[terinspirasi dari instrumen piano Joe Hisaishi, One Summer's Day]
Semua keluarga menyukai anak perempuan. Ayah dan ibuku juga merasa kehadiranku seperti sebuah permata yang berharga.Â
Tapi apa itu benar?
Akhir-akhir ini mereka sering bertengkar. Mereka bukan saja tidak bisa menikmati bunga-bunga yang indah, atau matahari yang bersinar. Kini mereka saling diam.
Aku berpikir, mungkin ini adalah ujian bagi  seseorang yang beranjak menjadi gadis remaja sepertiku.Â
Ulat dan kepompong akan mengalami metamorfosa menjadi kupu-kupu. Aku pun akan berproses menjadi sesuatu yang baru. Begitu kata ibu.
Ibu juga bilang, aku adalah anak yang beruntung. Kami adalah keluarga yang utuh, meski mungkin hanya dipersatukan oleh rumah. Tapi ayahku sering tak menggubris ibuku atau adik-adikku.
Itu tak masalah, kata ibu. Kami adalah keluarga yang bahagia meski hanya makan dengan telur mata sapi dan sedikit kecap asin. Kelak kami pasti akan lebih bahagia.
Waktu terus berjalan. Aku menjalani kehidupan seperti biasanya. Bangun tidur, mandi, ke sekolah, makan siang, mengisi PR, lalu mandi sore.
Malam hari, aku biasa menggambar apa yang kupikirkan pada siang harinya. Sebuah sketsa hitam putih dengan arsiran abu-abu yang sangat halus. Dengan cara ini aku bisa memindahkan perasaanku, dan mengurangi sesuatu yang terasa sakit di dalamnya.