Â
"Kalau ada yang bekelin suami saya ya sukur Alhamdulillah, saya jadi berterimakasih."
Saya terpingkal. Kami pun terpingkal bersama. Lalu ngobrol panjang tentang keabsurdan kehidupan rumah tangga. Terlebih perihal konstruksi budaya yang sudah sedemikian mencokol pada masyarakat kita. Patriarki. Entah sejak kapan adalah hal yang wajar jika lelaki kerja cari uang untuk kebutuhan rumah tangga, perempuan di rumah melayani segala kebutuhan lelaki. Perempuan kemudian juga semacam properti bagi lelaki. Yang harus terus menuruti karena dibayar mas-kawin secara tunai. Ketika saya mengingat-ingat hal ini, saya jadi mencoba menelusuri kisah-kisah terkait.
Tradisi lisan masyarakat kita terutama dalam hal ini masyarakat Jawa (sebagai latar belakang penulis) mengenal epos Mahabharata sebagai pedoman dalam kehidupan. Barangkali apa yang terjadi di sana juga adalah penggambaran apa yang terjadi dalam masyarakat, dari mulai perempuan-perempuan dicitrakan hanya jadi rebutan para satria, diboyong sana-sini, untuk kemudian dijadikan properti seumur hidup. Perempuan-perempuan dalam kisah Mahabharata juga tidak memiliki kuasa penuh atas diri. Semua harus berjalan sebagaimana kehendak para lelaki.
Sedikit contoh, bahwa Drupadi kemudian menjadi properti yang digunakan sebagai taruhan oleh Yudhistira. Perempuan seperti Drupadi dipertaruhkan seperti layaknya kepemilikan dirinya berada di tangan suaminya. Maka tidak heran, bila kemudian, perempuan dalam tradisi jawa tulen masih terbawa akan citra tersebut. Bahwa segalanya, baik dirinya juga kepunyaannya adalah kepemilikan suaminya. Bahwa dalam masyarakat jawa harus mengikuti citra perempuan sebagaimana "mestinya" yaitu kemayu, nurut, apapun yang diperintahkan oleh si suami. Termasuk kemudian bahkan diperjualbelikan seenaknya.
Bila kita ingat-ingat, beberapa tahun lalu, kasus-kasus perempuan yang diperjualbelikan tubuhnya oleh si suami masih nyata-nyata terjadi dalam masyarakat kita. Dari mulai geger video asusila yang menampilkan penyimpangan seksual "Vina Garut" yang kemudian diketahui bahwa perempuan tersebut dijual oleh suaminya. Melalui akun  twitter sang suami mengunggah foto si istri, menjajakan istri dari mulut ke mulut. Begitulah, Ia dipekerjakan sang suami, dibayar 500 ribu setiap melakukan hubungan dengan pria lain.  Bahkan dirinya sendiri mengaku tak tahu-menahu soal suaminya pasang tarif berapa dan mendapat nominal uang berapa  dari eksploitasi terhadap tubuhnya tersebut.
"Kalau mantan suami sayanya dapet dari yang itunya saya tidak tahu berapa. Tapi saya nerimanya Rp500.000 saja," kata V (https://www.merdeka.com/peristiwa/begini-modus-sang-suami-jual-video-vina-garut.html)
Miris. Maka tidaklah heran kemudian jika ada sebuah lagu dangdut semacam ini tenar di masyarakat kita :
Bagaimana aku kan betah di rumah
Setiap pulang kerja engkau tiada
Jangankan menyambutku dengan senyum manismu