1. Sumber hukum dari Al Qur'an , Norma hukum yang terkait dengan hukum kewarisan Islam dalam Al-Quran termuat dalam Surah An-Nisaa (4) ayat 7, 8, 9, 10, 11, 12, 13, 14, 32, 33, 176, dan Surah Al-Anfal (8)ayat 75. Ayat-ayat tersebut turun di Madinah sesudah tiga tahun Rasulullah berada di Madinah. Ayat lain dalam Surah Al-Baqarah (2) ayat 221 dan Surah An-Nur (24) ayat 32 tentang dasar-dasar keabsahan perkawinan yang mencerminkan bentuk-bentuk kekerabatan sekaligus berpengaruh terhadap sistem kewarisan.
2. Sumber hukum dari hadits, Beberapa hadis yang berkaitan dengan pengaturan kewarisan diantara:
- Hadis dari Ibnu 'Abbas yang diriwayatkan oleh Bukhari dan Muslim : Ibnu Abbas radliallahu 'anhuma, dari Nabi shallallahu 'alaihi wasallam bersabda, "Berikanlah bagian fara idh (warisan yang telah ditetapkan) kepada yang berhak, maka bagian yang tersisa bagi pewaris lelaki yang paling dehat (nasabnya)." (HR. Bukhari dan Muslim).
- Hadis dari Imran ibn Hushain yang diriwayatkan oleh Abu Dawud dan At-Tirmidzi."Dari Imran ibn Hushain bahwasanya ada seorang laki-laki datang pada Rasulullah dan berkata, "Sesungguhnya anak saya meninggal dunia, berapa yang saya peroleh dari harta warisnya?" Rasulullah bersabda, "Engkau men- dapat seperenam".
3. Sumber hukum kewarisan dari ijtihad
      Dalam kewarisan Islam sangat banyak kasus kewarisan yang penetapan hukumnya didasarkan pada ijtihad. Sebagai contoh kewarisan orang yang berkallamin ganda (waria). Sebelumnya tidak ada dalil yang menetapkan sebagai sumber rujukan. Akan tetapi, ulama fiqih sepakat bahwa penetapan waria termasuk kelompok ahli waris laki-laki atau ahli waris perempuan dilihat dari dua aspek: pertama, keluarnya air seni dari jenis kelamin yang mana yang lebih dahulu; kedua, tanda-tanda kedewasaannya mengarah ke jenis kelamin laki-laki atau perempuan.
Di Indonesia penetapan waris berdasarkan ijtihad yang disesuaikan dengan kondisi masyarakat Indonesia salah satunya ahli waris pengganti yaitu keturunan anak, baik anak laki-laki maupun anak perempuan, juga keturunan saudara pewaris, jika orang tuanya meninggal lebih dahulu dari pewaris dengan bagian sebesar yang digantikannya. Contoh lainnya, wasiat wajibah yang diberikan kepada anak angkat atau orang tua angkat sebesar 1/3 dari harta peninggalan pewaris.
Hukum Kewarisan Isalam dalam Tatanan Hukum Nasional Â
Di Indonesia, hukum kewarisan Islam berkembang sejalan dengan perkembangan hukum Islam pada umumnya, sebagai konsekuensi logis terhadap pengamalan ajaran Islam yang sebagian besar dianut oleh masyarakat Indonesia. Di daerah-daerah tertentu hukum kewarisan Islam telah melebur dengan kultur setempat bahkan dijadikan tolak ukur dalam melaksanakan ajaran agamanya sebelum masa penjajahan sampai sekarang. Hukum waris yang berlaku masih bersifat pluralistik. Hal tersebut terbukti dengan berlakunya hukum waris adat, hukum waris Islam, dan hukum waris BW (Burgelijk Wetboek) yang secara bersamaan berdampingan mengatur hal waris bagi para subjek hukum yang tunduk pada masing-masing sistem hukum tersebut. Penyelesaian kewarisan bagi umat Islam di Indonesia menjadi wewenang pengadilan Agama yang telah ditetapkan pada pasal 49 Undang-Undang nomor 7 tahun 1989 tentang tugas dan wewenang pengadilan agama.
