Mohon tunggu...
Azis Maloko
Azis Maloko Mohon Tunggu... Penulis - seorang pejalan yang menikmati hari-hari dengan membaca

anak nelayan berkebangsaan Lamakera nun jauh di sana, hobi membaca dan menulis, suka protes, tapi humanis dan humoris

Selanjutnya

Tutup

Sosbud Pilihan

Adat dan A'da Nawa: Sebuah Basic Ethics dalam Membangun Peradaban Lamakera

15 Juni 2023   13:49 Diperbarui: 15 Juni 2023   13:53 233
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Sosbud. Sumber ilustrasi: KOMPAS.com/Pesona Indonesia

Azis Maloko, M.H.

Lamakera boleh dikatakan sebagai kampung adat. Kampung yang memiliki adat istiadat yang unik dan tentunya sangat menjunjung tinggi adat. Hal ini bisa dilihat dari berbagai aktivitas yang berlangsung di Lamakera. Tidak ada ruang sedikit pun dalam aktivitas kehidupan masyarakat Lamakera melainkan di sana ada (cita rasa) adatnya.

Banyak contoh praktikal kehidupan masyarakat yang selalu disertai adat Istiadat. Bahkan bertalian dengan (hal ihwal) agama sekali pun juga adat semacam tidak absen. Di sini bisa dikatakan ada "keunikan" bagi masyarakat muslim Lamakera dalam menterjemahkan relasi agama dan adat. Misalnya soal pernikahan bukan saja soal agama, tetapi di sana terdapat muatan-muatan adat istiadat yang begitu kental, mulai dari pra hingga dengan pasca pernikahan.

Meskipun demikian, masyarakat Lamakera juga dikenal dan diakui sebagai masyarakat religius; suatu masyarakat yang mempunyai tingkat kesadaran religius yang terbilang cukup baik. Bukan saja pengakuan yang bersifat subjektif karena bagian dari comunitas masyarakat Lamakera, akan etapi karena objektivasi kenyataannya di lapangan dalam segmentasi kegiatan masyarakat pun selalu menyertai nilai-nilai religiusitas. Lebih dari itu, ada beberapa "peneliti lepas" dari luar Lamakera yang berkunjung dan melakukan penelitian terhadap kehidupan masyarakat Lamakera pun mengandaikan demikian.

Jika sekiranya seorang Christian Snouck Hurgronje (1757 - 1837) masih hidup dan mau sedikit memperluas "penelitian prematur"-nya terhadap relasi agama dengan adat di pulau bagian timur Indonesia, maka ia tidak hanya melahirkan teori sesatnya yang bernama "receptie" (yang mengandaikan bahwa hukum adat sebagai "tuhan" dalam menentukan boleh dan tidaknya hukum Islam diterapkan hatta dalam comunitas masyarakat muslim sekali pun), tetapi juga teori-teori lainnya. 

Bisa saja dalam konteks demikian SCH malah bersepakat dengan teori-teori pemberlakuan hukum (Islam) sebelumnya mulai dari teori Kredo hingga teori receptie in complexu maupun setelahnya baik teori receptie exis Prof. Hazairin, teori receptie a contrario hingga teori konstitusi. Sebab, tidak semua masyarakat adat (muslim) bersifat antagonistik dan konfrontatif dengan hukum Islam yang notabene merupakan bagian integral dari identitas inhern keberagamannya.

Kalau pun ada kecenderungan lain seperti yang terjadi pada masanya dan pada rezim orba, maka hal demikian lebih disebabkan karena terjadinya perjumpaan peradaban yang melahirkan nalar yang cenderung inforior dihadapan nalar peradaban lainnya. Pada sisi lain, kecenderungan nalar politik rezim yang sekuler liberal juga cukup berperan penting di dalamnya. Sehingga faktornya tidak otentik, ada faktor-faktor lain bahkan bersifat destruktif negatif.

Di Aceh sana yang menjadi tempat penelitian relasi agama dan adat sekalipun tidak semuanya berpandangan sama seperti apa yang menjadi pahaman dan kesimpulannya dalam rumusan teori receptie. Namun, karena watak worldview yang menjadi alas pijak dalam membaca rumuskan sebuah fakta bersifat sekuler liberalistik, maka ia cenderung membawa nalarnya dalam lingkaran setan yang bernama thinking of vallacy, di antaranya melakukan over general terhadap keberterimaan hukum adat terhadap hukum Islam sebagai syarat penerapan dan pemberlakuan hukum Islam.

Berbeda dengan Lamakera, dengan komitmen adatnya yang tinggi masih tetap memberikan ruang yang selebar-lebarkan terhadap aktualisasi nilai-nilai ajaran agama, baik yang bersifat formalistik maupun bersifat substantif. Dalam diksi yang lain, masyarakat Lamakera memiliki pandangan dan juga komitmen bahwa agama dan adat bagaikan dua sisi mata uang yang tak terpisahkan. Agama dan adat bisa berjalan beriringan bahkan bergandengan tangan mesra penuh romantika bak sepasang kekasih. 

Setidaknya poin terakhir itulah yang sering menjadi buah tutur para orang tua, selain fakta-fakta yang eksis dalam kehidupan masyarakat. Di mana tidak ada ceritanya masyarakat Lamakera membatasi ruang aktualisasi nilai-nilai ajaran agama sebagaimana yang diasumsikan oleh CSH. Yang ada malah memberikan ruang bahkan mensupportnya. Karena, lagi-lagi, masyarakat Lamakera bukan cuman beradat, tetapi juga berwatak religius.

Dalam konteks demikian, terjadi titik temu dan ruang perjumpaan dengan hukum Islam. Di mana hukum Islam semenjak dari sononya tidak memandang "sinis" dan anti secara mutlak terhadap konstruksi adat istiadat yang lahir dan eksis di Makkah dan sekitarnya hingga dengan belahan dunia lainnya termasuk di Indonesia tentunya. Hukum Islam hanya agak sedikit selektif dan ketat dengan beberapa muatan adat istiadat. Tentunya adat istiadat yang dipandang bertentangan dengan nalar teologis maupun fikih Islam.

Olehnya, terdapat rumusan kaidah fikih yang menjelaskan relasi agama (Islam) dan adat istiadat. Di antara kaidah fikih yang cukup familiar _setidaknya dalam ruang-ruang percakapan akademik_ adalah "al-'adat al-muhakkamah"; adat bisa dijadikan sebagai bagian dari sumber hukum Islam dan atau bisa menjadi sumber dalam pengalihan dan penetapan hukum Islam. Kaidah tersebut tetap relevan hingga dengan saat ini. Karena, kaidah tersebut sangat berfungsi dalam masalah fikih (masailul fiqh) khususnya yang berkaitan dengan fikih muashirah (persoalan fikih kontemporer).

Dari kaidah tersebut pula kita pahami betapa luar biasa rasional dan proporsionalnya hukum Islam memberlakukan karya, cipta dan rasa yang dihasil-lahirkan oleh manusia-manusia berbudi-daya (berbudaya). Hukum Islam tidak anti dengan akal dan apa yang menjadi produk akal pikiran. Karena itu, selain kaidah tersebut, hukum Islam juga memberikan ruang khusus bagi mujtahid untuk mengaktualisasikan potensi akalnya untuk berijtihad memahami persoalan demi persoalan yang terjadi, yang tidak ditemukan ketentuan hukum dalam Al-Qur'an, Sunnah, Ijma maupun qaul ulama.

Makna Adat sebagai A'da Nawa

Termasuk khazanah masyarakat Lamakera yang menarik adalah terkait konsep adat (bukan muatan adat). Di mana masyarakat Lamakera tidak hanya memaknai konsep adat sebagaimana halnya dalam percakapan akademik, tetapi juga secara khusus menghadirkan tafsir tersendiri dalam memahami totalitas adat yang berlaku. Tentunya tafsiran tersebut tidak terlepas dari cara pandang dan karakter masyarakatnya.

Bahwa adat bukan hanya sebuah gagasan kebudayaan yang terdiri dari nilai-nilai budaya, norma, kebiasaan, kelembagaan, dan hukum adat yang mengatur tingkah laku manusia antara satu sama lain yang lazim dilakukan di suatu kelompok masyarakat. Juga bukan adat dalam makna suatu perkara yang diulang-ulang tanpa sangkut-paut akal dalam prosesnya ('alqah 'aqliyyah) yang mencakup aksi (al-fi'l) dan ucapan (al-qaul) yang diulang-ulang, baik bersumber dari individu ataupun kelompok dalam suatu masyarakat sebagaimana dikatakan oleh Ibnu Amir al-Hajj.

Atau bukan juga adat yang naik levelnya menjadi 'urf, yaitu: segala hal yang telah menjadi kebiasaan dan diakui oleh orang banyak, baik dalam bentuk perbuatan yang berkembang di antara mereka, ataupun lafal yang menunjukkan makna tertentu, yang berbeda dengan makna bahasa sebagaimana dijelaskan oleh Wahbah al-Zuhaily. Bukan juga makna-makna adat yang dikemukakan oleh Cornelis van Vollenhoven, Christian Snouck Hurgronje, B. Ter Haar, R. Soepomo, M.M. Djojodigoeno, Soerjono Soekanto, J.H.P. Bellefroid, Hazairin maupun tokoh dan pakar hukum adat lainnya.

Akan tetapi, makna konsep adat dalam perspektif masyarakat Lamakera melampaui itu semua. Ia dimaknai dan ditafsirkan sebagai bagian dari upaya a'da nawa dalam proses dan rangkaian adat istiadat maupun aktivitas pada umumnya. A'da nawa adalah terminologi khas Lamakera yang terdiri dari dua kata, yaitu a'da dan nawa. Secara bahasa, kata a'da bermakna sikap saling menghormai dan menghargai. Sementara kata nawa bermakna sesama. Jika diterjemahkan secara umum berarti "sikap saling memahami dan menghargai antar sesama". Sengaja memasukkan kata memahami sebelum a'da (menghargai) oleh sebab sikap saling menghargai adalah hasil dari sikap saling memahami. Tanpa sikap saling memahami niscaya akan sulit rasanya lahir sikap saling menghargai antar sesama kita.

Sehingga, secara tidak langsung konsep ini meniscayakan adalah aktivitas berpikir memahami segala sesuatu, baik melalui ruang pendidikan formal maupun ruang pendidikan non formal. Tentunya aktivitas berpikirnya tetap dalam kerangka "a'da nawa" (saling menghargai antar sesama) maupun ditujukan ke sana. Seolah-olah frase "a'da nawa" sebagai basis sekaligus pengikat dan pengingat dalam rangkaian aktivitas berpikir sehingga tidak melahirkan manusia Lamakera yang hilang akar kelamakeraannya.

Jika kita membacanya dalam terminologi hukum Islam, konsep adat tersebut masuk dalam kategori adat/'urf dari segi objeknya yang terbagi menjadi dua, yaitu: 'urf lafzi atau 'urf qauliy (verbal custom) dan 'urf 'amaliy (actual custom). Posisi makna adat sebagai "a'da nawa" bukan saja sebagai 'urf lafzi (sebuah istilah khusus yang diberikan oleh suatu komunitas masyarakat menunjuk makna tertentu pada suatu hal, sehingga makna itulah yang dipahami dan terlintas dalam pikiran), tapi sekaligus urf amaly (sebuah amalan khusus yang dipraktekkan oleh suatu comunitas masyarakat terhadap suatu hal).

Artinya, konsep a'da nawa bukan sekedar pengakuan semata, akan tetapi ia membumi dalam semua gerak-gerik aktivitas kehidupan masyarakat Lamakera pada umumnya. Pun bukan semata berbicara dan berlaku dalam ruang lingkup urusan adat istiadat, akan tetapi juga berlaku dalam segenap aspek dan lini kehidupan masyarakat Lamakera. Maka, bisa dikatakan bahwa bukanlah orang Lamakera kalau-kalau orangnya tidak mengakrabi konsep a'da nawa dalam segenap laku dan tindakan hidupnya. Sebab, konsep a'da nawa bukan semata sebuah "urf lafzhi" yang berbeda dan membedakannya dengan konsep adat lain, akan tetapi sudah menjadi "urf qauly" bagi masyarakat Lamakera.

Basic Ethics Peradaban dalam Konsep A'da Nawa

Jika dicermati dengan seksama niscaya akan ditemukan bahwa a'da nawa mengandung dan mengandaikan sebuah basic ethics bagi kita untuk merancang-bangun (masa depan) peradaban Lamakera. Ia merupakan basic ethics yang genium dan otentik dari warisan adat dan kebudayaan kita. Di antara muatan basic ethics yang terkandung dalam konsep a'da nawa adalah sebagai berikut: 

Pertama; a'da nawa sebagai pengingat asal-usul manusia Lamakera, bahwa manusia Lamakera berasal dari kampung yang memiliki fragmentasi suku, namun punya prinsip dan semangat a'da nawa tinggi. Point ini sangat penting untuk ditekankan oleh sebab jika masyarakat Lamakera hilang kesadaran akan asal-usulnya sebagai masyarakat yang menjunjung tinggi sikap saling menghargai antar sesama, maka sangat rentan melahirkan anomali hingga patologi sosial. Bisa saja masyarakat Lamakera tidak lagi saling menghargai antar sesama hanya karena hal remeh temeh.

Kedua; a'da nawa sebagai kontrol diri (self of control). Manusia pada umumnya cenderung bebas melakukan apa pun kecuali dalam dirinya terdapat pengetahuan dan daya kontrol diri untuk bertindak karena menyadari bahwa apa pun tindakannya akan dipertanggungjawabkan baik secara moral-sosial maupun secara eskatalogis. Salah satu pengetahuan adat yang penting untuk mengontrol diri, setidaknya menjadikan kita tidak lupa pada asal-usul dan cenderung bersikap arogansi dalam berealitas, adalah a'da nawa.

Ketiga; a'da nawa sebagai sikap tawadhu (rendah hati). Tentunya fungsi semacam ini sangat penting oleh sebab semua manusia waras pasti memilih untuk menjadi manusia yang tawadhu hatta dirinya memiliki tingkat kecerdasan yang luar biasa ditambah dengan gelar yang berjejer, jabatan, harta benda dan prestasi lainnya. Karena kita menyadari betul sikap sombong adalah watak dan karakter makhluk yang bernama Iblis. Dan tentunya kita tidak ingin menjadi pengikutnya Iblis. Mendeklarasikan diri sebagai "ana khairu minhum/kum".

Selain sombong juga menjadi anomali dan patologi sosial yang sangat rentan melahirkan resistensi sosial antar sesama umat manusia. Makna sederhana dari sombong adalah menolak kebenaran dan meremehkan orang (batharal haqq wa ghamtun nas). Wujud sederhananya bisa dilihat dalam praktek kehidupan sosial kita, berupa hilangnya sikap saling menghargai dan menghormati antar sesama, lagi-lagi, hanya persoalan kecil dan remeh temeh.

Keempat; a'da nawa sebagai titik temu dalam ruang-ruang perbedaan. Tidak dapat dipungkiri bahwa perbedaan adalah sesuatu yang niscaya terjadi dalam hidup. Ia merupakan natural of law, sesuatu yang bersifat sunnatulah. Meski tidak mutlak bersifat kodrati dan given. Pun juga tidak mutlak hasil ikhtiar kemanusiaan secara an sich. Karena di sana ada ikhtiar dan juga ada kuasa Tuhan. Di antaranya terjadi titik temu dan titik jumpa, sehingga menjadi takdir kehidupan bagi segenap manusia. 

Olehnya, perbedaan pada sesungguhnya tidak bisa dihilangkan dari jejak sejarah kehidupan manusia. Kekuatan apa pun tidak bisa untuk menghilangkannya. Jangankan kekuatan dan kekuasaan politik, orang terdekat Tuhan yang bernama Nabi dan Rasul saja tidak memiliki kuasa untuk menjadikan semua umat manusia menyatu dan bersatu dalam sebuah agama tanpa ada perbedaan di dalamnya. Bahkan Tuhan sendiri sudah mengkhotbahkan bahwa perbedaan sudah menjadi takdir. Karena itu, kita sangat mudah menemukan ruang-ruang perbedaan di mana-mana, termasuk dalam institusi keluarga, mereka yang memiliki struktur emosional yang sangat dekat sekalipun. Selain karena takdir, juga karena setiap orang memiliki struktur epistemologi, worldview dan ideologi yang berbeda-beda pula.

Maka, dibutuhkan sebuah konsep yang dapat menjembatani perbedaan-perbedaan, agar perbedaan tidak menjadi kekuatan untuk saling berantem, hantam, pukul, sikat dan sikut, akan tetapi bisa menjadi kekuatan untuk membangun. Di luar sana sudah cukup banyak konsep teoretis yang ditawarkan, mulai dari konsep toleransi (tasamuh), pancasilaisasi kehidupan kebangsaan hingga konsep terbaru yang diperkenalkan dan dipopulerkan oleh mantan menteri agama, Lukman Hakim Saifuddin, yang bernama moderasi beragama. 

Masyarakat Lamakera memiliki konsep yang serupa, yakni a'da nawa. Di mana konsep ini menjadi titik temu dan titik jumpa dalam setiap perbedaan. Jika saja terjadi perbedaan yang tidak bisa dikompromikan secara epistemologis, maka konsep a'da nawa sebagai solusinya dengan cara menerima dan merayakan perbedaan dengan prinsip dan semangat a'da nawa.

Khatimah

Dengan memahami dan menginternalisasi basic ethics peradaban dalam konsep a'da nawa, maka kita akan menjumpai realitas kehidupan masyarakat Lamakera sungguh sangat indah sekali. Semua saling menghargai antar sesama. Tidak hanya orang kecil, tetapi juga orang besar. Tidak hanya anak sekolah, tetapi juga anak yang tidak sekolah. Tidak hanya orang yang bergelar tinggi, berpangkat, berjabatan dan lainnya. Semuanya saling a'da nawa karena itu bagian dari identitas inhern masyarakat Lamakera.

Sungguh luar biasa indah dan menakjubkan jika kita melihat potret kehidupan di Lamakera. Orang yang terkenal sebagai "kaum elit" sekali pun memiliki tingkat kesadaran akan karakter kelamakeraan teramat sangat tinggi dalam hal mengadabi masyarakat. Contoh paling kontrit adalah maja nana, opu, abah, kaka, wae, binne, icci dan seterusnya. Ini semua dilakukan, lagi-lagi, karena konsep a'da nawa begitu mengakar urat dalam diri sehingga sejauh mana pun perjalanan kita dengan capaian prestisius masing-masing, tetap ada kerinduan untuk kembali pulang dan saling mengingat dalam makna a'da nawa.

Selain itu, a'da nawa juga akan mengajak dan sekaligus menuntun kita untuk kembali melihat dan menengok ke dalam diri (masing-masing), menghapus jejak-jejak nalar kebencian yang beredar dan atau mengakar-urat dalam urat nadi manusia Lamakera ketika melihat dan menyikapi pelbagai hal. Hingga pada akhirnya tidak ada lagi alasan dan ceritanya sesama anak Lamakera saling hantam, gunting, sikat dan sikut karena perbedaan. Sehingga, potensi dan kesempatan untuk membangun kohesi sosial dan tenun persatuan dalam kerangka kolaborasi dan partisipasi aktif akan terbuka lebar bagi manusia Lamakera untuk sama-sama berjuang dan mewujudkan (masa depan) peradaban Lamakera.

Semoga Allah mengampuni dan merahmati para leluhur kita yang telah mewariskan sebuah konsep penting dalam berlamakera.

***

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun