Mohon tunggu...
Ika Ayra
Ika Ayra Mohon Tunggu... Penulis - Penulis cerpen

Antologi cerpen: A Book with Hundred Colors of Story (jilid 1) dan Sewindu dalam Kota Cerita

Selanjutnya

Tutup

Cerpen Artikel Utama

Sebuah Negeri yang Terlalu Ungu

23 November 2024   18:33 Diperbarui: 27 November 2024   15:39 211
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Ilustrasi | Jeff Nissen/Pexels

Dia menutup kedua matanya. Selang oksigen melintang di kedua pipi laki-laki itu. Di layar monitor angka respirasi dan detak jantungnya terlihat stabil. Jauh berbeda ketika pertama tiba di ruang IGD sejam yang lalu.

"Dadaku sakit," laki-laki itu menunjuk dada sebelah kanan dan kiri bergantian. Matanya masih tertutup, dan keningnya berkerut.

Wanita yang diajak bicara, baru saja tiba di sana. Setelah mencium kening laki-laki itu, dia bertanya apa yang dirasakan suaminya. 

Mendengar jawaban itu, ia hanya menatap prihatin. Terus digenggamnya tangan laki-laki itu untuk memberikan kekuatan, sekalipun terpaksa. 

Laki-laki itu tampak sekarat di atas tempat tidur. Dia terus membolak-balikkan badan, mencari posisi paling nyaman. Dadanya seperti tertindih batu besar. Terus begitu berulang-ulang. Dia tidak pernah tahu, bias racun tikus yang melekat di jari tangannya, bisa berpindah ke rokoknya, dan terisap sampai ke paru-parunya. 

Awalnya, dia merasakan ketegangan di kedua bahunya. Kepalanya pusing, dan keringat dingin membasahi punggungnya. Pandangan matanya redup, dan badannya lemas. Saat melihat sebotol madu di atas meja, laki-laki itu segera meminumnya. 

Dia belum merasa membaik juga. Beruntung tuan rumah datang untuk melihat hasil pekerjaannya. Akhirnya laki-laki itu dilarikan ke rumah sakit untuk mendapatkan pertolongan.

*

Dia terkejut ketika membuka matanya. Laki-laki itu memandang ke sekelilingnya. 

"Landscape ungu!" dia berseru keheranan. "Kenapa aku bisa berada di tempat ini? Di mana ini?" 

Laki-laki itu berusaha mengingat-ingat. Bukankah dia sedang terbaring di ruang IGD? Dia tak habis pikir, dan berusaha mencerna apa yang dilihatnya.  

"Bagaimana bisa bulan purnama juga berwarna ungu?" 

Perlahan dia bangkit, sambil memegangi dadanya yang masih terasa sakit. Dia melangkah pelan, terus menapaki kesunyian, dan berharap menemukan jawaban pertanyaannya. 

Tetapi meski sudah jauh berjalan, tetap saja laki-laki itu tidak menemukan apa-apa. 

Dia menyerah, kedua kakinya kelelahan. Dia  beristirahat saat tiba di suatu titik, menatap ke laut yang diam di kejauhan. 

Tiba-tiba tenggorokannya terasa  kering. Dia ingin minum, tetapi di mana dia bisa mendapatkan  air?

Laki-laki itu membeku. Dia mengenali perdu ungu yang tumbuh bergerombol di hadapannya. Calluna vulgaris yang tumbuh hanya pada bioma pasir kering. 

"Aku akan mati kehausan di tempat ini," pikir laki-laki itu nelangsa. Tak satu penduduk pun dilihatnya sejak dia terdampar di tempat asing ini.

Laki-laki itu memeriksa saku celananya. Dia tidak menemukannya. Sepertinya ponselnya tertinggal saat bosnya menghubungi istrinya tadi sore. 

Dia ingat. Beberapa hari yang lalu, istrinya nekad meminta cerai karena menyadari perselingkuhannya dengan Mayang.

"Kau mengira aku dan anak-anak tidak bisa hidup tanpa seorang kepala keluarga? Kau salah. Kau boleh pergi secepatnya dari sini!"

Kemudian keduanya tak saling berkomunikasi, bahkan istrinya memilih tidur di kamar anak bungsu mereka. 

Laki-laki itu mendengus, teringat itu semua. Pernikahan yang menghasilkan tiga orang anak, namun tak memberinya kebahagiaan sama sekali. Wanita yang menjadi istrinya itu tak pernah bisa mencukupkan gajinya untuk membangun rumah. Bertahun-tahun mereka tinggal di kontrakan sempit, sampai akhirnya terpaksa tinggal di gubuk kecil di kebun mertuanya.

Delapan belas tahun lamanya, pernikahan terasa seperti neraka bagi laki-laki itu. Dia tidak mendapatkan apa yang dia harapkan ketika tiba di rumah. Jangankan makanan enak untuk menemaninya istirahat, istrinya kerap menyindir kebutuhan-kebutuhan rumah tanpa bisa membantu meringankan bebannya.

Dia ingin sekali membentak istrinya yang bisanya hanya  mengeluh. Mulai dari beras habis, kebutuhan sekolah anak-anak, sampai tetek-bengek lainnya. Laki-laki itu tak bisa memarahi istrinya meski sudah sangat kesal. Tubuh wanita itu begitu ringkih dan mungkin tulang-tulangnya segera patah jika dia menghajarnya. Laki-laki itu hanya bisa menahan emosi di dalam hatinya.

Sangat berbeda dengan Mayang. Meski interaksi keduanya hanya melalui panggilan video dan chatting pribadi, dia yakin Mayang jauh lebih sempurna. Bukan hanya menawarkan kesejukan di tengah gurun hatinya, tetapi juga pengertian yang tidak dimiliki istrinya. Mayang tidak akan mencari-cari kesalahan dirinya. Senyumnya  yang manja, membuat laki-laki itu semakin berhasrat ingin selalu memeluknya. 

Tiba-tiba laki-laki itu tersentak oleh suara burung hantu. Dia melihat makhluk malam itu melintas di depannya, terbang ke arah pohon di kejauhan.

Laki-laki itu melanjutkan perjalanannya. Kali ini dia menemukan dataran yang juga berwarna ungu. Dia terus melangkah meski yang tampak di kejauhan hanyalah bukit kecil dan lembah-lembah. Tidak ada satupun rumah penduduk. 

Ini mustahil, pikirnya. Tidak mungkin ada kehidupan di sini. Bagaimana bisa ada penduduk jika tanda-tanda kehidupan juga tak ditemukan. 

Seharusnya ada gunung yang bisa mengalirkan airnya, atau sungai, pohon buah-buahan, bahkan rumput yang menjadi makanan sapi atau kambing, seharusnya tidak berwarna ungu. 

"Ini aneh, misterius, dan gila!" laki-laki itu terus merutuk.

"Mengapa aku bisa  sampai di tempat seperti ini? Apakah ini adalah alam kematian? Atau apakah aku sudah mati?" tanyanya.

Laki-laki itu berhenti. Dia tak tahu harus berjalan ke mana lagi. Dia sudah lelah dan kehausan. Udara hangat dari laut sudah tidak dirasakannya. Dia sudah sangat jauh dari sana, dan mulai merasa kedinginan. 

Tiba-tiba dia membesarkan matanya. Jika dia tidak salah lihat, di kejauhan sana ada bangunan-bangunan layaknya sebuah kota. 

Dia memutuskan melanjutkan perjalanannya. Mungkin di kota dia bisa mendapatkan pertolongan, setidaknya jalan keluar dari sini. 

Lama laki-laki itu berjalan dengan sisa tenaganya, namun kota yang dilihatnya justru tampak semakin jauh. 

Seketika dia merindukan tawa ceria anak-anaknya, serta usapan tangan istrinya saat dia merasa lelah. 

Laki-laki itu terduduk lesu, masygul, sekaligus ngeri. Dadanya kembali terasa sakit, menekan, tanpa kesudahan.

***

Kota Kayu, 23 November 2024

Cerpen Ika Ayra

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun