Aliran listik menjalari tubuhku hingga kejang-kejang. Seluruh persendian serasa remuk. Suara-suara di sekitarku hanya terdengar seperti dengung lebah.
Tuhan, kirimkanlah malaikat penolong, gumamku dalam hati.
Usai disengat listrik, aku merasakan benda tumpul kembali menghantamku bertubi-tubi. Sepertinya mereka tak pernah puas menyiksaku. Aku tak bisa berbuat apa-apa lagi, kecuali merintih menahan ribuan nyeri di tubuh akibat perbuatan biadab mereka.
Tuhan, kirimkanlah malaikat penolong, harapku di titik kepasrahan.
Aku tak tahu lagi apa yang mereka lakukan terhadapku. Yang kurasakan hanya sakit dan sakit, apalagi ketika mereka menyeretku ke luar balai desa. Di tempat sepi itulah mereka semakin brutal, memaksaku berdiri, padahal kebrutalan mereka serasa telah membetot seluruh persendianku.
Tubuh lemahku dipaksa berdiri. Gontai aku mengikuti perintah mereka, sementara kedua tanganku masih diikat. Antara sadar dan tidak, mimpi semalam kembali terlintas di benakku. Pasir hitam, darah segar, dan tubuh Romlah yang tertelungkup tak bernyawa di atas pasir. Aku berhasil mencegah mimpiku jadi nyata. Mimpi buruk itu hanya mimpi, dan inilah kenyataan yang tak kalah buruk dengan mimpi semalam.
Kurasakan sabetan benda tajam tepat perutku, disusul dengan hantaman batu tepat di kepalaku. Tubuhku ambruk. Dan... darah sama-sama tumpah, dalam mimpi maupun nyata. Tuhan, kirimkanlah malaikat penolong, pintaku kepada Tuhan untuk ketiga kalinya.
Tuhan sepertinya mengabulkan doaku saat kulihat sosok berwajah teduh menghampiriku yang mengerang kesakitan. Aku belum pernah melihat dia sebelumnya. Sepertinya dia bukan warga kampungku. Tapi ini bukan waktu yang tepat untuk menanyakan identitasnya. Aku pun pasrah saat dia membantuku berdiri dan memelukku. Aneh, pelukannya seperti obat yang seketika melenyapkan seluruh nyeri, pedih, perih di tubuhku.
Sosok berwajah teduh itu terus memeluk dan membawaku entah ke mana. Yang pasti, aku merasakan tubuhku sangat ringan tanpa beban, apalagi rasa sakit.
***
Ada yang aneh dengan keluargaku. Jangankan membuatkan kopi, bicara denganku saja mereka tak mau. Mereka tak mengacuhkan aku meski berkali-kali aku bicara, bahkan berteriak. Seperti pagi ini, ketika aku meminta dibuatkan kopi, Romlah yang sedang membereskan almari justru menangis tersedu saat menemukan selembar kertas dengan sederet tulisan. Aku ingat! Itu tulisanku beberapa hari lalu setelah para preman mengancam kami sekeluarga dan Romlah memintaku untuk tak lagi terlibat aksi penolakan tambang pasir.