Proses Penyelesaian Konflik Perkawinan Di Pengadilan Agama
(Studi Perbandingan antara Hukum Keluarga di Indonesia dan Hukum Islam)
Bani SyarifÂ
Azida Fazlina_222121083
Universitas Islam Negeri Raden Mas Said Surakarta, Indonesia
Abstrak:
Dalam perkara perceraian, fungsi dan upaya perdamaian merupakan tugas hakim sebagai mediator dan harus dilaksanakan berdasarkan Putusan Mahkamah Agung Nomor 1 Januari 2016, tentang tata cara mediasi pengadilan. Untuk itu, upaya perdamaian dilakukan melalui mediasi pengadilan agama agar pasangan yang ingin bercerai dapat mengurungkan niatnya untuk bercerai dan mencapai kesepakatan. Apabila arbiter tidak melakukan mediasi, maka putusan tersebut batal demi hukum. Namun kenyataannya, tingkat keberhasilan mediasi pengadilan agama dalam perkara perceraian masih relatif rendah. Hal ini dibuktikan dengan lebih banyak kasus yang berakhir di pengadilan dibandingkan dengan kasus yang berhasil melalui mediasi. Tujuan penelitian ini adalah untuk mengetahui dan menganalisis serta mereview buku  tentang status pelaksanaan mediasi dalam mengatasi perkara konflik rumah tangga. Jenis penelitian ini adalah penelitian kualitatif. Artinya terjun langsung untuk melakukan analisis terhadap buku karya Bani Syarif Maula, M.Ag. yang berjudul "Proses Penyelesaian Konflik Perkawinan di Pengadilan Agama (Studi Perbandingan antara Hukum Keluarga di Indonesia dan Hukum Islam)".
Mediasi dalam hukum Islam mengacu pada timbulnya perselisihan atau pertengkaran dan pihak-pihak yang berselisih mencari perdamaian atau Islam melalui penunjukan hakim. Hakim yang ditunjuk harus mengutamakan anggota keluarga karena merekalah yang lebih mengetahui pokok sengketa. Islam dalam menyelesaikan perselisihan rumah tangga mempunyai manfaat yang nyata. Yaitu terpeliharanya tujuan hukum Islam (Maqasid al-Syariah), yaitu terpeliharanya agama, jiwa, akal, keturunan, dan harta benda. Maqasid syariah dalam mediasi adalah Hifd al-Nasl (perlindungan terhadap keturunan).
Kata kunci: mediasi; perceraian; hukum islam; pengadilan agama.
PENDAHULUAN
Karya ini ditulis oleh Bani Syarif Maula, M.Ag. yang berjudul "Proses Penyelesaian Konflik Perkawinan di Pengadilan Agama (Studi Perbandingan antara Hukum Keluarga di Indonesia dan Hukum Islam". Buku ini dicetak pertama kali tahun 2018, kemudian diterbitkan oleh Lontar Mediatama daerah Bantul Yogyakarta. Dalam menyelesaikan kasus, buku ini menggunakan konsep mediasi di pengadilan berdasarkan hukum, lalu menggunakan konsep sulh dan islah dalam tradisi hukum sebagai media penyelesaian perselisihan, kemudian cara analisis perbandingan konsep peradilan agama di Indonesia dengan konsep mediasi tradisi hukum islam.
Buku ini dirancang memiliki tujuan untuk memahami proses penyelesaian konflik perkawinan di pengadilan agama menurut hukum keluarga Indonesia. Mengetahui proses ini akan mengungkap sumber dan akar tradisional penyelesaian konflik. Selain itu, arahan lain untuk penerbitan buku ini antara lain:
1. Memahami proses penyelesaian konflik perkawinan menurut hukum Islam. Dengan demikian, tradisi penyelesaian konflik fikih beberapa mazhab juga terinformasikan.
2. Untuk mengetahui sejauh mana konsep sulh digunakan di pengadilan agama sebagai salah satu cara penyelesaian konflik perkawinan di Indonesia.
Dengan demikian, akar tradisi penyelesaian sengketa di peradilan agama pun menjadi jelas, apakah bersumber dari hukum Islam, sistem hukum Indonesia, atau kedua-duanya. Kita tahu bahwa lembaga peradilan merupakan wadah bagi umat Islam Indonesia yang mencari keadilan dan kepastian hukum dalam permasalahan perdata tertentu.
Pasal 54 Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1987 tentang Peradilan Agama menyatakan: "Hukum acara yang berlaku pada pengadilan dalam lingkungan peradilan umum, kecuali yang telah diatur secara khusus dalam Undang-Undang ini." Penyelesaian perselisihan antar pihak harus dilakukan di hadapan majelis hakim sebagai diatur dalam Pasal 65 Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1989. Setelah salah satu pihak (istri/suami) mengajukan gugatan/permohonan cerai ke pengadilan, maka otoritas kehakiman mengambil langkah menuju rekonsiliasi.
HASIL DAN PEMBAHASAN
BAB I PENGANTAR
Pengadilan agama merupakan wadah bagi umat Islam Indonesia yang mencari keadilan dan kepastian hukum dalam bidang hukum perdata tertentu, yaitu perkawinan, warisan, wakaf, subsidi, dan hal-hal yang berkaitan dengan ekonomi syariah. Selain wajib mengikuti aturan hukum acara peradilan yang berlaku di Indonesia, pengadilan agama juga mengikuti aturan dan norma Islam dalam menegakkan hukum perdata tertentu. Pengadilan agama menetapkan aturan acara dan hukum acara berdasarkan aturan yang berlaku pada pengadilan biasa (hukum acara).
Hal ini sesuai dengan Pasal 54 Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1987 tentang Peradilan Agama yang menyatakan: "Hukum acara yang berlaku pada pengadilan di lingkungan peradilan agama adalah hukum acara perdata yang berlaku pada pengadilan di lingkungan peradilan umum". Sedangkan hukum acara yang berlaku di pengadilan umum adalah hukum acara yang dianut oleh pemerintah kolonial Belanda. Oleh karena itu, pengadilan agama di Indonesia tidak mengikuti prosedur peradilan yang digunakan dalam yurisprudensi klasik, khususnya dalam menyelesaikan perselisihan perkawinan.
Dalam sistem hukum Indonesia, penyelesaian perselisihan perkawinan dilakukan sebelum sidang pengadilan yang dilakukan oleh majelis hakim yang bertugas menangani perkara tersebut. Penyelesaian perselisihan perkawinan di hadapan majelis hakim merupakan suatu langkah peradilan yang wajib dilakukan oleh majelis hakim dalam kerangka hukum acara, sebagaimana diatur dalam Pasal 65 Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1989 adalah "Perceraian hanya dapat terjadi setelah pengadilan yang terlibat telah berusaha dan gagal untuk mendamaikan para pihak".
Maka dari itu, segala upaya perdamaian yang dilakukan oleh hakim harus dipertimbangkan jika terjadi perselisihan dalam perkawinan, hal ini merupakan bagian yang tidak terpisahkan dari proses peradilan dalam perkara tersebut. Salah satu pihak, istri atau suami, mengajukan gugatan dan mengajukan permohonan cerai ke pengadilan.
BAB II KONSEP MEDIASI
Pada sub bab kedua ini menjelaskan perihal teori mediasi sesuai dengan perundang-undangan. Yang pertama yaitu tentang mediasi mediasi merupakan perundingan yang dilakukan oleh pihak ketiga sebagai pihak netral dan tidak berpihak kepada pihak-pihak yang saling bersengketa untuk menyelesaikan sengketa mereka. Mediasi ini berasal dari kata mediare yang berarti di tengah-tengah artinya pihak ketiga ini berperan sebagai pihak penengah dari kedua pihak yang bersengketa.
 Dalam hal mediasi memiliki sisi positif memiliki peran dalam menyelesaikan masalah yaitu, pihak ketiga dapat memberikan usulan-usulan kompromi diantara kedua belah pihak, jika pihak ketiga itu adalah negara biasanya mereka menggunakan kekuasaannya untuk menjalankan para pihak yang bersengketa dalam penyelesaian masalahnya karena mendapatkan fasilitas yang memadai dari pada mediator perseorangan.
Â
Selain itu mediasi juga memiliki sisi negatif yaitu waktu yang dibutuhkan cukup lama karena harus mempertemukan dua pihak yang saling berseteru dan dari semua pertikaian tersebut harus dirumuskan dan disepakati untuk mencapai kesepakatan yang dapat menyelesaikan persengketaan. Selain itu untuk mendapatkan informasi yang cukup untuk bahan perundingan itu sangatlah tidak mudah sehingga membutuhkan waktu yang cukup lama untuk mendapatkan informasi tersebut.
Sehingga dapat disimpulkan bahwa mediasi itu berperan sebagai juru damai (sulh) kemudian sebagai sistem dalam penyelesaian perkara (probem solving) dan saling menguntungkan antara kedua belah pihak serta mengutamakan asas persaudaraan. Selain itu juga bertujuan untuk menghilangkan persengketaan maupun permusuhan karena mediasi ini memiliki sifat yaitu (proses cepat, rahasia, tidak mahal, adil, dan berhasil baik).
Kemudian dilanjutkan mengenai teori mediasi dalam konsep hukum positif di Indonesia. Ada berbagai perundang-undangan di Indonesia untuk menjalankan mediasi yaitu undang-undang nomor 30 tahun 1999 tentang arbitrase dan alternatif penyelesaian sengketa kemudian surat edaran MA (Sema) Republik Indonesia Nomor 1 Tahun 2002 tentang pemberdayaan pengadilan tingkat pertama penetapan lembaga damai kemudian peraturan MA (Perma) Nomor 2 Tahun 2003 tentang prosedur mediasi di pengadilan. Dan terdapat beberapa jenis mediasi yaitu:
1. Mediasi yang bersifat otoritatif
Merupakan mediasi yang sangat menggantungkan pada mediator sehingga pertemuan kedua belah pihak ini selalu meminta saran dan pertimbangan dari pihak ke tiga sehingga biasanya dapat lebih berkuasa dalam mengatur jalannya mediasi dan di tipe ini biasanya sering mengajukan pertanyaan pada kedua belah pihak untuk mencari informasi-informasi sehingga dapat mempercepat penyelesaian sengketa dan tidak terlalu berbelit-belit dalam proses penyelesaiannya, sehingga biasanya pihak ketiga ini selalu aktif menawarkan solusi untuk menyelesaikan masalah tersebut.
2. Mediasi social network
Merupakan mediasi yang dipimpin oleh pihak ketiga yang memiliki wawasan yang cukup luas untuk mendukung dalam penyelesaian sengketa, dan biasanya sang mediator memiliki kelompok sosial yang cukup banyak dan relasi yang luas sehingga hal tersebut bisa membantu ia dalam menemukan informasi dan segera dapat menyelesaikan persengketaan tersebut. Ketika menemukan jalan buntu dapat diselesaikan melalui jaringan sosial yang ia miliki.
3. Mediasi independen
Mediasi ini berasal dari masyarakat yang mempunyai skill serta kapasitas dalam menyelesaikan sengketa seseorang, ia biasanya bebas dari pengaruh dari manapun sehingga ia leluasa berjalan ke arah mana saja untuk menyelesaikan proses mediasi.
Kemudian yang terakhir dalam sub bab ini menjelaskan tentang perma Nomor 1 Tahun 2008 mengenai proses mediasi:
1. Tahapan pramediasi
2. Pembentukan forum
3. Penyelesaian akhir dan penentuan hasil kesepakatan
4. Berakhirnya mediasi
BAB III KONSEP SULH DAN ISLAH
Menjelaskan tentang arti sulh ialah akad yang digunakan untuk mengakhiri perselisihan antara kedua pihak. Pelaku sulh disebut musalih, persoalan persengketaannya dikenal musalah 'anhu, sedangkan solusi pertingkaian itu dijuluki sebagai musalah 'alaihi.
Sulh ini bertujuan untuk menemukan jalan keluar bagi perselisihan pihak-pihak yang berseteru berdasarkan asas kerelaan semua pihak. Dasar dari konsep ini adalah QS. Al-Hujurat ayat 9 sampai 11 dan An-Nisa' ayat 35 dan 128. Konsep ini berjalan sejak zaman Nabi untuk mendamaikan suami istri yang bertengkar. Terdapat beberapa macam sulh:
1. Ikrar, seseorang menuntut suatu utang, barang, atau keuntungan kepada pihak lain.
2. Inkar, yaitu bila seseorang menggugat orang lain atas barang, utang, atau keuntungan, dan tergugat kemudian mengingkari apa yang digugat lalu menyelesaikannya.
3. Sukut, artinya seseorang menuduh orang lain melakukan suatu hal, kemudian orang yang dituduh itu diam saja, yaitu tidak mengakui dan tidak mengingkari.
Rukun-rukun sulh:
1. Musalih
2. Musalih 'anhu
3. Musalih 'alaih
4. Sigat ijab
Dalam konsep sulh selalu dikaitan dengan konsep islah (perdamaian). Terdapat 3 rukun yang perlu dijalani yaitu ijab, qabul, dan orang yang melakukan perdamaian. Jika semua itu terpenuhi, perdamaian itu bisa berlangsung sesuai harapan. Selanjutnya dipaparkan juga tentang syarat-syarat perjanjian damai:
1. Subjeknya yaitu orang yang melakukan perdamaian harus orang yang cakap dengan hukum.
2. Objek berupa harta, berwujud
3. Kesepakatan hal-hal yang boleh didamaikan yaitu berupa pertingkaian harta dan bernilai sebatas hak-hak manusia (perihal muamalah) yang dapat didamaikan.
Di paparkan juga mengenai transformasi konsep islah dan tahkim ke mediasi, Al-Qur'an dan Hadits Nabi mengatur proses dua arah untuk menyelesaikan sengketa peradilan, menetapkan fakta hukum (adjudikasi) dan menyelesaikannya melalui perdamaian (islah). Dalam proses penyelesaian sengketa peradilan, hakim tidak mampu mempertimbangkan fakta sebenarnya dari perselisihan para pihak, karena hakim hanya mampu memahami dan mengambil keputusan berdasarkan bukti-bukti persuasif yang disajikan. Hakim memutuskan hukum berdasarkan keyakinan mereka dan bukti yang ada, meskipun pihak-pihak yang bersengketalah yang tahu.
Proses penyelesaian sengketa melalui pengadilan tidak dapat menjamin kepuasan para pihak yang bersengketa, karena beberapa pihak mempunyai pilihan yang terbatas dalam mengajukan bukti. Oleh karena itu, banyak ayat Al-Qur'an yang mengatur tentang proses penyelesaian sengketa melalui pengadilan perdamaian (Islah dan Sulh). Seperti yang telah dijelaskan di atas, sulh merupakan proses penyelesaian sengketa dimana para pihak sepakat untuk mengakhiri litigasi secara damai. Perjanjian damai (islah) tidak hanya dapat ditegakkan di pengadilan, namun juga dapat dijadikan alternatif penyelesaian sengketa di luar pengadilan. Cakupan penerapan sulh di luar ruang sidang sangat luas. Sulh dapat digunakan sebagai metode penyelesaian perselisihan alternatif dalam masalah keluarga, ekonomi komersial, politik, dan lain-lain.
Penyelesaian sengketa secara damai (Islah/Sulh) harus dibenarkan dengan teori Takim, karena penerapan Sulh di luar pengadilan tidak lepas dari peran Hakam sebagai hakim mediasi yang berperan sebagai mediator dalam perkara ini. Secara harfiah tahkim berarti menunjuk seseorang (pihak ketiga) sebagai hakim (Hakam). Artinya kedua pihak yang berkonflik berlindung pada seseorang yang mereka sepakati, setujui, dan bersedia menerima keputusan untuk menyelesaikan perselisihan tersebut. Untuk melindungi dua pihak yang bersengketa dari orang yang mereka tunjuk (sebagai mediator) untuk memutuskan/menyelesaikan perselisihan di antara mereka.
Dari sudut pandang fiqh, istilah tahkim dapat disamakan dengan istilah arbitrase. Takim sendiri berasal dari kata "hakkama". Secara umum tahkim mempunyai pengertian yang sama dengan arbitrase seperti yang kita kenal sekarang. Artinya, penunjukan seorang atau lebih sebagai arbiter oleh dua pihak atau lebih yang bersengketa guna menyelesaikan suatu sengketa secara damai. Orang yang menemukan penyelesaiannya disebut "Hakam".
BAB IV MEDIASI DALAM SISTEM PERADILAN AGAMA DI INDONESIA
Penerapan mediasi dalam sistem peradilan agama didasarkan pada beberapa pertimbangan, antara lain:
1. Mengurangi kelebihan beban berlebih di lapangan. Karena banyaknya kasus yang diajukan ke pengadilan, proses ini sering kali memakan waktu lama dan mahal, serta hasilnya seringkali tidak memuaskan.
2. Meningkatkan partisipasi masyarakat (desentralisasi hukum) atau memberdayakan pihak yang berselisih dalam proses penyelesaian sengketa.
3. Mendorong akses terhadap keadilan di masyarakat.
4. Memberikan kesempatan penyelesaian sengketa yang menghasilkan keputusan yang dapat diterima oleh semua pihak sehingga para pihak tidak perlu melakukan upaya banding atau pembalikan.
5. Mempercepat penyelesaian insiden dan mengurangi biaya.
6. Rahasia/Tertutup (confidential).
7. Akan semakin terbuka peluang untuk melaksanakan kesepakatan sehingga hubungan baik antara pihak-pihak yang berkonflik dapat tetap terjaga di kemudian hari.
Oleh karenanya, pelaksanaan mediasi di PA dilatar belakangi oleh berbagai alasan, antara lain:
1. Proses mediasi untuk mengatasi penumpukan perkara
2. Berguna sebagai penyelesaian sengketa yang lebih cepat dan murah
3. Pemberlakuan mediasi memperluas akses untuk memperoleh rasa keadilan.Â
Selanjutnya mengenai landasan yuridis penerapan mediasi:
1. Pasal 130 HIR (Het Herzieni Indonesich Reglement, Staatsblad 1941:44), atau Pasal 154 R.Bg (Rechtsreglement Buitengewesten, Staatblad, 1927:227) atau Pasal 31 Rv (Reglement op de Rechtsvordering, Staatblad 1874:52),11
2. SEMA RI No. 1 Tahun 2002 tentang Pemberdayaan Lembaga Perdamaian dalam Pasal 130 HIR/Pasal 154 RBg.
3. PERMA RI No. 2 Tahun 2003 tentang prosedur mediasi di pengadilan.
4. PERMA RI No. 1 Tahun 2008 tentang prosedur mediasi di pengadilan.
5. Undang-undang No. 30 Tahun 1999 tentang Arbitrase dan Alternatif Penyelesaian Sengketa (APS).
BAB V PERBANDINGAN KONSEP MEDIASI DALAM SISTEM PERADILAN AGAMA DAN KONSEP MEDIASI DALAM TRADISI HUKUM ISLAM
Membahas tentang konsep perdamaian dan sulh. Perdamaian dalam literatur Islam terkadang disamakan dengan Islah atau Sulh, yang dalam hal ini sangat dianjurkan dalam Al-Qur'an. Islah merupakan proses penyelesaian sengketa dimana para pihak sepakat untuk mengakhiri perkara secara damai. Menurut para ulama fiqih, kata "Islah" diartikan sebagai perjanjian yang dilakukan untuk menghilangkan konflik antar umat yang bermusuhan, baik individu maupun kelompok. Oleh karena itu, sulh diartikan sebagai kontrak (ridha meridhai) untuk menyelesaikan perselisihan secara sukarela. Definisi ini menjelaskan bahwa kesepakatan bersama atau kesediaan para pihak untuk menyelesaikan suatu perselisihan merupakan dasar dari proses Sulh. Dalam konteks ini, rekonsiliasi tidak akan tercapai jika para pihak tidak mampu berkompromi dan memenuhi keinginan masing-masing.
Sulh memerlukan pernyataan persetujuan dari para pihak yang bersengketa untuk menyelesaikan perselisihannya.Pernyataan ini diterjemahkan oleh perjanjian yang dibuat oleh mereka dan dilaksanakan oleh Sighat Ijab dan Qabul. Menurut aturan hukum Islam (fiqh), kepuasan adalah elemen mendasar dari setiap kontrak atau perjanjian. Meskipun ijab merupakan unsur subjektif yang bersifat internal (batin) dan hanya dapat dipastikan melalui ungkapan lahiriah (zahir) para pihak yang berkontrak, namun para ahli hukum berpendapat bahwa ijab secara objektif dapat dibuktikan dengan sighat. Sebagai balasannya, Ijab (penawaran) dan Qabul (penerimaan).
Perdamaian bukan berarti penggugat dan tergugat mendapat persamaan hak dalam penyelesaiannya. Penggugat dapat menerima sebagian atau seluruh hak yang diklaim. Selain itu, penggugat mungkin tidak menerima kembali barang yang diminta dan mungkin menerima barang pengganti. Dalam hal ini, fuqaha' mengklasifikasikan sulh ke dalam beberapa kategori berdasarkan tuduhannya.
Pertama, sulh muncul melalui substitusi (sulh mu'awadah). Dengan kata lain, penggugat menuntut hak milik terhadap tergugat berupa 'ayn (corporeal property) atau 'dayn (utang), yang diakui oleh tergugat. Kemudian gunakan keunggulan objek lain atau objek yang diklaim untuk menimpanya. Dengan kata lain, perjanjian dengan ahli waris berarti penggugat setuju untuk mengambil alih dari ahli waris, dan bukannya menuntut hak-hak yang dituntut. Para ahli hukum sepakat bahwa konsep sulh ini diperlukan karena melibatkan pertukaran properti dengan properti. Sulh jenis ini menganut syarat dan hukum jual beli, meskipun dilakukan dalam pengucapan sulh.
Kedua, menurut para ahli hukum Syafi'i, Sulh dengan menghilangkan dan melepaskan hak untuk disebut Sulh al-Isqat ma al-Ibra, atau Sur al-Hatitah. Apabila penggugat menuntut dirinya digugat karena suatu hak milik atau dayn (hutang), maka tergugat mengakui tuntutannya (sulh al-iqrar) dan mencabut sebagian hak yang dituntut penggugat. Sehubungan dengan itu, penggugat setuju untuk menerima atau menerima sebagian saja dari tuntutannya. Sulh al-hatitah termasuk dalam kategori Hibah, jadi semua aturan Hibah berlaku, terlepas dari apakah diucapkan Sulh atau Hibah.
Kemudian konsep mediasi dan tahkim, Konsep takim (hakam) dalam Islam sendiri berbeda dengan konsep mediasi dalam hukum Indonesia. Ruang lingkup Tahkim (Hakam) menunjuk pada persoalan-persoalan yang seluruhnya berkaitan dengan "huquq al-'ibad" (hak-hak individu), yaitu aturan-aturan hukum yang mengatur tentang hak-hak individu. Karena tujuan takim (hakam) hanya untuk menyelesaikan perselisihan dengan cara damai, maka hanya perselisihan yang sifatnya dapat diselesaikan yang dapat diselesaikan dengan cara damai. Para ahli hukum Islam dari mazhab Hanafiyyah, Malikiyah, dan Hambaliyah sepakat bahwa  keputusan pengadilan (arbitrase) tidak memerlukan persetujuan terlebih dahulu dari kedua belah pihak dan langsung mengikat para pihak yang bersengketa. Pendapat ini juga didukung oleh sebagian ahli hukum Syafi'i. Wahbah Zuhaili mengatakan Hakam adalah sosok profesional yang mengutamakan upaya adil dan damai. Persyaratan profesional Hakam dirancang untuk menjamin penanganan yang cepat, akurat dan kompeten ketika menangani kasus-kasus serius seperti Syiqaq.
 Mengingat syarat-syarat di atas yang dikemukakan oleh beberapa ulama, maka yang membedakan syarat-syarat di atas adalah bahwa perkara Syiqaq merupakan suatu perselisihan yang berat dan berakibat fatal (perceraian) sehingga berlaku syarat kedewasaan. Hal ini bertujuan untuk memastikan bahwa hakim tetap tegas dalam mempertimbangkan, menyelidiki dan menyelesaikan masalah ini. Persyaratan keadilan ini dimaksudkan untuk memastikan bahwa hakim yang menangani masalah syiqaq benar-benar memahami masalah tersebut untuk mempertimbangkan hasil akhir dari perceraian atau kelanjutan keluarga, dan bahwa mereka yang membahasnya juga memahami rasa keadilan. Allah berfirman dalam surat Al Ma'idah ayat 8: "Hai orang-orang yang beriman, hendaklah kamu menjadi orang-orang yang selalu menegakkan kebenaran, karena Allah adalah saksi keadilan". Dalam ayat lain (Surah Sad, ayat 26) Allah berfirman, "Maka berilah keputusan perkara diantara manusia dengan adil".
KESIMPULAN
IDENTITAS BUKU
Judul Buku: PROSES PENYELESAIAN KONFLIK PERKAWINAN DI PENGADILAN AGAMA (Studi Perbandingan Antara Hukum Keluarga di Indonesia dan Hukum Islam)
Penulis: Bani Syarif Maula M.Ag.
Penerbit: Lontar Mediatama (Maguwo No. 216D Banguntapan, Bantul, Yogyakarta
Cetakan Pertama: 2018
Editor: Mawi Khusni Albar
Jumlah Halaman: 90 halaman
KESIMPULAN DARI REVIEW
Keseluruhan tulisan dalam buku ini disampaikan dengan bahasa yang tertata, cukup baku tetapi mudah untuk dimengerti, namun juga ada di beberapa bagian yang penggunaan bahasanya yang terlalu baku sehingga membuat pembaca kurang bisa memahami dengan jelas. Selain itu penataan setiap sub bab juga rapi sehingga pembaca tidak kebingungan dalam membaca, karena babnya tertata secara runtut. Buku ini berisi materi-materi penyelesaian konflik perkawinan, dasar hukum, dan menceritakan proses-proses penyelesaian konflik di pengadilan, tetapi juga banyak dilampirkan konsep dan teori-teori yang di gunakan dalam penyelesaian konflik di pengadilan. Tujuan buku ini dibuat dan diterbitkan yaitu, guna mengetahui cara penyelesaian konflik perkawinan menurut hukum islam, dan untuk mengetahui seberapa besar tingkat penggunaan konsep sulh di pengadilan agama.
Dari sini kita dapat percaya bahwa lembaga peradilan akan melayani umat Islam Indonesia yang mencari keadilan dan kepastian hukum dalam perkara perdata tertentu, sebagaimana tercantum dalam Pasal 54 Undang-undang Nomor 7 Tahun 1987 tentang Peradilan Agama: "Hukum Acara yang berlaku pada Pengadilan dalam lingkungan Peradilan Agama adalah Hukum Acara Perdata yang berlaku pada Pengadilan dalam lingkungan Peradilan Umum, kecuali yang telah diatur secara khusus dalam Undang-Undang ini". Dan penyelesaian konflik perkawinan melalui peradilan harus dihadapan majelis hakim yang sudah disebutkan oleh pasal 65 UU No. 7/1989. Setelah salah satu pihak (istri dan suami) mengajukan gugatan/permohonan cerai ke pengadilan, otoritas kehakiman berupaya melakukan rekonsiliasi.
Karena Indonesia tidak memiliki ketentuan perdamaian, upaya perdamaian antar pihak bersifat timbal balik, dan tampaknya tidak ada intervensi dari negara. Sistem titik tumpu ini berbeda dengan negara lain yang tidak melakukan intervensi pengadilan. Menerima perselisihan perkawinan jika kedua belah pihak belum melakukan mediasi/arbitrase perkawinan. Bukti tahapan mediasi antara para pihak adalah bukti dokumen/surat keterangan dari lembaga mediasi.
 Penyelesaian konflik perkawinan (munakahat) menurut hukum Islam dimulai dengan keterlibatan juru damai keluarga (hakam). Melakukan mediasi agar pasangan dapat menunjuk orang lain sebagai mediator. Apabila upaya terakhir ini tidak memberikan penyelesaian, Anda dapat mengajukan penyelesaian perselisihan perkawinan Anda kepada hakim dalam sidang pengadilan.
 Selain itu juga menjelaskan konsep mediasi dalam penyelesaian sengketa di pengadilan berdasarkan peraturan perundang-undangan Indonesia. Sebagaimana diketahui, mediasi adalah suatu proses penyelesaian sengketa dengan dihadiri pihak ketiga yang disebut mediator netral. Mediasi biasa juga disebut dengan upaya pihak ketiga untuk mendekatkan pihak-pihak yang bersengketa agar dapat berunding secara langsung. Keberhasilan mediasi dapat dipengaruhi oleh faktor-faktor seperti, Kualitas mediator (pelatihan dan profesionalisme), upaya para pihak yang bersengketa, kepercayaan para pihak terhadap proses mediasi, kepercayaan mereka terhadap mediator, dan kepercayaan mereka terhadap masing-masing pihak.
Di antara sekian banyak aspek positif dari mediasi, aspek negatif dari mediasi adalah mediator dapat melakukan advokasi untuk salah satu pihak. Dan kelemahan proses mediasi adalah sangat memakan waktu karena harus mempertemukan kedua belah pihak berdasarkan kepentingan bersama.
 Hukum positif Indonesia misalnya ditonjolkan dalam ruang lingkup Undang-Undang Nomor 30 Tahun 1999 tentang Arbitrase dan Penyelesaian Sengketa, Surat Edaran Mahkamah Agung Republik Indonesia (SEMA) Nomor 1 tahun 2002 tentang Pemberdayaan Pengadilan Tingkat Pertama Menetapkan Lembaga Damai dan Peraturan Mahkamah.
Â
Buku yang tergolong kategori self-improvement ini mengajak pembaca untuk belajar merenungi makna penyelesaian konflik dalam rumah tangga. Kebahagiaan hidup sebenarnya sederhana dan dapat muncul dari hal-hal yang ada di sekeliling kita, itulah yang perlu dipertahankan dalam rumah tangga. Melalui buku ini, Bani Syarif mencoba mengubah persepsi masyarakat luas tentang makna kehidupan pernikahan yang perlu adanya kesiapan dan keharmonisan guna menjaga kebahagiaan dalam rumah tangga. Karena pada dasarnya hidup bahagia yang selama ini dianggap hanya berasal dari hal-hal yang bersifat materialistis itu tidak ada benarnya, karena kehidupan pernikahan yang tetap Bahagia dan Bersama itulah yang membuat kehidupan menjadi terlihat indah. Dan pentingnya menjaga perdamaian di setiap konflik yang dihadapi.
Rentang tiap bab di buku tidak terlalu panjang empat belas sampai dua puluh halaman, sehingga tidak memakan waktu yang terlalu banyak untuk membaca satu babnya. Di buku ini, Bani Syarif tidak mencoba untuk menggurui pembaca. Beliau mencoba membagikan resep-resep perdamaiand yang telah diterapkan di dalam pengadilan selama ini dengan menggunakan teknik story telling yang sangat apik.
Mungkin dalam buku ini bisa ditambah dengan foto-foto momen dalam persidangan sehingga para pembaca dapat membayangkan bagaimana setiap proses yang dihadapi didalam persidangan. Seolah-olah berusaha menangkap setiap momen dalam pengadilan. Selain itu juga bisa ditambah dengan contoh peristiwa konflik di dalam perkawinan sekaligus cara penyelesaian konflik tersebut. Agar pembaca dapat mengetahui harus menggunakan cara yang mana.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H