Dunia seakan kiamat. Nyatanya aku sama sekali tidak merasa bahagia dalam pernikahan tersebut.
Hari demi hari berlalu dalam kesuraman. Aku sama sekali tidak merasa diperlakukan layaknya seorang istri. Tentu saja karena aku hanyalah pelunas hutang judi bapak.
Tidak seperti janjinya semula yang ingin membantuku melanjutkan sekolah, lelaki tua itu justru memberikan uang belanja dua ratus ribu saja setiap bulannya. Jumlah yang sangat tidak masuk akal.
"Anggap saja ini untuk cicilan atas hutang-hutang bapakmu!" bentak laki-laki itu saat aku mencoba menanyakan.
Ibu berusaha menghiburku meski wajahnya juga tidak bisa menyembunyikan rasa sedihnya. Ditambah lagi sekarang aku hamil. Pupus sudah keinginan untuk melanjutkan sekolah.
Aku memang bodoh. Percaya saja dengan iming-iming dari lelaki tua itu. Mana mungkin dia peduli degan masa depanku.Â
Sementara itu, bapak kelihatan sangat menyesal dengan nasibku. Bapak terkena stroke sebab menyadari telah menyerahkan anaknya kepada orang yang salah.
Bulan Agustus, tibalah saatnya aku melahirkan bayiku. Tetapi karena tidak mempunyai biaya ke klinik, akhirnya aku melahirkan dibantu ibu dengan peralatan seadanya.Â
Lelaki tua itu datang ke rumah ibu dua hari setelah aku melahirkan. Dia tampak tersenyum saat menggendong bayi yang kunamai Humaira. Konon lelaki tua itu sangat menginginkan anak perempuan. Ketiga istrinya yang lain hanya memberinya dua anak laki-laki.
Setelah hari itu, dia tak pernah menampakkan batang hidungnya lagi. Tidak juga mengirimkan biaya untuk keperluanku dan Humaira. Aku benar-benar kecewa dibuatnya.
Akhirnya ibu berinisiatif berdagang kue-kue untuk membantu kehidupanku dan bayiku. Sampai suatu hari saat Humaira berusia lima bulan, seseorang datang membawa kabar bahwa lelaki itu tewas ditikam salah satu musuhnya!