[terinspirasi dari instrumen piano Joe Hisaishi, One Summer's Day]
Semua keluarga menyukai anak perempuan. Ayah dan ibuku juga merasa kehadiranku seperti sebuah permata yang berharga.Â
Tapi apa itu benar?
Akhir-akhir ini mereka sering bertengkar. Mereka bukan saja tidak bisa menikmati bunga-bunga yang indah, atau matahari yang bersinar. Kini mereka saling diam.
Aku berpikir, mungkin ini adalah ujian bagi  seseorang yang beranjak menjadi gadis remaja sepertiku.Â
Ulat dan kepompong akan mengalami metamorfosa menjadi kupu-kupu. Aku pun akan berproses menjadi sesuatu yang baru. Begitu kata ibu.
Ibu juga bilang, aku adalah anak yang beruntung. Kami adalah keluarga yang utuh, meski mungkin hanya dipersatukan oleh rumah. Tapi ayahku sering tak menggubris ibuku atau adik-adikku.
Itu tak masalah, kata ibu. Kami adalah keluarga yang bahagia meski hanya makan dengan telur mata sapi dan sedikit kecap asin. Kelak kami pasti akan lebih bahagia.
Waktu terus berjalan. Aku menjalani kehidupan seperti biasanya. Bangun tidur, mandi, ke sekolah, makan siang, mengisi PR, lalu mandi sore.
Malam hari, aku biasa menggambar apa yang kupikirkan pada siang harinya. Sebuah sketsa hitam putih dengan arsiran abu-abu yang sangat halus. Dengan cara ini aku bisa memindahkan perasaanku, dan mengurangi sesuatu yang terasa sakit di dalamnya.
Sejujurnya aku memang merindukan kehangatan seorang ayah. Dan bukankah semua anak perempuan memang begitu?Â
Jika kalian bertanya alasannya, menurutku ayah tidak mencintai ibu. Ayah sedikit sekali berbicara ketika di dalam rumah.Â
Aku mencoba berpikir mungkin itu disebabkan masalah pekerjaan yang mengganggu mood-nya. Tapi tidak selamanya.Â
Pada hari-hari tertentu ayah kelihatan bahagia dan mau bercanda bersama kami. Dia memutar musik lembut seperti One Summer's Day, dan berkali-kali mengulangnya.
Instrumen piano oleh Joe Hisaishi, One Summer's Day
"Kau akan menjalani hidup ini, dan menyelaraskan kenyataan dengan keinginan di hatimu," begitu ibu menasihatiku.
Seorang gadis harus kuat menghadapi harinya yang paling berat sekalipun. Meski ayah tak mengatakan apa-apa, aku belajar tentang hidup dari lirik lagu kesukaan ayah.
Fate will take me there someday
where sun shines through the leaves
Glowing through that golden breeze
(Takdir akan membawaku kesana suatu hari nanti
Matahari bersinar melalui dedaunan
Rasakan angin emas yang istimewa)
"Setidaknya kau masih punya ayah," hibur Eliana, tadi di sekolah.
Eliana tak pernah mengenal ayahnya sejak lahir. Maksudku ayahnya meninggal saat dia masih dalam kandungan ibunya.
"Ini tidak seperti ketika kita berjalan di sebuah lorong yang gelap. Penuh ketidakpastian, rasa takut, ataupun semacamnya,"katanya lagi.
Tapi percayalah, ini seperti babak yang tidak mudah untuk dilalui.Â
Aku perlu tahu kenapa ayah tidak menghargai jerih payah ibu? Tidak cuma berjuang melahirkan anak-anaknya, ibu bahkan sedikit sekali tertidur karena selalu menjaga kami anak-anaknya
Ayah adalah kepala keluarga tetapi tidak sempat menanyakan bagaimana sekolahku. Apakah adik sudah mulai sembuh dari demam, atau apakah kami ingin makanan lain seperti biskuit, misalnya? Semua pekerjaan ini diambil alih oleh ibu.
*
Suatu hari di musim panas. Aku tidak dapat mengikuti liburan bersama teman-temanku. Kami tak mempunyai dana karena ayah kehilangan pekerjaannya.
Aku berjalan sendiri, membuang segala yang menekan dalam kepala. Memikirkan hal yang tidak kita miliki, hanya akan menambah kesedihan.
Bunga-bunga zinia menggodaku. Warna mereka bagai menghangati semangatku. Aku memetiknya, membawanya ke dalam tas kecilku.
Kawanan burung kecil terbang memenuhi langit. Mereka saling berkumpul layaknya sebuah pesta pertemuan. Reuni antara sahabat-sahabat lama.
Aku memejamkan mata saat semilir angin berhembus. Aku merasakan kebahagiaan dari semua ini. Tentang hidup yang berjalan mengikuti arah kebenaran. Seseorang tak bisa lari darinya.
Tomorrow's fate can change
Believe what you can't see
Flowers dance in the wind
Appreciate it all
(Nasib besok bisa berubah
Percaya apa yang Anda tidak bisa melihat
Bunga menari tertiup angin
Hargailah semuanya)
Semua keluarga menyukai anak perempuan. Ayah dan ibuku juga merasa kehadiranku seperti sebuah permata yang berharga.
Aku tak perlu memikirkan mengapa ayahku begini dan begitu. Kami harus menghargai kesetiaan dan cucuran keringatnya.
Pertengkaran di antara mereka bukan bagian dari duniaku. Aku tidak ada di dalam lingkaran itu. Semua orang dewasa akan menempuh banyak cara untuk menyelesaikan masalah mereka.
***
Kota Kayu, 10 September 2022
Cerpen Ayra Amirah untuk Kompasiana
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H