Mohon tunggu...
Ika Ayra
Ika Ayra Mohon Tunggu... Penulis - Penulis cerpen

Antologi cerpen: A Book with Hundred Colors of Story (jilid 1) dan Sewindu dalam Kota Cerita

Selanjutnya

Tutup

Cerpen Pilihan

Sebuah Negeri yang Terlalu Ungu

23 November 2024   18:33 Diperbarui: 27 November 2024   15:39 91
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Ilustrasi | Jeff Nissen/Pexels

Kemudian keduanya tak saling berkomunikasi, bahkan istrinya memilih tidur di kamar anak bungsu mereka. 

Laki-laki itu mendengus, teringat itu semua. Pernikahan yang menghasilkan tiga orang anak, namun tak memberinya kebahagiaan sama sekali. Wanita yang menjadi istrinya itu tak pernah bisa mencukupkan gajinya untuk membangun rumah. Bertahun-tahun mereka tinggal di kontrakan sempit, sampai akhirnya terpaksa tinggal di gubuk kecil di kebun mertuanya.

Delapan belas tahun lamanya, pernikahan terasa seperti neraka bagi laki-laki itu. Dia tidak mendapatkan apa yang dia harapkan ketika tiba di rumah. Jangankan makanan enak untuk menemaninya istirahat, istrinya kerap menyindir kebutuhan-kebutuhan rumah tanpa bisa membantu meringankan bebannya.

Dia ingin sekali membentak istrinya yang bisanya hanya  mengeluh. Mulai dari beras habis, kebutuhan sekolah anak-anak, sampai tetek-bengek lainnya. Laki-laki itu tak bisa memarahi istrinya meski sudah sangat kesal. Tubuh wanita itu begitu ringkih dan mungkin tulang-tulangnya segera patah jika dia menghajarnya. Laki-laki itu hanya bisa menahan emosi di dalam hatinya.

Sangat berbeda dengan Mayang. Meski interaksi keduanya hanya melalui panggilan video dan chatting pribadi, dia yakin Mayang jauh lebih sempurna. Bukan hanya menawarkan kesejukan di tengah gurun hatinya, tetapi juga pengertian yang tidak dimiliki istrinya. Mayang tidak akan mencari-cari kesalahan dirinya. Senyumnya  yang manja, membuat laki-laki itu semakin berhasrat ingin selalu memeluknya. 

Tiba-tiba laki-laki itu tersentak oleh suara burung hantu. Dia melihat makhluk malam itu melintas di depannya, terbang ke arah pohon di kejauhan.

Laki-laki itu melanjutkan perjalanannya. Kali ini dia menemukan dataran yang juga berwarna ungu. Dia terus melangkah meski yang tampak di kejauhan hanyalah bukit kecil dan lembah-lembah. Tidak ada satupun rumah penduduk. 

Ini mustahil, pikirnya. Tidak mungkin ada kehidupan di sini. Bagaimana bisa ada penduduk jika tanda-tanda kehidupan juga tak ditemukan. 

Seharusnya ada gunung yang bisa mengalirkan airnya, atau sungai, pohon buah-buahan, bahkan rumput yang menjadi makanan sapi atau kambing, seharusnya tidak berwarna ungu. 

"Ini aneh, misterius, dan gila!" laki-laki itu terus merutuk.

"Mengapa aku bisa  sampai di tempat seperti ini? Apakah ini adalah alam kematian? Atau apakah aku sudah mati?" tanyanya.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun