Aku tersenyum senang saat bis yang kami tumpangi bergerak perlahan. Sudah lama aku ingin pergi ke Dreamtown untuk menghabiskan musim liburan. Ayah yang duduk di sebelahku, mengusap-usap kepalaku sambil tertawa.
"Jangan membuat kakek dan bibi Molly kesusahan ya, nanti?"Â
Aku mengacungkan ibu jariku tanda setuju.Â
Bekal roti, susu kotak, dan cokelat sudah meluncur mulus ke perutku. Begitu juga ayah, sudah menghabiskan sebungkus kacang dan biskuit lemon.
"Tidurlah. Ayah akan menjagamu. Perjalanan kita masih satu jam lagi."
Aku pun bersandar di bahu ayah, sambil memejamkan mata.
Saat aku terbangun, jendela bis memperlihatkan bangunan tua bercat putih yang mulai kusam. Terakhir aku menginjakkan kaki di sini hampir dua tahun yang lalu, sebelum ayah bercerai dengan ibu.Â
"Lili sayang...." kakek memelukku hangat saat aku sampai di hadapannya.
"Kau sudah besar sekarang!" Bibi Molly menciumku. "Ayo, bibi sudah buatkan bubur istimewa untukmu!"
Ternyata selain bubur kayu manis, juga tersaji buah-buahan dan kue kering. Aku makan dengan lahap. Kakek tak henti menatapku dengan penuh rindu. Sorenya, ayah kembali ke rumah karena besok harus kembali bekerja.
*
Seperti yang sudah kuduga, tinggal di desa sangatlah menyenangkan. Para penduduk bersikap ramah. Meski aku termasuk orang asing, mereka tetap bersikap hangat.
Setelah sarapan, aku pamit pada kakek untuk berjalan-jalan. Tentu bibi Molly ingin menemani, namun aku menolak dengan halus.Â
"Aku sudah berjanji pada ayah, tidak akan menyusahkan Kakek dan Bibi di sini. Dan lagi aku tidak akan bermain terlalu jauh. Janji!" aku mengangkat dua jari meyakinkan mereka.
"Pergilah dan jaga dirimu!" kata kakek kemudian sambil memasukkan sekotak permen ke saku bajuku.
Matahari bersinar lembut. Selain aku, cukup banyak yang ingin menikmati suasana di sepanjang tepi sungai. Seorang ibu baru saja lewati sambil mendorong kereta bayinya. Ada juga anak remaja berlari kecil dengan pakaian olahraga dan headset di telinganya. Satu-dua sepeda ikut melintas pelan ke arah jembatan gantung.
Sebenarnya, aku ingin melihat kuda yang banyak terdapat di Dreamtown. Aku ingin menyentuh bulu mereka. Biasanya pagi-pagi kuda-kuda itu dimandikan di pinggiran sungai. Tapi sepertinya hari ini aku belum beruntung.
Dari kejauhan, sekelompok anak seusiaku tampak memperhatikan. Saat kami semakin dekat, mereka menyapa dan mengajak bermain di lapangan.Â
"Mungkin tidak hari ini, Teman. Sepertinya aku ingin melihat-lihat pemandangan dulu," kataku menolak.
Mereka melambaikan tangan saat aku semakin jauh.
"Tunggu!" Seru sebuah suara. Seorang anak laki-laki terengah-engah. Tubuhnya kurus dan rambutnya dekil.Â
"Kau orang baru?"
Aku mengangguk.
"Namaku Jul," anak laki-laki itu mengulurkan tangannya.
"Kau suka petualangan?"
Lagi-lagi aku mengangguk, tetapi kali ini sambil tersenyum senang.
"Kalau begitu, ikut denganku! Akan aku menunjukkan keindahan kota Lovetown dari atas bukit!"
Aku setuju. Aku berjalan sedikit di belakang Jul.
Aku tidak terlalu asing dengan nama Lovetown. Ayah bekerja di sana sebelum menikah dengan ibu. Saat aku masih berusia dua tahun, ayah terlibat masalah dan terpaksa pindah ke kota yang sekarang kami tinggali.Â
"Kau kelihatan berkeringat. Tapi kita hampir sampai." Jul menunjuk keningku sambil tersenyum.
"Ternyata jalannya agak mendaki..." keluhku.
Setiap hari aku pergi sekolah dengan bis. Itu saja membuatku cukup lelah. Tapi aku tidak akan menyerah.
Aku memperhatikan sekeliling. Rumah-rumah kayu tampak dipisahkan perdu liar. Hanya ada jemuran pakaian dan bunga-bunga yang dihinggapi kupu-kupu. Kurasa suasananya mirip khayalan yang pernah ada di kepalaku.
"Kita sudah sampai!" Jul merentangkan kedua tangannya.
Matahari mulai bersinar cerah saat itu. Aku merasa haus, tapi lupa membawa bekal minumÂ
"Kau bisa memanjat pohon?"
Aku menatap sebuah pohon yang tampak rindang tak jauh dari tempatku berdiri. Tampak tinggi dan kokoh. Sepertinya ini pohon mangga.
Aku menggeleng. "Aku tidak pernah memanjat pohon, apalagi yang sebesar ini!"
Jul segera mengajariku. Aku memperhatikan posisi kakinya, dan juga tangannya. Tetapi saat aku mencobanya, rasanya telapak kakiku begitu geli. Aku gemetar dan takut. Setelah mencoba memberanikan diri beberapa lama, akhirnya aku mulai terbiasa.
*
Tiada hari tanpa memanjat pohon bersama Jul. Kebiasaan ini kulakukan sampai musim liburan usai. Kami menghabiskan waktu sore sambil memandangi matahari tenggelam di sela bangunan-bangunan di kota.
"Ternyata kota Lovetown bisa dilihat dari atas sini. Ini keren!" kataku suatu kali.
"Kau pernah pergi ke sana?"Â
"Belum. Tetapi ayahku pernah bekerja di sana beberapa tahun."
"Apakah ayahmu seorang tenaga kesehatan di rumah sakit sana?" Jul menunjuk salah satu gedung yang memiliki banyak jendela.
"Bagaimana kau tahu?"
"Apakah ibumu pernah menceritakan tentang wanita yang bersama anak laki-laki, lalu mereka tertabrak?"
"Wanita itu selamat, tetapi anak laki-lakinya itu tidak!"
"Ya. Ibuku memberitahu kenapa ayahku baru muncul di tengah-tengah kami setahun belakangan ini. Ayah baru saja bebas dari hukuman karena peristiwa tabrakan itu. Apa seseorang juga memberitahumu?"
Jul menggeleng. Wajahnya tiba-tiba murung.
"Ibuku terus-terusan menangis karena kehilangan anak laki-laki itu. Sampai akhirnya ibu depresi.
"Ya Tuhan!"
"Sepuluh tahun lamanya orang tuaku menunggu kelahiran bayi mereka. Namun kebahagiaan itu tidak berlangsung lama. Anak laki-laki yang menggemaskan itu direnggut oleh ayahmu.Â
"Aku turut menyesal mendengarnya..."
Aku menyeka air mata yang biasanya tak pernah mewarnai kebersamaanku dan Jul. Tapi kali ini entah kenapa perasaanku tidak enak.
"Aku ingin menemui ibumu dan meminta maaf untuk ayahku, Jul. Apa aku bisa menemuinya?"
"Tidak. Sampai sekarang ibuku masih dirawat karena depresi berat. Ibu bahkan sudah tidak mengenali ayah."
"Apa anak laki-laki itu abangmu?"
Lama aku menunggu jawaban Jul.
"Mereka hanya punya satu anak. Ibuku tidak melahirkan lagi, setelah peristiwa itu."
Percakapan ini terus terngiang di telingaku. Bahkan setelah Minggu pertama masuk sekolah, aku masih memikirkan apa yang kudengar dari teman baruku.
***
Kota Kayu, 7 Januari 2025
Cerpen Ika Ayra
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H