Mohon tunggu...
Azis Maloko
Azis Maloko Mohon Tunggu... Penulis - seorang pejalan yang menikmati hari-hari dengan membaca

anak nelayan berkebangsaan Lamakera nun jauh di sana, hobi membaca dan menulis, suka protes, tapi humanis dan humoris

Selanjutnya

Tutup

Sosbud Pilihan

Adat dan A'da Nawa: Sebuah Basic Ethics dalam Membangun Peradaban Lamakera

15 Juni 2023   13:49 Diperbarui: 15 Juni 2023   13:53 233
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Jika dicermati dengan seksama niscaya akan ditemukan bahwa a'da nawa mengandung dan mengandaikan sebuah basic ethics bagi kita untuk merancang-bangun (masa depan) peradaban Lamakera. Ia merupakan basic ethics yang genium dan otentik dari warisan adat dan kebudayaan kita. Di antara muatan basic ethics yang terkandung dalam konsep a'da nawa adalah sebagai berikut: 

Pertama; a'da nawa sebagai pengingat asal-usul manusia Lamakera, bahwa manusia Lamakera berasal dari kampung yang memiliki fragmentasi suku, namun punya prinsip dan semangat a'da nawa tinggi. Point ini sangat penting untuk ditekankan oleh sebab jika masyarakat Lamakera hilang kesadaran akan asal-usulnya sebagai masyarakat yang menjunjung tinggi sikap saling menghargai antar sesama, maka sangat rentan melahirkan anomali hingga patologi sosial. Bisa saja masyarakat Lamakera tidak lagi saling menghargai antar sesama hanya karena hal remeh temeh.

Kedua; a'da nawa sebagai kontrol diri (self of control). Manusia pada umumnya cenderung bebas melakukan apa pun kecuali dalam dirinya terdapat pengetahuan dan daya kontrol diri untuk bertindak karena menyadari bahwa apa pun tindakannya akan dipertanggungjawabkan baik secara moral-sosial maupun secara eskatalogis. Salah satu pengetahuan adat yang penting untuk mengontrol diri, setidaknya menjadikan kita tidak lupa pada asal-usul dan cenderung bersikap arogansi dalam berealitas, adalah a'da nawa.

Ketiga; a'da nawa sebagai sikap tawadhu (rendah hati). Tentunya fungsi semacam ini sangat penting oleh sebab semua manusia waras pasti memilih untuk menjadi manusia yang tawadhu hatta dirinya memiliki tingkat kecerdasan yang luar biasa ditambah dengan gelar yang berjejer, jabatan, harta benda dan prestasi lainnya. Karena kita menyadari betul sikap sombong adalah watak dan karakter makhluk yang bernama Iblis. Dan tentunya kita tidak ingin menjadi pengikutnya Iblis. Mendeklarasikan diri sebagai "ana khairu minhum/kum".

Selain sombong juga menjadi anomali dan patologi sosial yang sangat rentan melahirkan resistensi sosial antar sesama umat manusia. Makna sederhana dari sombong adalah menolak kebenaran dan meremehkan orang (batharal haqq wa ghamtun nas). Wujud sederhananya bisa dilihat dalam praktek kehidupan sosial kita, berupa hilangnya sikap saling menghargai dan menghormati antar sesama, lagi-lagi, hanya persoalan kecil dan remeh temeh.

Keempat; a'da nawa sebagai titik temu dalam ruang-ruang perbedaan. Tidak dapat dipungkiri bahwa perbedaan adalah sesuatu yang niscaya terjadi dalam hidup. Ia merupakan natural of law, sesuatu yang bersifat sunnatulah. Meski tidak mutlak bersifat kodrati dan given. Pun juga tidak mutlak hasil ikhtiar kemanusiaan secara an sich. Karena di sana ada ikhtiar dan juga ada kuasa Tuhan. Di antaranya terjadi titik temu dan titik jumpa, sehingga menjadi takdir kehidupan bagi segenap manusia. 

Olehnya, perbedaan pada sesungguhnya tidak bisa dihilangkan dari jejak sejarah kehidupan manusia. Kekuatan apa pun tidak bisa untuk menghilangkannya. Jangankan kekuatan dan kekuasaan politik, orang terdekat Tuhan yang bernama Nabi dan Rasul saja tidak memiliki kuasa untuk menjadikan semua umat manusia menyatu dan bersatu dalam sebuah agama tanpa ada perbedaan di dalamnya. Bahkan Tuhan sendiri sudah mengkhotbahkan bahwa perbedaan sudah menjadi takdir. Karena itu, kita sangat mudah menemukan ruang-ruang perbedaan di mana-mana, termasuk dalam institusi keluarga, mereka yang memiliki struktur emosional yang sangat dekat sekalipun. Selain karena takdir, juga karena setiap orang memiliki struktur epistemologi, worldview dan ideologi yang berbeda-beda pula.

Maka, dibutuhkan sebuah konsep yang dapat menjembatani perbedaan-perbedaan, agar perbedaan tidak menjadi kekuatan untuk saling berantem, hantam, pukul, sikat dan sikut, akan tetapi bisa menjadi kekuatan untuk membangun. Di luar sana sudah cukup banyak konsep teoretis yang ditawarkan, mulai dari konsep toleransi (tasamuh), pancasilaisasi kehidupan kebangsaan hingga konsep terbaru yang diperkenalkan dan dipopulerkan oleh mantan menteri agama, Lukman Hakim Saifuddin, yang bernama moderasi beragama. 

Masyarakat Lamakera memiliki konsep yang serupa, yakni a'da nawa. Di mana konsep ini menjadi titik temu dan titik jumpa dalam setiap perbedaan. Jika saja terjadi perbedaan yang tidak bisa dikompromikan secara epistemologis, maka konsep a'da nawa sebagai solusinya dengan cara menerima dan merayakan perbedaan dengan prinsip dan semangat a'da nawa.

Khatimah

Dengan memahami dan menginternalisasi basic ethics peradaban dalam konsep a'da nawa, maka kita akan menjumpai realitas kehidupan masyarakat Lamakera sungguh sangat indah sekali. Semua saling menghargai antar sesama. Tidak hanya orang kecil, tetapi juga orang besar. Tidak hanya anak sekolah, tetapi juga anak yang tidak sekolah. Tidak hanya orang yang bergelar tinggi, berpangkat, berjabatan dan lainnya. Semuanya saling a'da nawa karena itu bagian dari identitas inhern masyarakat Lamakera.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun