Selamat hari Kartini, tante Mila tersayang. Semoga selalu sehat dan bahagia.Â
Zarra.
Aku membaca secarik tulisan yang ditempel pada kotak putih yang baru saja kuterima. Zarra mengirimkan ucapan selamat hari Kartini serta sebentuk kue tart cantik.Â
Zarra, aku ingat gadis itu.
*
Lima belas tahun yang lalu, aku berjualan es dan makanan kecil, tak jauh dari sebuah sekolah dasar. Di situlah aku mengenal Zarra, gadis berusia sembilan tahun yang lebih suka bermain bersama anak laki-laki ketimbang anak perempuan.
Zarra tinggal cukup dekat dengan tempatku berjualan. Gadis itu sekaligus menjadi pelanggan tetapku. Setiap hari saat jeda bermain, dia memesan es choco cookies kesukaannya. Beberapa hari kemudian, kedua kakak laki-lakinya juga mengikuti jejaknya, rajin membeli es choco cookies.
Kehadiran Zarra mulai menarik perhatianku. Aku senang melihat sikapnya yang sopan, meski bila dibandingkan dengan anak-anak lain, kulitnya terlihat begitu coklat, sangat mencolok bila mereka sedang berkumpul.Â
Kemudian aku mulai bertanya dalam hati, mengapa sepanjang hari Zarra hanya bermain dan tidak bersekolah seperti teman-temannya? Melihat dari usianya, seharusnya dia sudah duduk di kelas tiga sekolah dasar. Hmm...Â
Suatu hari aku mencoba bertanya pada gadis itu, dengan harapan akan mendapatkan jawaban pasti.Â
Tetapi saat melihat senyumnya yang kemalu-maluan menjawab pertanyaanku, aku pun mencukupkannya. Jangan sampai aku membuat Zarra merasa sedih.
Dari Ibu Sam, pemilik toko kelontong di dekat situ, aku mendengar kalau Zarra pernah bersekolah, tetapi mendapat bully-an dari teman-temannya karena warna kulitnya yang berbeda.Â
Kira-kira sebulan kemudian, salah satu pelangganku mampir minum es, dan nyeletuk begitu saja saat Zarra kebetulan melintas.
"Kasihan anak ini. Sudah besar tapi kerjanya hanya bermain. Bapaknya tidak mengizinkan anaknya sekolah..."
Aku terperangah. "Memang kenapa, Bu, tidak diizinkan?"Â
Ibu tersebut lalu tersenyum. "Sebenarnya bukan tidak diizinkan. Dia sekolah, tapi baru dua minggu, tiba-tiba disuruh berhenti sama bapaknya!"
"Tapi kenapa?" aku penasaran.
"Bapaknya ada masalah dengan seseorang. Baru dia tahu, ternyata orang itu mengajar di sekolah anaknya..."
"Ya ampuuun.... Jadi bukan karena Zarra di-bully?"
"Bukaaaan...."
Begitulah.Â
Beberapa hari kemudian, aku lalu menemui bapak Zarra di rumahnya.Â
Jujur di dalam hati kecilku sangat menyayangkan jika tunas bangsa seperti Zarra, tumbuh besar tanpa mengenal baca tulis.
Menurut tetangga, bapak Zarra orang yang berbahaya. Mudah emosi dan kasar kepada istri serta anak-anaknya. Sebaiknya aku tidak berurusan dengannya.
Bismillah. Aku tidak boleh takut. Aku bertekad melakukan ini demi Zarra. Demi menghindari buta aksara pada anak Indonesia!
"Assalamu 'alaikum..." sapaku di depan pintu.Â
Seorang laki-laki kurus bermuka keras, keluar dan menatapku tajam.Â
Dengan perlahan dan santun, aku mengutarakan maksud kedatanganku. Bahwa aku merasa prihatin karena Zarra tidak bersekolah layaknya anak-anak seusianya.
Lahir sebagai anak bungsu dari lima bersaudara, Zarra seharusnya tetap mendapat kesamaan hak dengan kakak-kakaknya. Meskipun dia anak perempuan satu-satunya, bukan berarti Zarra kehilangan haknya untuk mendapatkan pendidikan.
Bukankah R.A Kartini, telah gigih memperjuangkan hak perempuan agar bisa duduk di bangku sekolah seperti halnya kaum laki-laki? Betapa ia ingin membuka belenggu kebodohan yang membuat kaum perempuan pada saat itu menjadi terbelakang.Â
Perjuangan ini kemudian melahirkan emansipasi wanita. Tidak ada lagi larangan bagi kaum perempuan untuk mencapai kemajuannya. R.A Kartini kemudian dianugerahi gelar pahlawan nasional.
Meskipun R.A Kartini wafat di usia yang masih muda, namun perjuangannya tidaklah sia-sia. Berbagai sekolah kemudian didirikan, dan saudara perempuannya menjadi salah satu pengajar.
Adalah J.H. Abendanon, orang yang membukukan surat-surat yang ditulis R.A Kartini kepada teman-temannya di Eropa, yang diterbitkan oleh majalah Belanda. Buku ini kemudian diterbitkan pada tahun 1911 dengan judul Door Duisternis Tot Licht, atau "Habis Gelap, Terbitlah Terang".Â
Kini anak-anak Indonesia baik laki-laki maupun perempuan, menjadi "anak negara" yang hak pendidikannya dilindungi oleh konstitusi.Â
Tapi lihat saja nasib Zarra. Dia tidak bersekolah, dan hanya menghabiskan waktunya untuk bermain bersama anak laki-laki. Sangat tidak sejalan dengan harapan R.A Kartini di masa lalu, bukan?
Laki-laki di depanku hanya tergugu. Bapak Zarra tidak menjawab apapun, juga tidak menerangkan alasan mengapa Zarra dibiarkan tidak bersekolah.
Aku hampir menjadi putus asa dan berniat pamit, tetapi laki-laki itu kemudian membuka suaranya.
"Kalau Ibu bisa membantu Zarra masuk di sekolah lain, dan mau mengantar-jemput Zarra, saya bisa izinkan dia sekolah..."
Mendapat angin segar ini, aku segera mengangguk dan berjanji. Insya Allah aku ikhlas membantu, asal Zarra bisa sekolah lagi.
Begitulah. Akhirnya Zarra benar-benar bisa sekolah lagi.
Aku membantu mendaftarkannya sampai dia diterima di sebuah madrasah yang berjarak dua kilometer dari rumahnya.Â
Aku tak habis pikir. Kekerasan hati dan masalah pribadi sang Bapak, telah menjauhkannya dari sekolah yang sebenarnya dekat dengan tempat tinggalnya.
Tak terasa sudah dua tahun berlalu.Â
Meluangkan waktu dan tenaga untuk mengantar-jemput Zarra sekolah, sama sekali tidak kuanggap sebagai beban. Aku melakukannya dengan hati senang bahkan menikmatinya.Â
Pag-pagi sekali aku mengantar kedua anak perempuanku ke sekolah masing-masing.Â
Anak keduaku, Na'ima, kuantar ke sekolah dasar dekat tempatku berjualan. Sementara sang kakak, Maryam, kuantar ke madrasah tsanawiyah, lurus searah namun satu kilometer lebih jauh.
Setelah Maryam masuk gerbang madrasah, aku balik arah menjemput Zarra yang sudah berdiri menunggu di depan rumahnya. Kami menempuh jalan dua kilometer sebelum berpisah di depan kelasnya. Untungnya tempat tinggalku hanya sepuluh menit dari sana.Â
Setelahnya, aku bersiap-siap membuka jualan, sambil menunggu jam pulang masing-masing. Zarra pukul 10.00, Na'ima pukul 11.50, dan Maryam pukul 13.20.
Satu hal yang patut kusyukuri, meski kendaraan roda dua yang kumiliki tergolong cukup tua, namun bisa kugunakan dengan lancar, dan selalu ada pemasukan lebih untuk membeli BBM. Alhamdulillah.
Aku menjadi agak tetkejut ketika di tahun ketiga, bapak Zarra datang menemuiku dan mengatakan akan mengambil alih urusan mengantar-jemput.Â
Dia berterima kasih karena Zarra terlihat lebih bahagia dan selalu mendapat nilai yang baik di madrasah tempatnya belajar.Â
Tak terasa air mataku mengalir di hadapan laki-laki itu. Aku merasa sangat terharu membayangkan perpisahan dengan gadis kecilku, Zarra.Â
Mungkin setelah ini aku akan jarang melihat dia lagi. Matanya yang jenaka, dan bibir tipisnya yang tersenyum setiap kali diajak mengobrol. Aku pasti akan merindukan gadis itu.
Zarra adalah anak baik, dan aku tahu itu sejak awal.Â
Sekarang saja dia hampir tidak menemui teman-temannya karena sibuk dengan PR-nya. Juga jadi jarang jajan es choco cookies kesukaannya. Lalu jika aku tidak mengantar-jemput dia lagi, tentu aku akan sangat jarang bertemu dengannya.Â
Kemudian aku sadar, bukankah sebaiknya memang seperti ini? Bapak Zarra melakukan kewajibannya sebagai orang tua untuk mendukung dan memperhatikan anaknya; sekaligus berhak  menikmati kebersamaan dengan anak bungsunya sendiri.
"Kenapa Ibu sedih?"Â
Aku terperanjat, lalu menghapus air mataku dengan ujung jilbabku. Untuk pertama kalinya aku melihat laki-laki itu tersenyum. Â Â
*
Lima belas tahun telah berlalu.
Kabar terakhir yang kudengar, Zarra meneruskan kuliahnya di Surabaya dan tinggal bersama salah satu kakaknya yang bekerja di pemerintahan.
Sekali-sekali gadis itu melakukan panggilan video denganku, ataupun saling berbalas pesan singkat.Â
Kulitnya masih tetap coklat, tetapi dia semakin bertambah cantik. Tidak heran dia pernah membintangi produk komersil, namun Zarra memilih tidak memperpanjang kontraknya karena ingin fokus dengan skripsinya.
Tak sadar pipiku terasa basah dan hangat lagi. Aku benar-benar merindukan gadis itu. Dan dia juga masih mengingatku.
Lihat saja, di hadapanku sudah ada sebentuk tart cantik yang dia kirimkan dan siap dinikmati.
Selamat hari Kartini, tante Mila tersayang. Semoga selalu sehat dan bahagia.
Ah, Zarra memang tidak akan melupakan perayaan hari Kartini. Dan dia tahu betul alasannya.
Terima kasih atas ucapan dan doanya, Sayang. Semoga kita segera bertemu lagi.
***
Kota Kayu, 18 April 2023
Terinspirasi dari sosok Zarra, gadis sembilan tahun yang putus sekolah.
Cerpen ini diikutsertakan dalam sayembara menulis cerpen dengan tema Kartini, oleh komunitas Pulpen
_______
#kartini #harikartini2023 #pulpen #perkumpulan pencinta cerpen
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H