Sebab-Sebab Hukum Kewarisan IslamÂ
- Sebab Kewarisan Pra-Islam
- Hubungan darah, Hak mewarisi atas hubungan darah hanya berlaku pada laki-laki dengan syarat, seperti pandai memanah, bisa menunggang kuda, bisa berperang, dan sanggup merampas harta musuh dalam perang.
- Hubungan sebagai anak angkat, Apabila seseorang diangkat menjadi seorang anak secara hukum adat kedudukannya sama seperti anak kandung dalam hal memperoleh hak hukum termasuk dalam kewarisan. Secara hukum anak angkat mempunyai hak-hak yuridis dalam waris atau menerima hak dan kewajiban sebagai ahli waris baik materiel maupun imateriel seperti memperoleh martabat keturunan.
- Hubungan perkawinan, Hubungan perkawinan menjadi salah satu sebab adanya hubungan kewarisan pada masa sebelum Islam. Namun hal tersebut hanya berlaku bagi suami jika istrinya meninggal, Â sedangkan jika suaminya meninggal istri bukan sebagai ahli waris.
- Sebab Kewarisan Menurut Ulama Fiqih
- Perkawinan, perkawinan yang dimaksud adalah perkawinan yang sah antara ayah dan ibu si anak semenjak mulai mengandung. Perkawinan yang sah sudah cukup dijadikan alasan untuk menetapkan keturunan yang sah dan memudahkan dalam menetapkan kewarisan apabila ada salah satu yang meninggal dunia.
- Keturunan (nasab), Nasab dalam ilmu waris berarti mereka yang berhak menerima hak waris karena pertalian darah atau keturunan yaitu anak (laki-laki maupun perempuan) dan sebagainya. Adanya hubungan darah yang sah menurut syarak dalam ikatan keluarga berakibat timbulnya hubungan hukum dalam masalah waris, perwalian, kewajiban nafkah, larangan perkawinan, dan sebagainya. Hubungan darah merupakan salah satu sebab yang terkuat untuk memperoleh waris.
- Persaudaraan seagama Islam, Yang dimaksud dengan persaudaraan seagama Islam adalah hubungan perjanjian moral. Harta warisan diperoleh berdasarkan ikatan perjanjian ini diselesaikan dengan jalan wasiat. Contohnya apabila seorang anak angkat orang tua angkatnya meninggal maka ia tidak dapat memperoleh hak waris melainkan ia bisa mendapat wasiat dari orang tua yang meninggal dunia. Dengan kata lain bukanlah pembagian warisan melainkan pengeluaran bagian wasiat.
- Wala', adalah memerdekakan hamba sahaya. Apabila seorang tuan memerdekakan hamba sahaya ketika hamba sahaya nya meninggal dunia dan memiliki harta peninggalan namun tidak memiliki ahli waris maka ia berhak mewarisi harta peninggalan hamba sahaya tersebut. Tetapi hal tersebut tidak berlaku sebaliknya, nama saya yang dimerdekakan tidak bisa menerima waris dari tuan yang memerdekakannya.
- Sebab Kewarisa Dalam KHI
- Beragama Islam, Pada pasal 171 poin b dan c sebutkan bahwa pewaris saat meninggal baik mati hukmi maupun hakiki beragama Islam, Â dan ahli waris adalah orang yang pada saat meninggalnya pewaris beragama Islam. Untuk membuktikan bahwa ahli waris beragama Islam pada pasal 172 dijelaskan bahwa ahli waris dipandang beragama Islam apabila diketahui dari kartu identitas, pengakuan, amal sehari-hari, dan kesaksian, sedangkan bayi yang baru lahir atau anak yang belum dewasa beragama menurut agama orang tuanya.
- Perkawinan, Perkawinan sebagai salah satu sebab adanya hubungan kewarisan antara suami istri yakni suami ahli waris bagi istrinya dan istri ahli waris bagi suaminya.  Perkawinan yang dimaksud adalah perkawinan yang sah menurut hukum Islam dan perundang-undangan yang berlaku. Perkawinan yang sah dijelaskan pada undang-undang nomor 1 tahun 1974 pasal 2 ayat  (1 dan 2), dan pada KHI pasal 4.
- Keturunan yang sah, dalam pasal 99 menyebutkan bahwa keturunan yang sah adalah : anak yang dilahirkan dalam atau akibat perkawinan yang sah; hasil pembuahan suami istri yang sah di luar rahim dan dilahirkan oleh istri tersebut, contoh: bayi tabung.
Penghalang KewarisanÂ
- Berbeda Agama, Dalam hukum Islam orang yang bukan Islam tidak berhak menerima waris dari seorang muslim. Menurut jumhur ulama ahli waris non muslim tetap tidak mendapatkan harta waris dari pewaris muslim. Fatwa MUI Nomor : 5/MUNAS VII/MUI/9/2005 tentang kewarisan beda agama menetapkan bahwa hukum waris Islam tidak memberikan hak saling mewarisi antar orang yang berbeda agama. Pemberian harta antar orang yang berbeda agama hanya dapat dilakukan dalam bentuk hibah, wasiat dan hadiah.
- Pembunuhan, Pembunuhan terhadap pewaris merupakan salah satu tindakan yang mengakibatkan seseorang tidak memperoleh hak waris. Di Indonesia, pembunuhan menjadi penghalang kewarisan terdapat pada pasal 173 KHI poin (a), diantaranya: Membunuh pewaris; mencoba membunuh pewaris; dan menganiaya berat terhadap pewaris.
- Perbudakan, Ulama sepakat bahwa seorang yang menjadi hamba sahaya menjadi penghalang kewarisan. Q.S. An-Nahl (16) : 75 menggambarkan hilangnya kecakapan hukum seseorang ketika menjadi hamba sahaya. Bahwa hamba Saya tidak memiliki kecakapan hukum dalam menguasai hak kebendaan dengan jalan apapun termasuk hal waris mewarisi. Dan diri hamba saya tersebut milik tuannya sama seperti benda-benda kekayaan tuannya, oleh karena itu hamba sahaya terhalang dari dua aspek: menerima harta waris dari ahli warisnya dan memberikan harta waris kepada ahli warisnya.
Â
Rukun KewarisanÂ
- Meninggalnya Pemilik Harta (Muwarits), Meninggalnya muwaris merupakan suatu yang mutlak atau sesuatu yang harus ada dalam menyelesaikan harta waris. Kematian muwarits dapat dibedakan menjadi tiga yaitu: mati hakiki (kematian yang dapat dibuktikan dengan pancaindra / melalui medis), mati hukmi (kematian oleh dasar pertimbangan hakim pengadilan), mati taqdiry (kematian bukan karena kematian hakiki dan hukmi).
- Harta Waris (Mauruts), Ulama membedakan harta waris (mauruts) dan harta peninggalan (tirkah). Dalam fiqih Al-Sunnah, imam Hanafi berpendapat bahwa tirkah adalah apa yang ditinggalkan seseorang dari harta benda secara mutlak sedangkan hak atas tirkah tersebut tidak diwariskan. Menurut malikiyah Syafi'iyah dan hanabilah tirkah dapat diartikan secara umum mencakup semua yang ditinggalkan seseorang berupa benda dan hak baik hak kebendaan maupun bukan hak kebendaan. KHI pasal 171 membedakan pengertian mauruts dan tirkah. Disebutkan bahwa tirkah adalah harta yang ditinggalkan oleh pewaris baik harta benda yang menjadi miliknya maupun hak-haknya. Sedangkan mauruts adalah harta bawaan ditambah bagian harta bersama setelah digunakan keperluan pewaris selama sakit sampai meninggal, dikurangi biaya penyelenggaraan jenazah, pembayaran utang, dan pemberian kepada kerabat.
- Ahli Waris, adalah orang-orang yang berhak mendapatkan waris menurut hukum. Dalam surah An-Nisa' (4) ayat 7 ahli waris adalah laki-laki dan perempuan yang lahir dalam keadaan hidup sampai meninggalnya dan berhak mendapat bagian dari harta peninggalan kedua orang tuanya serta kerabatnya. Menurut KHI pasal 171 poin (c) ahli waris adalah orang yang pada saat meninggal dunia mempunyai hubungan darah atau hubungan perkawinan dengan pewaris, beragama Islam, dan tidak terhalang karena hukum untuk menjadi ahli waris.