Mohon tunggu...
Muhammad Irfan Ayyubi
Muhammad Irfan Ayyubi Mohon Tunggu... Freelancer - Pembelajar

Seorang bapak yang mengumpulkan kenangan

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Pilihan

Drupadi, Secangkir Kopi, dan Ego Lelaki

22 Desember 2022   15:54 Diperbarui: 30 Maret 2023   04:01 394
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Humaniora. Sumber ilustrasi: PEXELS/San Fermin Pamplona

Saya sempat bulan lalu ketika berbincang-bincang perihal euforia hari guru, entah bagaimana kemudian berlanjut pada obrolan tentang seorang guru senior, yang kerapkali menegur istri saya.

Dalam cerita istri, sebut saja Bu L, sering menegur ketika sarapan pagi di ruang guru, Bu L kerap memulai pembicaraan dengan bertanya semacam ini,

"Beli lagi?"

 

"Iya Bu, saya ndak sempat masak." jawab istri. 

 

"Emang ya, perempuan itu mestinya, kodratnya di rumah."

 

Istri saya pasang tampang goblok lalu bertanya, 

 

"Lah, jadi ibu di sini untuk apa ya? Kenapa tidak di rumah? "

 

"Ehem. Lah, laki gua mah udah meninggal Win," 

 

"Oh, jadi, ibu berprofesi sebagai guru setelah suami ibu meninggal?"

 

Guru senior itu gelagapan. 

Kadangkala dalam lain kesempatan, beberapa guru senior lain katanya menimpali, 

 

"Kasihan suami Lu, Win! Ati-ati ada yang bekelin suami lu!"

 

Dengan cengangas-cengenges istri saya itu menjawab, katanya,

 

"Kalau ada yang bekelin suami saya ya sukur Alhamdulillah, saya jadi berterimakasih."

Saya terpingkal. Kami pun terpingkal bersama. Lalu ngobrol panjang tentang keabsurdan kehidupan rumah tangga. Terlebih perihal konstruksi budaya yang sudah sedemikian mencokol pada masyarakat kita. Patriarki. Entah sejak kapan adalah hal yang wajar jika lelaki kerja cari uang untuk kebutuhan rumah tangga, perempuan di rumah melayani segala kebutuhan lelaki. Perempuan kemudian juga semacam properti bagi lelaki. Yang harus terus menuruti karena dibayar mas-kawin secara tunai. Ketika saya mengingat-ingat hal ini, saya jadi mencoba menelusuri kisah-kisah terkait.

Tradisi lisan masyarakat kita terutama dalam hal ini masyarakat Jawa (sebagai latar belakang penulis) mengenal epos Mahabharata sebagai pedoman dalam kehidupan. Barangkali apa yang terjadi di sana juga adalah penggambaran apa yang terjadi dalam masyarakat, dari mulai perempuan-perempuan dicitrakan hanya jadi rebutan para satria, diboyong sana-sini, untuk kemudian dijadikan properti seumur hidup. Perempuan-perempuan dalam kisah Mahabharata juga tidak memiliki kuasa penuh atas diri. Semua harus berjalan sebagaimana kehendak para lelaki.

Sedikit contoh, bahwa Drupadi kemudian menjadi properti yang digunakan sebagai taruhan oleh Yudhistira. Perempuan seperti Drupadi dipertaruhkan seperti layaknya kepemilikan dirinya berada di tangan suaminya. Maka tidak heran, bila kemudian, perempuan dalam tradisi jawa tulen masih terbawa akan citra tersebut. Bahwa segalanya, baik dirinya juga kepunyaannya adalah kepemilikan suaminya. Bahwa dalam masyarakat jawa harus mengikuti citra perempuan sebagaimana "mestinya" yaitu kemayu, nurut, apapun yang diperintahkan oleh si suami. Termasuk kemudian bahkan diperjualbelikan seenaknya.

Bila kita ingat-ingat, beberapa tahun lalu, kasus-kasus perempuan yang diperjualbelikan tubuhnya oleh si suami masih nyata-nyata terjadi dalam masyarakat kita. Dari mulai geger video asusila yang menampilkan penyimpangan seksual "Vina Garut" yang kemudian diketahui bahwa perempuan tersebut dijual oleh suaminya. Melalui akun  twitter sang suami mengunggah foto si istri, menjajakan istri dari mulut ke mulut. Begitulah, Ia dipekerjakan sang suami, dibayar 500 ribu setiap melakukan hubungan dengan pria lain.  Bahkan dirinya sendiri mengaku tak tahu-menahu soal suaminya pasang tarif berapa dan mendapat nominal uang berapa  dari eksploitasi terhadap tubuhnya tersebut.

"Kalau mantan suami sayanya dapet dari yang itunya saya tidak tahu berapa. Tapi saya nerimanya Rp500.000 saja," kata V (https://www.merdeka.com/peristiwa/begini-modus-sang-suami-jual-video-vina-garut.html)

Miris. Maka tidaklah heran kemudian jika ada sebuah lagu dangdut semacam ini tenar di masyarakat kita :

Bagaimana aku kan betah di rumah

Setiap pulang kerja engkau tiada

Jangankan menyambutku dengan senyum manismu

Secangkir kopipun tak tersedia

Heladhalah. Lirik lagu itu yang secara sepihak dari sudut pandang lelaki begitu subjektip, kemudian entah bagaimana diamini sebagai alasan atau sekedar pembenaran atas keputusannya pulang malam mencari hiburan di luar rumah pada lirik selanjutnya pada bagian refrain,

Ku pulang malam karna tak tahan

Mencari hiburan di luar rumah

Salahkah aku, dosakah aku bila diriku tak lagi setia

Saya kemudian sambil tertawa-tawa bertanya pada istri saya, kemana perempuan itu setiap lelakinya pulang kerja ya? Kenapa tidak ada? Tidak dijelaskan lebih lanjut. Jangan-jangan mbabu di kampung sebelah atau (amit-amit) punya nasib diperjualbelikan juga? Apakah si istri tengah di rumah tetangga ngikut kerja, atau mburuh nyuci, atau apa saja dilakukan untuk nutupin tambelan utang di warung? Kok masih bisa-bisanya nuntun istri buatin kopi segala?

Asbab apa? Istri saya ikut manggut-manggut sebab memang tak dijelaskan pula mengapa si istri bisa dicitrakan sebagai,

Jangankan menemani dengan kemesraanmu

Bicara saja seakan tak mau

Komunikasi di dalam rumah tangga ini, tidak begitu jelas diuraikan. Apakah sudah pernah membahasnya berdua? Dari hati ke hati? Ajak ke mall? Atau healing-healing ke mana gitu, belikan baju, baru bicara hati ke hati. Itulah, lelaki mayoritas tidak punya kepala untuk berpikir, apa yang salah pada dirinya? Kalo perihal Bicara tak mau, apa yang terjadi dalam rumah tangga saya juga kadangkala terjadi. Saya  sering dicemberutin saban pulang kerja, dan bisa jadi atau pasti ada yang problem, entah rumah berantakan atau piring belum dicuci semua, atau badannya capek berat habis kerja dan saya akan mulai ambil GPU buat mijit kakinya, atau yang seringkali terjadi, gaji saya belum turun. Maka wajarlah, jangankan mesra, kepala istri pastilah tengah berpikir bagaimana cara beli susu atau popok si kecil yang tengah habis.

Meski banyak juga perempuan-perempuan mayoritas yang memang lebih memikirkan dirinya sendiri, namun, saya pikir lirik lagu dangdut di atas adalah ego lelaki semata. Karena apa? Yang saya temukan sendiri dalam kehidupan sehari-hari, contoh sederhananya, untuk membuat kopi saja, Abang ipar saya, tiap datang main ke rumah, mesti harus menyuruh adiknya yang dia tidak tahu betapa capeknya bekerja atau melakukan pekerjaan rumah, akhirnya seringkali saya yang membuatkan karena tidak tega dengan istri saya yang sudah kelelahan.

Lha iya, di dalam rumah tangga, seharusnya tak ada yang namanya ini kerjaan siapa ini kerjaan siapa. Kodratnya begini, kodratnya begitu. Sama-sama bisa bersih-bersih rumah, cuci baju, njemur, ngurus anak, masak dan sebagainya, kalau secangkir kopi saja tak mampu buat, bukankah aneh? Hal itu seringkali jadi problem ketika lelaki selalu merasa maunya dituruti oleh perempuan, dan bila tidak, maka terjadilah kekerasan domestik.

Hal ini dibuktikan dalam beberapa contoh nyata dalam berita-berita paling mutakhir. Misalnya, insiden seorang suami yang memukul istri di depan anaknya yang terjadi di Depok. Video kekerasan seorang suami terhadap istrinya tersebut sempat menjadi viral. Dikutip dari laman berita kompas.com bahwa kepala Satuan Reserse Kriminal Polres Metro Depok, AKBP Yogen Heroes Batu mengatakan, insiden pemukulan itu terjadi pada Sabtu (5/11/2022). Lebih lanjut kemudian AKBP Yogen menjelaskan masalah itu dipicu oleh hutang. Ketika itu, sang istri diajak makan tapi tak mau, karena akan diajak membicarakan perkara hutang yang telah menumpuk (Halim, 2022)

Fenomena di atas adalah contoh, betapa kekerasan-kerasan domestik yang masih sering terjadi pada masyarakat kita, adalah hal yang serius harus ditangani. Juga adanya berita di atas membuktikan bahwa harus ada urgensi untuk upaya untuk mengatasi kekerasan domestik tersebut.

Dalam melacak kekerasan domestik yang terjadi, Poerwandari dalam (Huriyani, 2008) Menyatakan bahwa, proses inkulturasi dalam rumah tangga yang dilakukan melalui proses pengasuhan anak, menjadi cara belajar peran jender yang paling efektif tentang bagaimana menjadi laki-laki dan bagaimana menjadi perempuan yang diizinkan oleh masyarakat.

Pola asuh dari orang tua dalam lingkungan keluarga, memang adalah hal yang tidak disadari membekas dalam kepribadian anak. Peran orang tua dalam hal ini menjadi begitu krusial dalam membangun manusia-manusia dan peradaban. Adanya tradisi kekerasan dalam rumah tangga yang kemudian semacam dosa warisan yang diwariskan turun temurun tersebut tentu amat berbahaya.

Sebegitu tidak mandirinya lelaki, sampai secangkir kopi jadi persoalan? Maaf saya sudah terbiasa mengumpat, maka ijinkanlah saya mengumpat, goblok betul! Bikinlah kopi sendiri anak manja!

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun