Dengan kata lain, Islam tidak hanya sekadar menjadi objek pandangan alam bagi agama dan peradaban lain seperti mereka-mereka yang tidak punya "integritas" dan atau mengalami inferioritas kompleks dihadapan peradaban lain, sehingga kerjanya hanya membebek pada apa-apa yang datang dari peradaban lain sekaligus sok kritis dan ilmiah terhadap Islam dengan pelbagai produknya.
Untuk memahami lebih lanjut kita perlu mengintip lebih jauh deskripsi terhadap pandangan alam dalam perspektif masing-masing tokoh yang dipandang cukup representatif dan memberikan gambaran tentang bagaimana memposisikan Islam dalam percakapan worldview. Menurut seorang Ninian Smart, worldview adalah kepercayaan, perasaan dan apa-apa yang terdapat dalam pikiran orang yang befungsi sebagai motor bagi keberlangsungan dan perubahan sosial dan moral. Makna senada juga dikemukakan oleh seorang Thomas F Wall yang mengatakan bahwa worldview adalah sistim kepercayaan dasar yang integral tentang hakekat diri kita, realitas dan tentang makna eksistensi. Lebih luas seorang Alparslan menjelaskan bahwa worldview sebagai asas bagi setiap perilaku manusia, termasuk aktifitas-aktifitas ilmiyah dan teknologi. Pengertian worldview yang dikemukakan oleh ketiga tokoh ini pada sesungguhnya menggambarkan beberapa unsur penting dalam suatu worldview, yaitu motor bagi perubahan sosial, asas bagi pemahaman realitas dan asas bagi aktifitas ilmiah.
Sekarang, apakah unsur-unsur penting yang dikemukakan di atas tidak ada dalam Islam? Jawabannya pasti ada. Lagi-lagi, Islam malah melampaui. Sebab, bisa saja hal-hal yang menjadi unsur penting worldview tersebut hanya berbicara dalam tataran realitas materi semata. Atau dengan kata, bisa saja hal demikian memiliki jarak yang terbilang cukup jauh dengan persoalan metafisika Islam.Â
Ya, pandangan tentang hakikat worldview tersebut di atas mewakili watak daripada epistemologi dan peradaban masing-masing. Hal demikian di antaranya sebagaimana dikatakan oleh Ziauddin Sardar bahwa watak ilmu pengetahuan ditentukan oleh peradaban masing-masing.Â
Jika peradaban berbeda, maka akan melahirkan watak ilmu pengetahuan berbeda. Termasuk di dalamnya adalah worldview. Misalnya, jika asas suatu peradaban itu adalah Islam, maka produk peradaban yang dilahirkan di dalamnya juga akan bercitarasa Islam. Tidak mungkin asas peradaban Islam sementara hasilnya adalah sekuler dan liberal. Karena, sekuler dan liberal bukan watak peradaban Islam itu sendiri.
Karena itu, kita perlu kembali mengintip pengertian pandangan alam yang dikemukakan oleh seorang filsuf muslim ternama dan terkemuka berkebangsaan Melayu, SMN Alattas. Dalam pembacaan Alattas, worldview Islam (Ru'yatul Islam lil wujud) adalah pandangan Islam tentang realitas dan kebenaran yang nampak oleh mata hati kita dan yang menjelaskan hakekat wujud secara total. Menurut Hamid Fahmy Zarkasyi, di sini Alattas membicarakan worldview dalam kerangka metafisika sekaligus epistemologis.Â
Berbeda dengan pandangan Syeykh Atif al-Zayn dan Sayyid Qutb lebih cenderung mamahaminya sebagai seperangkat doktrin kepercayaan yang rasional yang implikasnya adalah ideologi. Pandangan demikian semakin memperkuat asumsi bahwa Islam sebagai worldview. Namun, worldview Islam jauh berbeda dengan worldview lain, mulai dari worldview yang berbasiskan agama selain Islam atau berbasiskan peradaban Barat yang cenderung sekuler-liberal. Hal demikian wajar karena masing-masing agama dan peradaban memiliki karakteristik dan prinsip khusus yang menjiwai lahir dan berkembangnya sebuah worldview.
***
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H