Mohon tunggu...
Qurotul Ayun
Qurotul Ayun Mohon Tunggu... Editor - Editor dan Penulis Buku

Pekerja Teks Komersial sebagai penulis dan editor buku di sebuah penerbit mayor di Yogyakarta. IG dan Twitter @ayunqee

Selanjutnya

Tutup

Cerpen Pilihan

Air Mata Pasir

8 Juli 2019   16:26 Diperbarui: 8 Juli 2019   16:48 116
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
sumber: punkymoms.com

Aku sudah nyaris beranjak pulang ketika kudengar suara ribut-ribut yang semakin jelas. Romlah! Ya, itu teriakan Romlah. Kugenggam erat celurit di tangan kananku. Bersiap jika sewaktu-waktu mereka menyerang. Namun, aku bagai kerbau yang dicocok hidungnya kala kulihat tangan Romlah telah diikat kuat, dan mereka memintaku melempar celurit jauh-jauh.

Bodohkah aku yang menuruti perintah mereka?

Aku hanya tak mau terjadi apa-apa pada Romlah. Sayangnya, aku memang harus mengakui kebodohanku. Setelah celurit terlempar jauh, empat dari enam orang itu mengikat tanganku dengan paksa. Aku sempat melawan, namun satu lawan empat jelas tak seimbang. Kedua tanganku pun terikat kuat dengan tambang yang masih tampak baru. Mereka  membawaku dan Romlah secara paksa ke tepi pantai yang agak sepi. Sepanjang perjalanan menuju pantai, orang-orang yang merumput dan menggarap ladang menatap kami ketakutan. Para preman itu juga menatap mereka penuh ancaman, dengan tatapan yang menyiratkan bahwa perlawanan hanya akan membawa mereka pada nasib seperti ini. Sial!

Tanpa menunggu lama, sesampainya di tepi pantai yang sepi, mereka mengikatku pada sebatang pohon kelapa dan mengunci mulutku dengan lakban. Sedangkan tubuh Romlah diempaskan begitu saja di atas pasir hitam. Lalu mereka melucuti pakaiannya. Hatiku remuk menyaksikan kelakukan bejat mereka. Lebih remuk lagi karena aku tak bisa berbuat apa-apa.

Seorang gadis lemah melawan enam orang pria kekar tentu seperti rusa yang siap dimangsa para serigala. Mataku perih menyaksikan semua itu, bahkan saking perihnya kukira air mata darah mengalir dari sepasang mataku. Romlah, anak gadisku, dirampas kehormatannya di depan mataku sendiri. Sementara aku tak bisa berbuat apa-apa, bahkan berteriak pun tak bisa. Tak puas hanya dengan memukul dan mengambil harta paling berharga milik anakku, mereka mengempaskan tubuh Romlah yang telah lemas hingga membentur batu di antara pasir hitam yang menghampar di tepi pantai. Seketika darah segar mengalir dari kening Romlah. Ia sempat mengerang kesakitan, hingga beberapa saat kemudian tubuh gadis yang baru berusia lima belas tahun itu tak berkutik sama sekali. Tawa congkak mereka yang ditingkahi debur ombak pantai selatan tak mampu membangunkan Romlah.

Salah satu dari mereka mendekatiku, lalu membuka lakban yang sedari tadi membungkamku. Sontak aku berteriak, "Romlaaah.... Romlaaah...!!!"

Sekuat tenaga aku kembali meronta dengan air mata membanjiri pelupuk mata dan amarah yang membuncah di dada.

"Romlaaah.... Romlaaah...!!!"

Tak ada yang menjawab teriakanku, hingga kudengar lantunan adzan disusul suara yang sangat kukenal.

"Pak... Pak.... sampean nglindur ta?"[1]

 Aku tergeragap. Peluh sebiji jagung menetes dari pelipis. Detak jantungku masih belum teratur, seolah baru saja mengikuti lari maraton. Kutatap sekililing, ini kamarku, bukan pantai berpasir hitam tempat mereka membunuh Romlah.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
  7. 7
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun