Olehnya, terdapat rumusan kaidah fikih yang menjelaskan relasi agama (Islam) dan adat istiadat. Di antara kaidah fikih yang cukup familiar _setidaknya dalam ruang-ruang percakapan akademik_ adalah "al-'adat al-muhakkamah"; adat bisa dijadikan sebagai bagian dari sumber hukum Islam dan atau bisa menjadi sumber dalam pengalihan dan penetapan hukum Islam. Kaidah tersebut tetap relevan hingga dengan saat ini. Karena, kaidah tersebut sangat berfungsi dalam masalah fikih (masailul fiqh) khususnya yang berkaitan dengan fikih muashirah (persoalan fikih kontemporer).
Dari kaidah tersebut pula kita pahami betapa luar biasa rasional dan proporsionalnya hukum Islam memberlakukan karya, cipta dan rasa yang dihasil-lahirkan oleh manusia-manusia berbudi-daya (berbudaya). Hukum Islam tidak anti dengan akal dan apa yang menjadi produk akal pikiran. Karena itu, selain kaidah tersebut, hukum Islam juga memberikan ruang khusus bagi mujtahid untuk mengaktualisasikan potensi akalnya untuk berijtihad memahami persoalan demi persoalan yang terjadi, yang tidak ditemukan ketentuan hukum dalam Al-Qur'an, Sunnah, Ijma maupun qaul ulama.
Makna Adat sebagai A'da Nawa
Termasuk khazanah masyarakat Lamakera yang menarik adalah terkait konsep adat (bukan muatan adat). Di mana masyarakat Lamakera tidak hanya memaknai konsep adat sebagaimana halnya dalam percakapan akademik, tetapi juga secara khusus menghadirkan tafsir tersendiri dalam memahami totalitas adat yang berlaku. Tentunya tafsiran tersebut tidak terlepas dari cara pandang dan karakter masyarakatnya.
Bahwa adat bukan hanya sebuah gagasan kebudayaan yang terdiri dari nilai-nilai budaya, norma, kebiasaan, kelembagaan, dan hukum adat yang mengatur tingkah laku manusia antara satu sama lain yang lazim dilakukan di suatu kelompok masyarakat. Juga bukan adat dalam makna suatu perkara yang diulang-ulang tanpa sangkut-paut akal dalam prosesnya ('alqah 'aqliyyah) yang mencakup aksi (al-fi'l) dan ucapan (al-qaul) yang diulang-ulang, baik bersumber dari individu ataupun kelompok dalam suatu masyarakat sebagaimana dikatakan oleh Ibnu Amir al-Hajj.
Atau bukan juga adat yang naik levelnya menjadi 'urf, yaitu: segala hal yang telah menjadi kebiasaan dan diakui oleh orang banyak, baik dalam bentuk perbuatan yang berkembang di antara mereka, ataupun lafal yang menunjukkan makna tertentu, yang berbeda dengan makna bahasa sebagaimana dijelaskan oleh Wahbah al-Zuhaily. Bukan juga makna-makna adat yang dikemukakan oleh Cornelis van Vollenhoven, Christian Snouck Hurgronje, B. Ter Haar, R. Soepomo, M.M. Djojodigoeno, Soerjono Soekanto, J.H.P. Bellefroid, Hazairin maupun tokoh dan pakar hukum adat lainnya.
Akan tetapi, makna konsep adat dalam perspektif masyarakat Lamakera melampaui itu semua. Ia dimaknai dan ditafsirkan sebagai bagian dari upaya a'da nawa dalam proses dan rangkaian adat istiadat maupun aktivitas pada umumnya. A'da nawa adalah terminologi khas Lamakera yang terdiri dari dua kata, yaitu a'da dan nawa. Secara bahasa, kata a'da bermakna sikap saling menghormai dan menghargai. Sementara kata nawa bermakna sesama. Jika diterjemahkan secara umum berarti "sikap saling memahami dan menghargai antar sesama". Sengaja memasukkan kata memahami sebelum a'da (menghargai) oleh sebab sikap saling menghargai adalah hasil dari sikap saling memahami. Tanpa sikap saling memahami niscaya akan sulit rasanya lahir sikap saling menghargai antar sesama kita.
Sehingga, secara tidak langsung konsep ini meniscayakan adalah aktivitas berpikir memahami segala sesuatu, baik melalui ruang pendidikan formal maupun ruang pendidikan non formal. Tentunya aktivitas berpikirnya tetap dalam kerangka "a'da nawa" (saling menghargai antar sesama) maupun ditujukan ke sana. Seolah-olah frase "a'da nawa" sebagai basis sekaligus pengikat dan pengingat dalam rangkaian aktivitas berpikir sehingga tidak melahirkan manusia Lamakera yang hilang akar kelamakeraannya.
Jika kita membacanya dalam terminologi hukum Islam, konsep adat tersebut masuk dalam kategori adat/'urf dari segi objeknya yang terbagi menjadi dua, yaitu: 'urf lafzi atau 'urf qauliy (verbal custom) dan 'urf 'amaliy (actual custom). Posisi makna adat sebagai "a'da nawa" bukan saja sebagai 'urf lafzi (sebuah istilah khusus yang diberikan oleh suatu komunitas masyarakat menunjuk makna tertentu pada suatu hal, sehingga makna itulah yang dipahami dan terlintas dalam pikiran), tapi sekaligus urf amaly (sebuah amalan khusus yang dipraktekkan oleh suatu comunitas masyarakat terhadap suatu hal).
Artinya, konsep a'da nawa bukan sekedar pengakuan semata, akan tetapi ia membumi dalam semua gerak-gerik aktivitas kehidupan masyarakat Lamakera pada umumnya. Pun bukan semata berbicara dan berlaku dalam ruang lingkup urusan adat istiadat, akan tetapi juga berlaku dalam segenap aspek dan lini kehidupan masyarakat Lamakera. Maka, bisa dikatakan bahwa bukanlah orang Lamakera kalau-kalau orangnya tidak mengakrabi konsep a'da nawa dalam segenap laku dan tindakan hidupnya. Sebab, konsep a'da nawa bukan semata sebuah "urf lafzhi" yang berbeda dan membedakannya dengan konsep adat lain, akan tetapi sudah menjadi "urf qauly" bagi masyarakat Lamakera.
Basic Ethics Peradaban dalam Konsep A'da Nawa