Menurut tetangga, bapak Zarra orang yang berbahaya. Mudah emosi dan kasar kepada istri serta anak-anaknya. Sebaiknya aku tidak berurusan dengannya.
Bismillah. Aku tidak boleh takut. Aku bertekad melakukan ini demi Zarra. Demi menghindari buta aksara pada anak Indonesia!
"Assalamu 'alaikum..." sapaku di depan pintu.Â
Seorang laki-laki kurus bermuka keras, keluar dan menatapku tajam.Â
Dengan perlahan dan santun, aku mengutarakan maksud kedatanganku. Bahwa aku merasa prihatin karena Zarra tidak bersekolah layaknya anak-anak seusianya.
Lahir sebagai anak bungsu dari lima bersaudara, Zarra seharusnya tetap mendapat kesamaan hak dengan kakak-kakaknya. Meskipun dia anak perempuan satu-satunya, bukan berarti Zarra kehilangan haknya untuk mendapatkan pendidikan.
Bukankah R.A Kartini, telah gigih memperjuangkan hak perempuan agar bisa duduk di bangku sekolah seperti halnya kaum laki-laki? Betapa ia ingin membuka belenggu kebodohan yang membuat kaum perempuan pada saat itu menjadi terbelakang.Â
Perjuangan ini kemudian melahirkan emansipasi wanita. Tidak ada lagi larangan bagi kaum perempuan untuk mencapai kemajuannya. R.A Kartini kemudian dianugerahi gelar pahlawan nasional.
Meskipun R.A Kartini wafat di usia yang masih muda, namun perjuangannya tidaklah sia-sia. Berbagai sekolah kemudian didirikan, dan saudara perempuannya menjadi salah satu pengajar.
Adalah J.H. Abendanon, orang yang membukukan surat-surat yang ditulis R.A Kartini kepada teman-temannya di Eropa, yang diterbitkan oleh majalah Belanda. Buku ini kemudian diterbitkan pada tahun 1911 dengan judul Door Duisternis Tot Licht, atau "Habis Gelap, Terbitlah Terang".Â
Kini anak-anak Indonesia baik laki-laki maupun perempuan, menjadi "anak negara" yang hak pendidikannya dilindungi oleh konstitusi.Â