"Ngimpi opo to, Pak?"[2]
 Kujawab pertanyaan istriku dengan sebuah gelengan berat, lalu aku beranjak ke kamar mandi. Ah, hanya mimpi, hanya kembang tidur. Aku menghibur diri dan berusaha melupakan mimpi itu.
 ***
 Selesai shalat Subuh di mushala, langkahku menuju rumah didahului oleh Fahri yang berjalan terburu-buru.
"Lho, Fahri, katanya kamu sakit? Sudah sembuh?" tanyaku.
"Yang sakit bukan saya, Lek, tapi Bapak. Demam sejak semalam," jelasnya, lalu meneruskan langkah.
Aku terdiam sejenak. Sepertinya aku pernah mengalami hal ini, bahkan baru saja. Bedanya, Fahrilah yang demam, bukan bapaknya. Mimpi itu..., ya mimpi itu....
Dengan langkah berat, kubuka pintu rumah yang menimbulkan derit pelan. Aroma kopi segera menyapa penciumanku, menguar di antara udara pagi. Di meja telah tersaji secangkir kopi hitam buatan istriku. Aku sedang duduk di ruang tengah sambil menyeruput kopi, saat kudengar keluh kesah istriku kepada Romlah di dapur.
"Nduk, nasihati bapakmu, nggak usah ikut-ikutan menentang tambang pasir itu. Belum pasti lingkungan bisa diselamatkan, tapi sudah pasti ancaman akan menyerang keluarga kita, terutama Bapak...." Ada getir dan khawatir yang kutangkap dari ucapannya.
"Menasihati Bapak tak semudah membuat kopi, Bu. Tekadnya tak hanya kuat, tapi juga bulat," sahut Romlah.
Masih dari ruang tengah, aku berdehem, "Ehem...," lalu baru kusambung dengan ucap, "Kalau Bapak disuruh memilih antara kedamaian dan kebenaran, Bapak tetap memilih kebenaran sampai kapan pun."