Tapi lihat saja nasib Zarra. Dia tidak bersekolah, dan hanya menghabiskan waktunya untuk bermain bersama anak laki-laki. Sangat tidak sejalan dengan harapan R.A Kartini di masa lalu, bukan?
Laki-laki di depanku hanya tergugu. Bapak Zarra tidak menjawab apapun, juga tidak menerangkan alasan mengapa Zarra dibiarkan tidak bersekolah.
Aku hampir menjadi putus asa dan berniat pamit, tetapi laki-laki itu kemudian membuka suaranya.
"Kalau Ibu bisa membantu Zarra masuk di sekolah lain, dan mau mengantar-jemput Zarra, saya bisa izinkan dia sekolah..."
Mendapat angin segar ini, aku segera mengangguk dan berjanji. Insya Allah aku ikhlas membantu, asal Zarra bisa sekolah lagi.
Begitulah. Akhirnya Zarra benar-benar bisa sekolah lagi.
Aku membantu mendaftarkannya sampai dia diterima di sebuah madrasah yang berjarak dua kilometer dari rumahnya.Â
Aku tak habis pikir. Kekerasan hati dan masalah pribadi sang Bapak, telah menjauhkannya dari sekolah yang sebenarnya dekat dengan tempat tinggalnya.
Tak terasa sudah dua tahun berlalu.Â
Meluangkan waktu dan tenaga untuk mengantar-jemput Zarra sekolah, sama sekali tidak kuanggap sebagai beban. Aku melakukannya dengan hati senang bahkan menikmatinya.Â
Pag-pagi sekali aku mengantar kedua anak perempuanku ke sekolah masing-masing.Â