Mohon tunggu...
Ika Ayra
Ika Ayra Mohon Tunggu... Penulis - Penulis cerpen

Antologi cerpen: A Book with Hundred Colors of Story (jilid 1) dan Sewindu dalam Kota Cerita

Selanjutnya

Tutup

Cerpen Pilihan

Pernikahan Semusim Bunga

20 April 2024   08:42 Diperbarui: 20 April 2024   10:09 249
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Foto: Martha Stewart dari Pinterst

"Kau harus bisa melupakan masa lalu itu. Jangan biarkan kenangan buruk menghentikan hidupmu." 

Aku menatap sepasang mata teduh lelaki di depanku.

"Abang percaya pada Zhean," katanya lagi.

Aku masih terdiam. Tak berani berkata sepatah kata pun. 

Kesungguhan Bang Zulfan untuk menikahiku, memang bukan isapan jempol. Bahkan aku mendengar sendiri dari orang tuanya bahwa jika putera mereka tidak menikah denganku, maka Bang Zulfan tidak ingin menikah dengan siapapun. Tapi apakah aku pantas?

Sebelum Bang Zulfan dan keluarganya datang melamar, aku dan ibu sengaja memberitahu kalau aku pernah menikah sebelumnya dan mempunyai seorang anak. Tetapi Bang Zulfan dan keluarganya tetap meneruskan niatnya.

Saat ini hatiku masih terus dilanda kebimbangan. Aku merasa ketulusan yang dimiliki Bang Zulfan tidak seharusnya ditujukan pada wanita sepertiku. Sebab di luar sana ada banyak sekali gadis yang jauh lebih pantas mendampinginya.

Ingatanku pun terbang ke masa lima tahun silam. Saat itu aku terpaksa mau dinikahi oleh seseorang yang usianya jauh lebih tua, untuk melunaskan hutang-hutang bapak di meja judi.

Aku masih terlalu belia saat itu. Aku bahkan sedang menunggu pengumuman kelulusan dari bangku SMP. 

Saat itu sebenarnya aku merasa pesimis tidak akan melanjutkan sekolah. Bapak kehilangan pekerjaannya  karena perusahaan tempat bapak bekerja gulung tikar. Ratusan karyawan lainnya juga sama merasakan imbas covid 19 pada waktu itu.

Dalam situasi yang tidak menyenangkan itu, ibu justru melahirkan si bungsu melalui proses operasi caesar. 

Sadar uang tabungan semakin menipis dan kebutuhan keluarga semakin meningkat, bapak berusaha mencari pekerjaan tanpa merasa gengsi atau semacamnya.

Tidak disangka, bapak mulai terguncang dan terseret dalam pergaulan yang menjerumuskannya dalam kehancuran. 

Aku dan ibu mulai menyadari gelagat bapak saat satu per satu perabot rumah dijual ke tetangga. Puncaknya, saat ibu kehilangan surat sertifikat rumah karena dicuri bapak untuk dibawa ke tempat judi.

Bapak benar-benar sudah dibutakan iblis. Lupa kalau bapak seharusnya berusaha membahagiakan dan melindungi keluarga.

Suatu hari bapak pulang dengan wajah memerah. Bapak memintaku menemui bandar judi yang menunggu di teras rumah. 

"Mas Topan akan mengembalikan sertifikat rumah kita, asal Zhean mau jadi istri muda Mas Topan. Bapak minta tolong, Nak. Sekali ini saja, ya?"

Bagaikan disambar petir saat mendengarnya. 

Bayangan masa depan yang kelabu tidak dapat lagi kutepis dari pikiran. Air mataku tumpah mendengar permintaan bapak. 

Aku bingung antara menerima atau menolak. Bagaimana dengan ibu dan kedua adikku jika kami tidak mempunyai rumah? Kami tidak mungkin tidur di jalanan, tetapi aku juga tidak mungkin menikah dengan seorang bandar judi!

Aku benar-benar merasa terjebak dalam pilihan yang sulit. Rasanya aku tidak mungkin mempertahankan prinsipku. Benar kata bapak, ini adalah kesempatanku berbakti kepada kedua orang tua.

Dunia seakan kiamat. Nyatanya aku sama sekali tidak merasa bahagia dalam pernikahan tersebut.

Hari demi hari berlalu dalam kesuraman. Aku sama sekali tidak merasa diperlakukan layaknya seorang istri. Tentu saja karena aku hanyalah pelunas hutang judi bapak.

Tidak seperti janjinya semula yang ingin membantuku melanjutkan sekolah, lelaki tua itu justru memberikan uang belanja dua ratus ribu saja setiap bulannya. Jumlah yang sangat tidak masuk akal.

"Anggap saja ini untuk cicilan atas hutang-hutang bapakmu!" bentak laki-laki itu saat aku mencoba menanyakan.

Ibu berusaha menghiburku meski wajahnya juga tidak bisa menyembunyikan rasa sedihnya. Ditambah lagi sekarang aku hamil. Pupus sudah keinginan untuk melanjutkan sekolah.

Aku memang bodoh. Percaya saja dengan iming-iming dari lelaki tua itu. Mana mungkin dia peduli degan masa depanku. 

Sementara itu, bapak kelihatan sangat menyesal dengan nasibku. Bapak terkena stroke sebab menyadari telah menyerahkan anaknya kepada orang yang salah.

Bulan Agustus, tibalah saatnya aku melahirkan bayiku. Tetapi karena tidak mempunyai biaya ke klinik, akhirnya aku melahirkan dibantu ibu dengan peralatan seadanya. 

Lelaki tua itu datang ke rumah ibu dua hari setelah aku melahirkan. Dia tampak tersenyum saat menggendong bayi yang kunamai Humaira. Konon lelaki tua itu sangat menginginkan anak perempuan. Ketiga istrinya yang lain hanya memberinya dua anak laki-laki.

Setelah hari itu, dia tak pernah menampakkan batang hidungnya lagi. Tidak juga mengirimkan biaya untuk keperluanku dan Humaira. Aku benar-benar kecewa dibuatnya.

Akhirnya ibu berinisiatif berdagang kue-kue untuk membantu kehidupanku dan bayiku. Sampai suatu hari saat Humaira berusia lima bulan, seseorang datang membawa kabar bahwa lelaki itu tewas ditikam salah satu musuhnya!

*

"Anggap saja Abang dikirim untuk mengobati luka yang Zhean rasakan. Kita akan memulai hari yang baru," Bang Zulfan masih berusaha meyakinkanku. Lagi-lagi aku tak mampu berkata-kata.

"Musim bunga yang kemarin sudah berlalu. Hari ini, musim bunga datang dan membawa kebahagiaan yang baru. Zhean mengerti, kan?"

Aku mengangguk, dan setuju kami menikah bulan depan. Ibu turut merasa gembira dengan keputusanku itu. 

Dengan linang air mata, ibu memeluk dan mendoakan agar aku mendapatkan kebahagiaan yang selama ini tertunda.

"Semoga pernikahanmu langgeng, ya Nak. Ibu turut gembira..." ibu memelukku sekali lagi.

Akhirnya pesta pernikahan pun digelar sesuai rencana. Kata ibu aku sangat cantik dengan gaun putih pilihan Bang Zulfan. Ibu mertuaku pun segera membenarkan. Tapi entah kenapa sisi hatiku yang lain tetap terasa perih.

Ternyata manusia terlalu lemah untuk menerima takdir hidupnya. Aku hanya bisa menangis dan tak dapat berbuat apa-apa saat enam bulan kemudian Bang Zulfan kembali kepada Sang Pencipta. Ternyata pernikahan kami hanya semusim bunga. 

***

Kota Kayu, 20 April 2024

Cerpen Ika Ayra

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun