Mohon tunggu...
Azida Fazlina
Azida Fazlina Mohon Tunggu... Lainnya - Mahasiswa

Menulis

Selanjutnya

Tutup

Ruang Kelas

Proses Penyelesaian Konflik Perkawinan di Pengadilan Agama (Studi Perbandingan Antara Hukum Keluarga di Indonesia dan Hukum Islam)

16 Maret 2024   20:53 Diperbarui: 16 Maret 2024   21:02 151
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Membahas tentang konsep perdamaian dan sulh. Perdamaian dalam literatur Islam terkadang disamakan dengan Islah atau Sulh, yang dalam hal ini sangat dianjurkan dalam Al-Qur'an. Islah merupakan proses penyelesaian sengketa dimana para pihak sepakat untuk mengakhiri perkara secara damai. Menurut para ulama fiqih, kata "Islah" diartikan sebagai perjanjian yang dilakukan untuk menghilangkan konflik antar umat yang bermusuhan, baik individu maupun kelompok. Oleh karena itu, sulh diartikan sebagai kontrak (ridha meridhai) untuk menyelesaikan perselisihan secara sukarela. Definisi ini menjelaskan bahwa kesepakatan bersama atau kesediaan para pihak untuk menyelesaikan suatu perselisihan merupakan dasar dari proses Sulh. Dalam konteks ini, rekonsiliasi tidak akan tercapai jika para pihak tidak mampu berkompromi dan memenuhi keinginan masing-masing.


Sulh memerlukan pernyataan persetujuan dari para pihak yang bersengketa untuk menyelesaikan perselisihannya.Pernyataan ini diterjemahkan oleh perjanjian yang dibuat oleh mereka dan dilaksanakan oleh Sighat Ijab dan Qabul. Menurut aturan hukum Islam (fiqh), kepuasan adalah elemen mendasar dari setiap kontrak atau perjanjian. Meskipun ijab merupakan unsur subjektif yang bersifat internal (batin) dan hanya dapat dipastikan melalui ungkapan lahiriah (zahir) para pihak yang berkontrak, namun para ahli hukum berpendapat bahwa ijab secara objektif dapat dibuktikan dengan sighat. Sebagai balasannya, Ijab (penawaran) dan Qabul (penerimaan).


Perdamaian bukan berarti penggugat dan tergugat mendapat persamaan hak dalam penyelesaiannya. Penggugat dapat menerima sebagian atau seluruh hak yang diklaim. Selain itu, penggugat mungkin tidak menerima kembali barang yang diminta dan mungkin menerima barang pengganti. Dalam hal ini, fuqaha' mengklasifikasikan sulh ke dalam beberapa kategori berdasarkan tuduhannya.


Pertama, sulh muncul melalui substitusi (sulh mu'awadah). Dengan kata lain, penggugat menuntut hak milik terhadap tergugat berupa 'ayn (corporeal property) atau 'dayn (utang), yang diakui oleh tergugat. Kemudian gunakan keunggulan objek lain atau objek yang diklaim untuk menimpanya. Dengan kata lain, perjanjian dengan ahli waris berarti penggugat setuju untuk mengambil alih dari ahli waris, dan bukannya menuntut hak-hak yang dituntut. Para ahli hukum sepakat bahwa konsep sulh ini diperlukan karena melibatkan pertukaran properti dengan properti. Sulh jenis ini menganut syarat dan hukum jual beli, meskipun dilakukan dalam pengucapan sulh.
Kedua, menurut para ahli hukum Syafi'i, Sulh dengan menghilangkan dan melepaskan hak untuk disebut Sulh al-Isqat ma al-Ibra, atau Sur al-Hatitah. Apabila penggugat menuntut dirinya digugat karena suatu hak milik atau dayn (hutang), maka tergugat mengakui tuntutannya (sulh al-iqrar) dan mencabut sebagian hak yang dituntut penggugat. Sehubungan dengan itu, penggugat setuju untuk menerima atau menerima sebagian saja dari tuntutannya. Sulh al-hatitah termasuk dalam kategori Hibah, jadi semua aturan Hibah berlaku, terlepas dari apakah diucapkan Sulh atau Hibah.
Kemudian konsep mediasi dan tahkim, Konsep takim (hakam) dalam Islam sendiri berbeda dengan konsep mediasi dalam hukum Indonesia. Ruang lingkup Tahkim (Hakam) menunjuk pada persoalan-persoalan yang seluruhnya berkaitan dengan "huquq al-'ibad" (hak-hak individu), yaitu aturan-aturan hukum yang mengatur tentang hak-hak individu. Karena tujuan takim (hakam) hanya untuk menyelesaikan perselisihan dengan cara damai, maka hanya perselisihan yang sifatnya dapat diselesaikan yang dapat diselesaikan dengan cara damai. Para ahli hukum Islam dari mazhab Hanafiyyah, Malikiyah, dan Hambaliyah sepakat bahwa  keputusan pengadilan (arbitrase) tidak memerlukan persetujuan terlebih dahulu dari kedua belah pihak dan langsung mengikat para pihak yang bersengketa. Pendapat ini juga didukung oleh sebagian ahli hukum Syafi'i. Wahbah Zuhaili mengatakan Hakam adalah sosok profesional yang mengutamakan upaya adil dan damai. Persyaratan profesional Hakam dirancang untuk menjamin penanganan yang cepat, akurat dan kompeten ketika menangani kasus-kasus serius seperti Syiqaq.


 Mengingat syarat-syarat di atas yang dikemukakan oleh beberapa ulama, maka yang membedakan syarat-syarat di atas adalah bahwa perkara Syiqaq merupakan suatu perselisihan yang berat dan berakibat fatal (perceraian) sehingga berlaku syarat kedewasaan. Hal ini bertujuan untuk memastikan bahwa hakim tetap tegas dalam mempertimbangkan, menyelidiki dan menyelesaikan masalah ini. Persyaratan keadilan ini dimaksudkan untuk memastikan bahwa hakim yang menangani masalah syiqaq benar-benar memahami masalah tersebut untuk mempertimbangkan hasil akhir dari perceraian atau kelanjutan keluarga, dan bahwa mereka yang membahasnya juga memahami rasa keadilan. Allah berfirman dalam surat Al Ma'idah ayat 8: "Hai orang-orang yang beriman, hendaklah kamu menjadi orang-orang yang selalu menegakkan kebenaran, karena Allah adalah saksi keadilan". Dalam ayat lain (Surah Sad, ayat 26) Allah berfirman, "Maka berilah keputusan perkara diantara manusia dengan adil".

KESIMPULAN

IDENTITAS BUKU
Judul Buku: PROSES PENYELESAIAN KONFLIK PERKAWINAN DI PENGADILAN AGAMA (Studi Perbandingan Antara Hukum Keluarga di Indonesia dan Hukum Islam)
Penulis: Bani Syarif Maula M.Ag.
Penerbit: Lontar Mediatama (Maguwo No. 216D Banguntapan, Bantul, Yogyakarta
Cetakan Pertama: 2018
Editor: Mawi Khusni Albar
Jumlah Halaman: 90 halaman

KESIMPULAN DARI REVIEW

Keseluruhan tulisan dalam buku ini disampaikan dengan bahasa yang tertata, cukup baku tetapi mudah untuk dimengerti, namun juga ada di beberapa bagian yang penggunaan bahasanya yang terlalu baku sehingga membuat pembaca kurang bisa memahami dengan jelas. Selain itu penataan setiap sub bab juga rapi sehingga pembaca tidak kebingungan dalam membaca, karena babnya tertata secara runtut. Buku ini berisi materi-materi penyelesaian konflik perkawinan, dasar hukum, dan menceritakan proses-proses penyelesaian konflik di pengadilan, tetapi juga banyak dilampirkan konsep dan teori-teori yang di gunakan dalam penyelesaian konflik di pengadilan. Tujuan buku ini dibuat dan diterbitkan yaitu, guna mengetahui cara penyelesaian konflik perkawinan menurut hukum islam, dan untuk mengetahui seberapa besar tingkat penggunaan konsep sulh di pengadilan agama.


Dari sini kita dapat percaya bahwa lembaga peradilan akan melayani umat Islam Indonesia yang mencari keadilan dan kepastian hukum dalam perkara perdata tertentu, sebagaimana tercantum dalam Pasal 54 Undang-undang Nomor 7 Tahun 1987 tentang Peradilan Agama: "Hukum Acara yang berlaku pada Pengadilan dalam lingkungan Peradilan Agama adalah Hukum Acara Perdata yang berlaku pada Pengadilan dalam lingkungan Peradilan Umum, kecuali yang telah diatur secara khusus dalam Undang-Undang ini". Dan penyelesaian konflik perkawinan melalui peradilan harus dihadapan majelis hakim yang sudah disebutkan oleh pasal 65 UU No. 7/1989. Setelah salah satu pihak (istri dan suami) mengajukan gugatan/permohonan cerai ke pengadilan, otoritas kehakiman berupaya melakukan rekonsiliasi.
Karena Indonesia tidak memiliki ketentuan perdamaian, upaya perdamaian antar pihak bersifat timbal balik, dan tampaknya tidak ada intervensi dari negara. Sistem titik tumpu ini berbeda dengan negara lain yang tidak melakukan intervensi pengadilan. Menerima perselisihan perkawinan jika kedua belah pihak belum melakukan mediasi/arbitrase perkawinan. Bukti tahapan mediasi antara para pihak adalah bukti dokumen/surat keterangan dari lembaga mediasi.
 Penyelesaian konflik perkawinan (munakahat) menurut hukum Islam dimulai dengan keterlibatan juru damai keluarga (hakam). Melakukan mediasi agar pasangan dapat menunjuk orang lain sebagai mediator. Apabila upaya terakhir ini tidak memberikan penyelesaian, Anda dapat mengajukan penyelesaian perselisihan perkawinan Anda kepada hakim dalam sidang pengadilan.
 Selain itu juga menjelaskan konsep mediasi dalam penyelesaian sengketa di pengadilan berdasarkan peraturan perundang-undangan Indonesia. Sebagaimana diketahui, mediasi adalah suatu proses penyelesaian sengketa dengan dihadiri pihak ketiga yang disebut mediator netral. Mediasi biasa juga disebut dengan upaya pihak ketiga untuk mendekatkan pihak-pihak yang bersengketa agar dapat berunding secara langsung. Keberhasilan mediasi dapat dipengaruhi oleh faktor-faktor seperti, Kualitas mediator (pelatihan dan profesionalisme), upaya para pihak yang bersengketa, kepercayaan para pihak terhadap proses mediasi, kepercayaan mereka terhadap mediator, dan kepercayaan mereka terhadap masing-masing pihak.


Di antara sekian banyak aspek positif dari mediasi, aspek negatif dari mediasi adalah mediator dapat melakukan advokasi untuk salah satu pihak. Dan kelemahan proses mediasi adalah sangat memakan waktu karena harus mempertemukan kedua belah pihak berdasarkan kepentingan bersama.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
Mohon tunggu...

Lihat Konten Ruang Kelas Selengkapnya
Lihat Ruang Kelas Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun