"Kau harus bisa melupakan masa lalu itu. Jangan biarkan kenangan buruk menghentikan hidupmu."Â
Aku menatap sepasang mata teduh lelaki di depanku.
"Abang percaya pada Zhean," katanya lagi.
Aku masih terdiam. Tak berani berkata sepatah kata pun.Â
Kesungguhan Bang Zulfan untuk menikahiku, memang bukan isapan jempol. Bahkan aku mendengar sendiri dari orang tuanya bahwa jika putera mereka tidak menikah denganku, maka Bang Zulfan tidak ingin menikah dengan siapapun. Tapi apakah aku pantas?
Sebelum Bang Zulfan dan keluarganya datang melamar, aku dan ibu sengaja memberitahu kalau aku pernah menikah sebelumnya dan mempunyai seorang anak. Tetapi Bang Zulfan dan keluarganya tetap meneruskan niatnya.
Saat ini hatiku masih terus dilanda kebimbangan. Aku merasa ketulusan yang dimiliki Bang Zulfan tidak seharusnya ditujukan pada wanita sepertiku. Sebab di luar sana ada banyak sekali gadis yang jauh lebih pantas mendampinginya.
Ingatanku pun terbang ke masa lima tahun silam. Saat itu aku terpaksa mau dinikahi oleh seseorang yang usianya jauh lebih tua, untuk melunaskan hutang-hutang bapak di meja judi.
Aku masih terlalu belia saat itu. Aku bahkan sedang menunggu pengumuman kelulusan dari bangku SMP.Â
Saat itu sebenarnya aku merasa pesimis tidak akan melanjutkan sekolah. Bapak kehilangan pekerjaannya  karena perusahaan tempat bapak bekerja gulung tikar. Ratusan karyawan lainnya juga sama merasakan imbas covid 19 pada waktu itu.