpa memperkuat, menumbuhkan dan membuahkan imam dan amal shaleh. Tentunya, hal ini berbeda dengan orang non Islam yang karena proyek intelektualnya masing-masing mereka melakukan kajian dan studi terhadap Islam. Entah spiritnya semata untuk mengungkapkan kebenaran al-Islam atau malah hanya sekedar menjalankan misi tertentu berupa mendistorsi dan menjelek-jelekkan Islam berkedok studi ilmiah.

Karena itu, Islam diandaikan sebagai agama ilmu dan peradaban; agama yang dibangun di atas ilmu dan di dalamnya mengandung muatan-muatan peradaban, termasuk muatan-muatan konseptual tentang hal ihwal yang bertalian dengan ilmu pada umumnya. Seperti apa yang menjadi kesimpulan Imam al-Bukhari dalam kitab hadisnya, Shahih al-Bukhari, yang dirumuskan dalam sebuah bab yang bertajuk "bab al-'ilm qabl al-qaul wa al-'amal" (bab tentang ilmu (harus) didahulukan sebelum berkata dan beramal). Di antara landasan epistemologis dari kesimpulan demikian adalah QS Muhammad/19, di dalamnya dikatakan ilmu didahulukan sebelum berkata dan berbuat (fabadaa bi al-'ilmi qabl al-qaul wa al-'amal). Penjelasannya adalah term fa'lam () dalam QS Muhammad/19 adalah fi'il amr ( ) yang berkonotasi sebuah perintah yang bersifat wajib untuk dilakukan oleh seorang muslim sebagaimana kaidah umum terkait dengan fi'il amr dalam Ushul al-Fiqh maupun Ilmu al-Qur'an dan Tafsir, yaitu . Perintah menuntut ilmu dimaksud dialamatkan kepada ilmu yang paling asasi dan fundamental lagi penting dalam Islam, yaitu ilmu tauhid atau akidah ( ). Lalu kemudian beramal saleh, di antaranya dalam bentuk memohon ampunan terhadap dosa-dosa kita maupun kaum muslimin pada umumnya ( ).

Pengandaian demikian bukan semata datang dari Imam al-Bukhari, akan tetapi banyak ilmuwan muslim belakangan ini juga berbicara panjang lebar tentang itu. Hal demikian wajar-wajar oleh sebab selama ini Islam semacam ter-"stigmatisi" sebagai agama dogmatis yang meluluh berbicara pada hal ihwal yang bertalian dengan ritual dan aktus kesalehan individual transendental semata. Stigmatisasi semacam itu bukan datang dari luar Islam, akan tetapi direproduksi sendiri oleh orang Islam yang salah dan gagal paham tentang agamanya sendiri. Inilah di antara problema lain yang lagi terjadi di tengah-tengah umat Islam. Bukan semata persoalan terkait dengan dua problem umum yang dikatakan oleh seorang SMN Alattas, yakni error and confusion in knowledge dan lost of adab. Rupanya ada problem lainnya yang tidak kalah dahsyat. Di mana banyak umat Islam yang tidak mempelajari agamanya dengan baik dan benar, namun begitu ngotot dan nakal dalam membaca dan menafsirkan Islam dengan pelbagai pendekatan yang cenderung mendistorsi dan merendahkan bahkan menyalahkan Islam. Bersama dengan itu, umat Islam malah begitu a priori dengan pelbagai produk keilmuan Barat; diterima begitu saja sebagai sebuah pendekatan keilmuan untuk membaca dan mengkritisi Islam.

Menurut Husein Nasr dalam bukunya yang berjudul "Islam: Religion, History and Civilization" mengatakan bahwa "Islam is both a religion and civilization" (Islam adalah agama sekaligus peradaban). Di mana Islam diandaikan bukan sekedar agama (dalam makna dogma), akan tetapi juga sebagai creator dan sebuah semangat hidup yang menjiwai tumbuh kembangnya sebuah peradaban besar yang terbentang luas lebih dari empat belas abad yang lalu (Islam is not only a reki, it is also the creator and living spirit of a major word civilization with a long history stretching over fourteen centuries). Pandangan demikian rupa-rupanya juga diamini oleh seorang orientalis yang berpengaruh dalam diskursus keilmuan Islam, yakni HAR. Gibb. Melalui karyanya yang berjudul "Whither Islam? A Survey of Modern Movement in the Moslem World", Gibb mengatakan bahwa Islam dan peradaban adalah satu kesatuan yang tidak mungkin dapat dipisahkan (Islam is indeed much more than a system of theology, it is a complete civilization).

Bahkan ada yang mencoba menjadikan Islam sebagai basis diskursus epistemologi. Sebab, apa yang menjadi diskursus epistemologi pada sesungguhnya juga disinggung dan dibahas dalam Islam, baik hal ihwal terkait dengan theory of knowledge hingga pada klasifikasi epistemologi yang terkenal itu (epistemologi bayani, epistemologi burhani dan epistemologi irfani). Tentunya, melihat perkembangan diskursus epistemologi belakangan ini dapat dikatakan Islam juga bukan semata sebuah agama, tetapi juga sebagai basis epistemologi. Untuk jelasnya kita bisa melihat terminologi kunci yang digunakan dalam theory of knowledge, mulai dari indera dan akal pikiran sebagai asal-usul dan sumber ilmu pengetahuan. Dalam Islam, indera dan lebih khusus lagi akal pikiran mendapat porsi yang begitu besar. Malahan Islam memberikan apresiasi dan support khusus dalam pengembangan akal pikiran. Banyak sekali terdapat ayat al-Qur'an dan begitu pula hadis yang menggunakan dan menekankan pentingnya penggunaan akal dalam beragama maupun secara umumnya. Bahkan produk akal pikiran yang mendapat justifikasi dan afirmasi dijadikan sebagai bagian dari sumber ajaran agama, yaitu ijtihad (qiyas dan ijma' beserta dalil-dalil yang diperselisihkan lainnya).

Terdapat kurang lebih 49 kali al-Qur'an menyebutkan akal dalam bentuk kata kerja (aqala) mulai dari QS al-Baqarah/75; QS Yusuf/109; QS al-Mulk/10; QS al-Ankabut/43 dan lain-lainnya. Semuanya ayat-ayat tersebut berbicara akal pikiran sebagai sebuah aktivitas intelektual dan pemikiran manusia. Tentunya, akal pikiran sebagai instrumen epistemologis tidak bisa bebas begitu saja digunakan untuk berpikir tanpa acuan dan atau mengacu pada prinsip-prinsip tertentu sehingga melahirkan pelbagai produk pemikiran bukan bertentangan dengan pikiran akal manusia itu sendiri, akan tetapi juga malah bertentangan dengan logika pencipta akal itu sendiri, Allah swt. Bahkan ada malah lebih tragis lagi dengan mempersoalkan dan meragukan eksistensi Tuhan sendiri dengan pelbagai kesalahpahaman dan kesesatan berpikir di dalamnya. Maka, bermunculan banyak manusia-manusia berakal, tetapi menjadi manusia sekuler, liberal atheis dan deistik. Karena, akal yang mendapat maqam khusus dalam Islam tidak digunakan sebagaimana mestinya, untuk mengenal kebenaran dan tunduk pada di dalamnya.

Ada juga mengandaikan Islam sebagai worldview atau weltanschauung. Ya, Islam sendiri memiliki pandangan dunia dan atau pandangan alam tersendiri dalam melihat totalitas realitas. Bahkan worldview Islam malah jauh lebih komprehensif dan holistik oleh sebab bukan semata hanya dunia materi saja yang menjadi objek kajian dan pandangannya, akan tetapi jauh melampaui itu semua. Islam sebagai sebuah worldview melihat semua lapisan realitas secara menyeluruh; dunia dan akhirat, fisik dan non fisik, materi dan non materi, fisika dan metafisika. Semuanya adalah satu kesatuan dalam pandangan worldview Islam. Tidak ada namanya dualisme dan dikotomi di sana. 

Islam tidak mempertentangkan dan menafikan salah satu di antaranya. Islam melalui worldviewnya membuka dan memberikan ruang secara rasional dan proporsional di dalamnya selama bisa dijadikan wasilah mendatangkan kemaslahatan bagi semesta manusia dan lingkungan alam. Perihal demikian mudah sekali untuk dilacak-temukan. Bisa langsung menengok pada teks bahasa agama yang berbicara tentang lapisan realitas. Juga gubahan pemikiran ulama yang ditorehkan dalam sejarah peradaban Islam.

Pandangan demikian setidaknya menemukan pijakan epistemologis dalam pemikiran beberapa tokoh yang terkenal cukup otoritatif dalam mempercakapkan Islam sebagai worldview. Tercatat beberapa ilmuwan muslim terkemuka yang mencoba menjelaskan Islam sebagai worldview. Masing-masing memiliki terminologi khusus dalam menyebut-istilahkan apa yang dinamakan sebagai pandangan hidup atau pandangan alam. 

Maulana al-Mawdudi mengistilahkannya dengan Islami nazariat (Islamic Vision), Sayyid Qutb menggunakan istilah al-Tasawwur al-Islamy (Islamic Vision), Mohammad Ashif al-Zayn menyebutnya al-Mabda' al-Islamy (Islamic Principle) dan SMN Alattas menamakannya dengan sebutan Ru'yatul Islam lil wujud (Islamic Worldview). Meskipun demikian, menurut Fahmi Hamid Zarkasyi, semuanya sepakat bahwa Islam memiliki pandangan alam khusus dalam melihat totalitas realitas. 

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun